PLURALISME
Gus Dur dan Pluralisme
Oleh : ZACKY KHAIRUL UMAM
KOMPAS, 18 Desember 2019
Menteri
Agama RI yang pertama, Wahid Hasyim, menamai anaknya Abdurrahman ad-Dakhil,
lahir pada 4 Syakban 1359 Hijriah atau 9 September 1940 Masehi. Nama kecil
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini tak populer. Namun, memperingati haul Gus
Dur ke-10 bulan ini, nama kecil itu perlu dimaknai kembali dalam ruang
kehidupan sosial-politik kita hari ini.
Ia bersama
sebagian kecil keluarganya dan seorang bekas budak Yunani eksil dari Damaskus,
ibu kota Dinasti Umayyah, menempuh perjalanan panjang dan selamat dari kejaran
tentara dan pembunuh bayaran Abbasiyyah. Lima tahun kemudian, Abdurrahman
mencapai Maghreb, sebutan dari Maroko dan sekitarnya saat itu. Mereka lalu
menyeberangi lautan untuk mencapai Andalusia, negeri yang sebagiannya sudah
diduduki penguasa Muslim selama beberapa dekade.
Dengan darah
setengah suku Berber Maroko dari ibunya, ia mudah memupuk kekuatan baru. Dengan
bantuan loyalis lama dari Gus Dur yang berada di kawasan itu dan dengan
strategi politik untuk menguasai kawasan Semenanjung Iberia, ia berhasil jadi
penguasa dinasti Umayyah di Andalusia, terhitung sejak 756. Karena itu, ia
masyhur sebagai ad-Dakhil, artinya ‘yang memasuki (Andalusia)’ atau ‘sang
imigran’.
Itulah
mengapa ia disebut Abdurrahman ad-Dakhil. Ia mendeklarasikan diri khalifah
Umayyah yang baru di Andalusia, khalifah yang merindukan Damaskus sepanjang
kekuasaannya di ranah perantauan. Ia juga dikenal sebagai Abdurrahman I,
sebagai yang pertama memimpin dinasti yang baru itu.
Secara
metaforis, kita bisa membacanya dengan Abdurrahman Wahid, pemimpin nomor satu
dan menyuburkan Andalusia dengan gairah pengetahuan dan memberi landasan pada
masyarakat majemuk era Islam klasik. Nama asli Gus Dur, Abdurrahman ad-Dakhil,
ataupun nama resminya di kemudian hari, Abdurrahman Wahid—terlepas nama ‘Wahid’
ini dinukil dari ayahnya—berkelindan dengan figur khalifah itu.
Cerita
tentang khalifah masa lalu bukan melulu cerita tentang jihad dan perebutan
kekuasaan semata. Demikian juga, cerita tentang Andalusia juga bukan kisah
mengenai convivencia yang di dalamnya umat Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup
berdampingan selama ratusan tahun. Kisah toleransi dan ko-eksistensi masa lalu
ialah tarik ulur kekuatan dan dominasi kelas penguasa, elite, dan pendukungnya
yang tidak selamanya hidup rukun bertetangga, tetapi kerap diwarnai oleh getir
pahit pembunuhan dan kekerasan massal.
Cara baru
membaca sejarah masa lalu ini mesti kita pakai untuk menengahi antara
romantisasi jihad penaklukan dan elegi tentang Islam yang harmonis dan toleran.
Para sejarawan Andalusia era mutakhir lebih bertumpu ke pengalaman sejenis ini.
Pada intinya, suatu toleransi dan ko-eksistensi lahir dan berkembang bukan dari
ruang nir-kekerasan, melainkan suatu upaya menyeimbangi berbagai potensi eksklusivisme
dan intoleransi dengan memperbesar potensi sebaliknya.
Abdurrahman
I berjasa besar memberikan fondasi atas sebuah masyarakat plural pada masa
Islam klasik. Fondasi ini bukan dibangun sekali jadi dan periode setelahnya
merupakan periode toleransi yang tanpa celah. Meski banyak dari kalangan Yahudi
dan Kristen jadi orang penting selama Andalusia berjaya, sebagai perdana
menteri, pebisnis atau ilmuwan ternama, selalu ada cerita mengenai sensor dan
intimidasi pada sang liyan tergantung konteks masanya.
Islam kosmopolitan
Demikian
halnya Gus Dur dan apa yang ia sebut Islam kosmopolitan. Pada kunjungannya
tahun 1979 ke Maroko, ia menangis kala menemui sebuah manuskrip Ibnu Rusyd (w
1198), seorang filsuf dan hakim Andalusia ternama, berjudul Talkhis Akhlaq
Aristu atau Ikhtisar atas Ethica Nicomachea karya Aristoteles. Ketika ditanya
mengapa menangis, ia menjawab, “Kalau bukan karena kitab ini, saya tidak akan
menjadi Muslim.” Gus Dur memahami, hanya dengan etos kosmopoli -tanlah
peradaban Muslim masa lalu bisa mencerap pengetahuan dan teknologi.
Etos ini
pula yang menjadikan umat agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen di
Andalusia, misalnya, mampu bekerja sama untuk di Granada, Kordoba, dan kota
lainnya.
Dan gagasan
yang beredar di antara masyarakat majemuk ini cepat menyebar menjadi suatu
titik temu, meski prosesnya tak selalu linear. Sejarawan di Universitas Ibrani,
Yerusalem, Sarah Stroumsa, menyebutnya dengan efek pusaran air dalam
menggambarkan pergumulan bersama ini. Sebab ada proses hilir-mudik dalam
pergumulan intelektual dan politik antara umat muslim dan umat lain. Maka,
elegi Gus Dur yang terharu ketika menemui karya Ibnu Rusyd itu perlu diiringi
apresiasi historis semacam ini.
Dalam wacana
politik Indonesia pascakolonial, soal convivencia itu sama dengan ideal Islam
Indonesia yang senyum, toleran, harmonis, dan damai. Seolah kita tak memiliki
masa lalu kelam, seperti peristiwa 1965. Jika sejarawan Oxford, Kevin Fogg,
menyebut revolusi kemerdekaan RI sebagai ‘revolusi Islam,’ maka kekerasan 1965
bisa pula disebut dengan ‘kekerasan Islam’ mengingat pelaku dan pendorongnya
dari kalangan Muslim. Gus Dur, sebagai humanis sejati, bahkan menyerukan
rekonsiliasi 1965 untuk masa depan yang lebih terang.
Islam yang
ramah dan damai yang sering dibanggakan di berbagai forum internasional itu
lebih merupakan perpanjangan tangan dari corong kolonial untuk melumpuhkan
kekuatan Islam di masa prakemerdekaan. Meski citra ini tak salah 100 persen,
tapi seiring dengan pemahaman kita akan ko-eksistensi Andalusia masa silam,
kita harus mengarahkannya pada rel wacana yang benar.
Yakni, suatu
kondisi yang tak menafikan unsur kontroversi dan konfrontasi dalam melihat
kolaborasi kebangsaan antarberbagai suku, golongan, dan umat beragama. Gus Dur
dalam pengalaman hidupnya tak pernah lelah untuk memahami hal ini dan
menjadikannya strategi dan pemikiran politiknya yang, bagi banyak kalangan,
sulit dipahami atau rawan disalahpahami. Ia pula yang paling terdepan dalam
menggandeng kekuatan lintas-agama untuk soal kebangsaan dan kemanusiaan.
Gus Dur
adalah suara demokrasi di puncak kekuasaan otoriter pada masanya. Ia pula yang
berusaha menenangkan sang penguasa ketika kekuasaannya akan jatuh. Ketika ia,
pada akhirnya mengikuti ‘nasib’ seperti Abdurrahman I meski singkat, menduduki
kepresidenan, ia membuat fondasi konstitusional dan kebijakan publik yang
perkokoh kekuatan sipil serta toleransi di masyarakat plural. Ia juga tak
pernah lelah menjumpai masyarakat kecil, bahkan ketika sudah dilengserkan.
Bahkan hingga mengorbankan kesehatannya, ia aktif membela yang benar dan
menyuarakan keislaman yang jernih dari sekadar pamrih kekuasaan.
Abdurrahman
I sudah berhasil memberikan fondasi bagi pengalaman Andalusia yang plural.
Sebelum pengujung milenium kedua, Abdurrahman Wahid juga meletakkan dasar yang
baik bagi keindonesiaan yang majemuk. Apakah pengalaman Indonesia akan sama
dengan Andalusia ratusan tahun mendatang di mana aspek ko-eksistensi patut
diperjuangkan dengan konteks ruang dan waktu yang berbeda, atau bahkan
melampaui teladan masa lalu? Atau malah berbeda sama sekali? Generasi pemimpin
muda saat inilah yang ikut menentukan.
(Zacky Khairul Umam, Wakil Kepala
Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities di Universitas Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar