Catatan Penegakan Hukum 2019

Catatan Penegakan Hukum 2019

Oleh  :   EDDY OS HIARIEJ

KOMPAS, 23 Desember 2019

“Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. Demikian Imannuel Kant lebih dari 150 tahun yang lalu.

Terjemahan bebasnya: “masih saja para ahli hukum mencari definisi mengenai pengertian hukum”. Bahkan menurut Hart, meski para ahli hukum mengetahui apa itu hukum, ada banyak hal tentang hukum dan hubungannya dengan hal-hal lain yang tak mampu didefinisikan dan dijelaskan. Hukum mengatur seluruh bidang kehidupan. Hukum mengatur seseorang sejak masih di dalam kandungan sampai masuk ke dalam liang lahat. Hukum bersifat abadi dan mengikat setiap orang, baik sebagai individu, masyarakat maupun bangsa.

Dalam konteks ini berlakulah old maxim yang menyatakan non erit alia lex romae, alia athaenis; alia nunc, alia posthac; sed et omnes gentes, et omni tempore, una lex, et sempiterna, et immortalis continebit. Artinya, hukum tak berpindah -pindah ataupun mati, hukum bersifat abadi dan berlaku selamanya sampai semua bangsa terikat padanya. Oleh karena itu, merumuskan pengertian hukum dalam suatu kalimat yang singkat padat dan jelas adalah sesuatu hal yang mustahil, sehingga tidaklah mungkin merumuskan hukum dalam suatu definisi yang meliputi pengertian dari berbagai bidang hukum yang ada.

Secara mutatis mutandis ketika berbicara mengenai penegakan hukum berarti berbicara mengenai banyak hal menyangkut aspek hukum itu sendiri dari berbagai bidang kehidupan masyarakat. Tidaklah mungkin mengulas penegakan hukum yang meliputi seluruh bidang kehidupan dalam suatu tulisan singkat ini sebagai refleksi akhir tahun. Ada tiga isu utama yang akan diulas lebih lanjut.

Penegakan hukum pemilu

Pertama, penegakan hukum di tahun politik dengan segala hiruk-pikuknya. Tidaklah dapat dinafikan, pertarungan dua pasang calon di Pilpres 2019 berdampak pada polarisasi di masyarakat. Hujatan dan ujaran kebencian serta rasa permusuhan antar-kelompok masyarakat yang terbelah merupakan serial cerita yang tak hentinya di medsos dan berbagai pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik yang berujung pada saling lapor dan saling tuntut.

Eskalasi politik tak hanya terhenti pada hari pemungutan suara, namun justru terus meningkat, terutama menjelang penetapan hasil pemilu. Pasca-pemilu yang marak terjadi di medsos adalah berbagai narasi untuk mendiskreditkan KPU yang menjurus pada delegitimasi pemilu. Celakanya, hal itu dilakukan oleh para elite menengah ke atas yang haus akan kekuasaan. Narasi seperti “Pemilu Curang”; “Kecurangan Secara Terstruktur Sistematis dan Masif”; “KPPS Diracun” sampai ajakan “People Power” untuk menolak hasil pemilu yang viral di medsos, termasuk juga seruan untuk revolusi. Puncaknya adalah kerusuhan 21-22 Mei di Jakarta.

Tidaklah mudah bagi aparat penegak hukum, khususnya Polisi sebagai garda terdepan penjaga pintu utama dalam sistem peradilan pidana untuk melakukan tindakan hukum terhadap berbagai laporan pencemaran nama baik, penghasutan, hoaks sampai pada makar.

Di satu sisi, jika Polisi bertindak cepat terhadap terlapor terlebih disertai dengan upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan, maka mereka akan dianggap memihak kepada rezim dan cenderung melanggar HAM. Sebaliknya, jika Polisi terlambat bertindak sehingga timbul kerusuhan, maka dianggap lamban dan melakukan pembiaran. Dalam konteks demikian, harus diakui Polri bertindak ekstra hati-hati secara profesional dan proporsional sehingga tak semua perkara berakhir di persidangan.

Masih dalam konteks penegakan hukum di tahun politik, kendatipun menurut UU Pemilu, penyelesaian sengketa pemilu dan perselisihan hasil suara merupakan dua ranah yang berbeda, namun pilihan untuk menyelesaikan pro-kontra penetapan hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi patut diapresiasi.

Selain mengedepankan hukum dalam penyelesaian perkara, hal itu juga memindahkan peradilan jalanan ke peradilan yang bermartabat, elegan dan konstitusional.

Suatu catatan penting dalam konteks pelaksanaan pemilu, agar tak terjadi karut-marut, termasuk dalam penegakan hukum, haruslah dipisahkan antara pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD dan presiden-wakil presiden dengan pemilu lokal untuk memilih DPRD provinsi, kabupaten/kota dan gubernur, bupati/walikota.

Kedua, berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Sepanjang 2019 Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih tetap merupakan senjata pamungkas dalam pemberantasan korupsi yang melibatkan pimpinan parpol, anggota DPR, gubernur, bupati/walikota hingga direktur BUMN. Di tengah maraknya OTT KPK, publik dihebohkan dengan dua putusan kasus korupsi. Pertama, bebasnya Syarifuddin Arsyad Tumenggung dalam putusan kasasi Mahkamah Agung dan kedua, putusan bebas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap mantan Direktur PLN Sofyan Basyir.

Terlepas dari pro-kontra kedua putusan itu, adanya putusan bebas terhadap terdakwa kasus korupsi menunjukkan kegagalan penuntut umum (baca: KPK) mengkonstruksikan dakwaan dan pembuktian terhadap dakwaan itu. Konsekuensi lebih lanjut, KPK harus lebih berhati-hati menangani kasus korupsi.

Hal lain terkait pemberantasan korupsi yang tak kalah menarik adalah pemilihan komisioner KPK yang sudah menimbulkan polemik saat pembentukan panitia seleksi (pansel). Susunan keanggotaan pansel dituduh oleh lembaga pegiat antikorupsi didominasi oleh orang-orang yang sangat dekat dengan institusi Polri. Faktanya kemudian, pansel bertindak profesional dengan kriteria penilaian yang sangat terukur dan melibatkan beberapa institusi dalam merekrut calon komisioner KPK. Alhasil, calon anggota komisioner KPK yang diserahkan oleh pansel ke Presiden yang berasal dari Polri hanya seorang, bersama-sama dengan calon lain yang berlatar belakang hakim, jaksa dan advokat yang masing-masing juga hanya satu calon. Terlepas dari suara-suara miring terhadap para komisioner KPK terpilih, lebih bijak jika mereka diberi kesempatan menunjukkan kinerja dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Isu terakhir mengenai pemberantasan korupsi yang menyita perhatian masyarakat sehingga menimbulkan unjuk rasa masif adalah revisi UU KPK. Bahwa ada permasalahan besar dalam pemberantasan korupsi oleh KPK adalah fakta yang tak terbantahkan terutama berkaitan dengan status tersangka yang terlalu dini, sementara KPK tak memiliki kewenangan penghentian penyidikan.

Revisi UU KPK

Hal lain yang jadi sasaran kritik terhadap revisi UU KPK adalah keberadaan Dewan Pengawas dan proses penyadapan yang membutuhkan izin Dewan Pengawas. Terkait revisi UU KPK, catatan saya sebagai berikut. Pertama, haruslah dipahami bahwa substansi UU KPK adalah dalam konteks hukum acara pidana. Landasan filosofis hukum acara pidana adalah untuk mencegah kesewenang-wenangan negara terhadap individu, sebab sedikit-banyaknya hukum acara pidana, melakukan pengekangan atas HAM.

Dapatlah dibayangkan bahwa seseorang ditangkap, ditahan, digeledah dan disita harta bendanya, namun belum tentu putusan akhir ia akan dinyatakan bersalah. Oleh karena itu hukum acara pidana mengandung sifat keresmian dengan berpegang pada lex scripta (hukum tertulis), lex certa (hukum yang jelas) dan lex stricta (hukum yang ketat).

Kedua, dalam kaitan yang pertama, harus ada penghentian penyidikan sebagai perwujudan sunset principle. Hanya saja harus ada limitasi penghentian penyidikan jika perkara tidak cukup bukti, bukan perkara pidana, tersangka meninggal dunia, daluwarsa atau nebis in idem. Penghentian penyidikan juga dimungkinkan jika seseorang yang telah dinyatakan sebagai tersangka namun dalam jangka waktu tertentu, yang bersangkutan tidak pernah diproses.

Ketiga, terkait penyadapan. Adalah instrumen yang dimungkinkan dalam mengungkap suatu kejahatan luar biasa. Bahwa penyadapan dapat diaudit dalam rangka akuntabilitas adalah sesuatu yang wajar, namun kiranya penyadapan dilakukan tanpa harus minta izin siapapun. Keempat, keberadaan Dewan Pengawas dalam rangka mengawasi kinerja KPK secara keseluruhan sangat perlu, namun tak diberi kekuasaan yang bersifat projustisia termasuk pemberian izin penyadapan maupun upaya paksa lain.

Isu penolakan revisi UU KPK ternyata berimbas pada penolakan pengesahan RUU KUHP padahal keberadaan KUHP baru sangat mendesak. Untungnya, pemerintah dan DPR telah mengubah UU tentang Peraturan Perundang-Undangan sehingga dimungkinkan carry over dalam pembahasan RUU KUHP oleh DPR yang baru saja dilantik. Bahwa kurang ada sosialisasi terhadap RUU KUHP, adalah sesuatu yang tak dapat dimungkiri.

Oleh karena itu terhadap beberapa pasal yang menimbulkan kontroversi ada tiga kemungkinan. Pertama, dapat saja pasal itu diberlakukan bila ada pemahaman yang sama setelah dijelaskan kepada masyarakat. Kedua, dimungkinan reformulasi terhadap draf yang sudah ada setelah mendapat masukan dari berbagai pihak. Ketiga, pasal itu dihapus jika dipandang bahwa substansinya dianggap sebagai over kriminalisasi.

Ketiga, berkaitan dengan pembentukan Omnibus Law. Salah satu visi Presiden Jokowi yang disampaikan dalam pidato pelantikan adalah investasi seluas-luasnya dengan menyederhanakan aturan sehingga memperoleh kepastian hukum. Dalam konteks inilah timbul wacana pembentukan Omnibus Law.

“Omnibus Law”

Secara harfiah Omnibus Law diartikan sebagai hukum untuk semuanya. Saya dapat memahami mengapa ide ini muncul. Pertama, banyaknya produk UU yang saling tumpang tindih. Kedua, di antara berbagai produk UU itu terkesan tak ada harmonisasi dan sinkronisasi. Ketiga, mata rantai birokrasi yang panjang dalam mengurus sesuatu, terlebih jika menyangkut investasi yang melibatkan pihak asing.

Omnibus Law dianggap sebagai solusi untuk memotong mata rantai itu dengan hanya merujuk pada satu UU yang mengatur suatu topik kendati berkaitan dengan banyak bidang. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa Omnibus Law pun memiliki kelemahan. Pertama, bersifat pragmatis dan hanya untuk kepentingan sesaat, padahal kekuatan berlaku suatu UU tak hanya secara yuridis dan sosiologis tetapi juga filosofis.

Kedua, terlalu menyederhanakan regulasi dalam rangka kemudahan pengambilan keputusan, padahal menyangkut banyak bidang yang belum tentu berkaitan satu sama lain. Ketiga, dapat mengakibatkan disorder of law bila berbenturan dengan berbagai UU yang telah eksis dan cenderung inkonstitusional. Sebagai perbandingan, AS pernah mengeluarkan United States Omnibus Trade Law 1988 namun substansinya dianggap bertentangan dengan Antitrust Law yang mengatur conduct of business corporation (University of Miami Inter–America Law Review, Vol 21. No.1, 1989).

Terlepas dari wacana pembentukan Omnibus Law, dalam rangka memperbaiki berbagai produk UU sebagai legal substance perlu segera dibentuk lembaga Badan Regulasi Nasional, Selain untuk mengejawantahkan janji kampanye Presiden Jokowi dalam debat capres-cawapres awal 2019. Keberadaan badan itu dibutuhkan untuk mengharmonisasi dan mensinkronisasi berbagai UU. Pengalaman selama ini, sebagai akibat pengaturan yang tak sinkron membawa dampak ketidakpastian hukum dalam praktik penegakan hukum.

Sebagai contoh isu korupsi oleh BUMN. Apakah kekayaan BUMN merupakan kekayaan terpisah ataukah merupakan kekayaan negara? Antara satu UU dengan UU lainnya memberikan jawaban yang berbeda. Jika merujuk pada UU Keuangan Negara, UU Badan Pemeriksaan Keuangan termasuk UU Korupsi, kekayaan BUMN merupakan bagian dari kekayaan negara. Sebaliknya, bila merujuk pada UU BUMN termasuk UU Perseroan Terbatas, kekayaan BUMN bukan merupakan bagian dari kekayaan negara.

Celakanya, saat ini ada seorang mantan direktur BUMN yang sedang duduk di kursi pesakitan dalam kasus korupsi karena didakwa merugikan keuangan negara dengan cara memberi kentungan kepada BUMN lain. Bila kekayaan BUMN dianggap kekayaan negara, maka logika sederhananya dalam kasus tersebut, negara merugikan keuangan negara karena memberi keuntungan kepada negara. Kedengarannya aneh, namun demikianlah kenyataan perkara dalam penegakan hukum di negara kita dengan produk UU yang karut-marut.

Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada