Rabu, 18 Desember 2019

Gus Dur dan Pluralisme

PLURALISME
Gus Dur dan Pluralisme

Oleh :  ZACKY KHAIRUL UMAM

KOMPAS, 18 Desember 2019


Menteri Agama RI yang pertama, Wahid Hasyim, menamai anaknya Abdurrahman ad-Dakhil, lahir pada 4 Syakban 1359 Hijriah atau 9 September 1940 Masehi. Nama kecil Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini tak populer. Namun, memperingati haul Gus Dur ke-10 bulan ini, nama kecil itu perlu dimaknai kembali dalam ruang kehidupan sosial-politik kita hari ini.

Nama, yang dipercaya orang tua sebagai doa, juga merupakan harapan yang ditanam kepada sang anak. Abdurrahman ad-Dakhil ialah seorang cucu dari khalifah dinasti Umayyah, Hisyam bin Abdul Malik, memerintah pada paruh pertama abad ke-8 M. Ayahnya, Pangeran Mu’awiyah bin Hisyam, berperan sebagai jenderal yang terlibat perang melawan Romawi Timur. Dinasti Umayyah tumbang karena revolusi dari dinasti Abbasiyah yang berlangsung pada tahun 750. Saat itu umur Abdurrahman 20 tahun.

Ia bersama sebagian kecil keluarganya dan seorang bekas budak Yunani eksil dari Damaskus, ibu kota Dinasti Umayyah, menempuh perjalanan panjang dan selamat dari kejaran tentara dan pembunuh bayaran Abbasiyyah. Lima tahun kemudian, Abdurrahman mencapai Maghreb, sebutan dari Maroko dan sekitarnya saat itu. Mereka lalu menyeberangi lautan untuk mencapai Andalusia, negeri yang sebagiannya sudah diduduki penguasa Muslim selama beberapa dekade.

Dengan darah setengah suku Berber Maroko dari ibunya, ia mudah memupuk kekuatan baru. Dengan bantuan loyalis lama dari Gus Dur yang berada di kawasan itu dan dengan strategi politik untuk menguasai kawasan Semenanjung Iberia, ia berhasil jadi penguasa dinasti Umayyah di Andalusia, terhitung sejak 756. Karena itu, ia masyhur sebagai ad-Dakhil, artinya ‘yang memasuki (Andalusia)’ atau ‘sang imigran’.

Itulah mengapa ia disebut Abdurrahman ad-Dakhil. Ia mendeklarasikan diri khalifah Umayyah yang baru di Andalusia, khalifah yang merindukan Damaskus sepanjang kekuasaannya di ranah perantauan. Ia juga dikenal sebagai Abdurrahman I, sebagai yang pertama memimpin dinasti yang baru itu.

Secara metaforis, kita bisa membacanya dengan Abdurrahman Wahid, pemimpin nomor satu dan menyuburkan Andalusia dengan gairah pengetahuan dan memberi landasan pada masyarakat majemuk era Islam klasik. Nama asli Gus Dur, Abdurrahman ad-Dakhil, ataupun nama resminya di kemudian hari, Abdurrahman Wahid—terlepas nama ‘Wahid’ ini dinukil dari ayahnya—berkelindan dengan figur khalifah itu.

Cerita tentang khalifah masa lalu bukan melulu cerita tentang jihad dan perebutan kekuasaan semata. Demikian juga, cerita tentang Andalusia juga bukan kisah mengenai convivencia yang di dalamnya umat Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama ratusan tahun. Kisah toleransi dan ko-eksistensi masa lalu ialah tarik ulur kekuatan dan dominasi kelas penguasa, elite, dan pendukungnya yang tidak selamanya hidup rukun bertetangga, tetapi kerap diwarnai oleh getir pahit pembunuhan dan kekerasan massal.

Cara baru membaca sejarah masa lalu ini mesti kita pakai untuk menengahi antara romantisasi jihad penaklukan dan elegi tentang Islam yang harmonis dan toleran. Para sejarawan Andalusia era mutakhir lebih bertumpu ke pengalaman sejenis ini. Pada intinya, suatu toleransi dan ko-eksistensi lahir dan berkembang bukan dari ruang nir-kekerasan, melainkan suatu upaya menyeimbangi berbagai potensi eksklusivisme dan intoleransi dengan memperbesar potensi sebaliknya.

Abdurrahman I berjasa besar memberikan fondasi atas sebuah masyarakat plural pada masa Islam klasik. Fondasi ini bukan dibangun sekali jadi dan periode setelahnya merupakan periode toleransi yang tanpa celah. Meski banyak dari kalangan Yahudi dan Kristen jadi orang penting selama Andalusia berjaya, sebagai perdana menteri, pebisnis atau ilmuwan ternama, selalu ada cerita mengenai sensor dan intimidasi pada sang liyan tergantung konteks masanya.

Islam kosmopolitan

Demikian halnya Gus Dur dan apa yang ia sebut Islam kosmopolitan. Pada kunjungannya tahun 1979 ke Maroko, ia menangis kala menemui sebuah manuskrip Ibnu Rusyd (w 1198), seorang filsuf dan hakim Andalusia ternama, berjudul Talkhis Akhlaq Aristu atau Ikhtisar atas Ethica Nicomachea karya Aristoteles. Ketika ditanya mengapa menangis, ia menjawab, “Kalau bukan karena kitab ini, saya tidak akan menjadi Muslim.” Gus Dur memahami, hanya dengan etos kosmopoli -tanlah peradaban Muslim masa lalu bisa mencerap pengetahuan dan teknologi.

Etos ini pula yang menjadikan umat agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen di Andalusia, misalnya, mampu bekerja sama untuk di Granada, Kordoba, dan kota lainnya.

Dan gagasan yang beredar di antara masyarakat majemuk ini cepat menyebar menjadi suatu titik temu, meski prosesnya tak selalu linear. Sejarawan di Universitas Ibrani, Yerusalem, Sarah Stroumsa, menyebutnya dengan efek pusaran air dalam menggambarkan pergumulan bersama ini. Sebab ada proses hilir-mudik dalam pergumulan intelektual dan politik antara umat muslim dan umat lain. Maka, elegi Gus Dur yang terharu ketika menemui karya Ibnu Rusyd itu perlu diiringi apresiasi historis semacam ini.

Dalam wacana politik Indonesia pascakolonial, soal convivencia itu sama dengan ideal Islam Indonesia yang senyum, toleran, harmonis, dan damai. Seolah kita tak memiliki masa lalu kelam, seperti peristiwa 1965. Jika sejarawan Oxford, Kevin Fogg, menyebut revolusi kemerdekaan RI sebagai ‘revolusi Islam,’ maka kekerasan 1965 bisa pula disebut dengan ‘kekerasan Islam’ mengingat pelaku dan pendorongnya dari kalangan Muslim. Gus Dur, sebagai humanis sejati, bahkan menyerukan rekonsiliasi 1965 untuk masa depan yang lebih terang.

Islam yang ramah dan damai yang sering dibanggakan di berbagai forum internasional itu lebih merupakan perpanjangan tangan dari corong kolonial untuk melumpuhkan kekuatan Islam di masa prakemerdekaan. Meski citra ini tak salah 100 persen, tapi seiring dengan pemahaman kita akan ko-eksistensi Andalusia masa silam, kita harus mengarahkannya pada rel wacana yang benar.

Yakni, suatu kondisi yang tak menafikan unsur kontroversi dan konfrontasi dalam melihat kolaborasi kebangsaan antarberbagai suku, golongan, dan umat beragama. Gus Dur dalam pengalaman hidupnya tak pernah lelah untuk memahami hal ini dan menjadikannya strategi dan pemikiran politiknya yang, bagi banyak kalangan, sulit dipahami atau rawan disalahpahami. Ia pula yang paling terdepan dalam menggandeng kekuatan lintas-agama untuk soal kebangsaan dan kemanusiaan.

Gus Dur adalah suara demokrasi di puncak kekuasaan otoriter pada masanya. Ia pula yang berusaha menenangkan sang penguasa ketika kekuasaannya akan jatuh. Ketika ia, pada akhirnya mengikuti ‘nasib’ seperti Abdurrahman I meski singkat, menduduki kepresidenan, ia membuat fondasi konstitusional dan kebijakan publik yang perkokoh kekuatan sipil serta toleransi di masyarakat plural. Ia juga tak pernah lelah menjumpai masyarakat kecil, bahkan ketika sudah dilengserkan. Bahkan hingga mengorbankan kesehatannya, ia aktif membela yang benar dan menyuarakan keislaman yang jernih dari sekadar pamrih kekuasaan.

Abdurrahman I sudah berhasil memberikan fondasi bagi pengalaman Andalusia yang plural. Sebelum pengujung milenium kedua, Abdurrahman Wahid juga meletakkan dasar yang baik bagi keindonesiaan yang majemuk. Apakah pengalaman Indonesia akan sama dengan Andalusia ratusan tahun mendatang di mana aspek ko-eksistensi patut diperjuangkan dengan konteks ruang dan waktu yang berbeda, atau bahkan melampaui teladan masa lalu? Atau malah berbeda sama sekali? Generasi pemimpin muda saat inilah yang ikut menentukan.


(Zacky Khairul Umam, Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities di Universitas Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar