OMNIBUS LAW
Harapan Besar pada UU Omnibus
Oleh : MIRZA ADITYASWARA
KOMPAS, 12 Desember 2019
Sudah bukan
kejutan jika para ekonom dan pelaku dunia usaha mengatakan bahwa ekonomi dunia
dan nasional sedang mengalami kelesuan. Faktanya memang demikian.
Angka indeks
manufaktur AS di bulan November hanya berada di level 48, artinya di bawah
level 50 selama empat bulan berturut-turut. Jadi, perang dagang yang diciptakan
Trump, ternyata berdampak buruk bukan hanya kepada ekonomi China tapi juga
kepada ekonomi AS. Pertumbuhan ekonomi China bahkan diprediksi tahun depan ada
risiko turun menjadi hanya 5,8 persen.
Pasar
obligasi di AS sudah merefleksikan perlambatan ekonomi yaitu dengan turunnya
imbal hasil (yield) surat utang jangka panjang Pemerintah AS (Treasury Bonds)
dalam satu tahun terakhir dari 3,0 persen di Oktober 2018 ke 1,7 persen di
Desember 2019.
Tapi pasar
saham di AS tampaknya masih ‘terlena’, karena indeks saham Dow Jones terus
meningkat. Mungkin investor berharap penurunan suku bunga AS akan mampu mengobati
kelesuan ekonomi AS. Outlook ke depan yang kita harus perhatikan di kuartal
I-2020 apakah Trump akan menurunkan tensi perang dagang atau bahkan semakin
kencang menekan China, artinya dia tak peduli dampaknya kepada resesi ekonomi
AS.
Jika Trump
meneruskan perang dagang maka perlambatan ekonomi AS pada akhirnya akan menyebabkan
penurunan pasar saham di AS sehingga ini akan berdampak semakin buruk kepada
kondisi pasar saham di negara berkembang. Beberapa ekonom internasional
memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan turun lagi dari 2,9 persen di tahun
2018, menjadi 2,3 persen di tahun ini, dan menjadi 2,0 persen di 2020.
Di Eropa
kondisi juga tak menggembirakan. Jerman sebagai ekonomi terbesar di Eropa
menunjukkan angka Indeks Manufacturing Orders yang negatif 0,4 persen di
Oktober. China sebagai negara dengan ekonomi kedua terbesar di dunia,
pertumbuhan ekonominya terus menurun, dari 6,6 persen di 2018, menjadi 6,2
persen di tahun ini, dan diperkirakan turun ke 6,0 persen di 2020, bahkan
mungkin menjadi 5,8 persen.
Pelonggaran
moneter saja tak akan cukup menggairahkan investasi. Optimisme hanya akan ada
jika Trump menurunkan tensi perang dagang di awal 2020.
Ekonomi domestik semakin lambat
Kondisi
ekonomi domestik tak jauh beda dengan kondisi global. Pertumbuhan ekonomi di
kuartal III-2019 hanya 5,02 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya
(year-on-year/yoy) yang mana pulau Sumatera hanya tumbuh 4,5 persen.
Dari sisi
pengeluaran, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor rumah tangga cukup
lemah, hanya tumbuh 5,01 persen, padahal sektor rumah tangga berperan 55 persen
dalam ekonomi Indonesia.
Gambaran
lebih pesimistis terlihat di PDB sektor investasi yang tumbuh sangat rendah 4,2
persen. Sebenarnya PDB sektor investasi sudah sempat meningkat di atas 6,5
persen di kuartal III-2017 hingga kuartal II-2018, tetapi sejak dimulainya
perang dagang AS-China di kuartal III-2018 serta pemburukan neraca ekspor impor
barang dan jasa Indonesia (yang berakibat suku bunga harus dinaikkan di periode
Mei -Agustus 2018), aktivitas investasi kembali melambat.
Dari sisi
PDB sektoral, dua sektor penting tumbuhnya sangat rendah, sektor manufaktur
yang berkontribusi hampir 20 persen dalam ekonomi kita, hanya tumbuh 4,1
persen. Sektor perdagangan, hotel dan restoran (yang berkontribusi 13 persen
dalam ekonomi Indonesia), hanya tumbuh 4,8 persen.
Kondisi ini
mengkhawatirkan karena sektor rumah tangga tak akan mampu menopang pertumbuhan
ekonomi ke depan jika tak ada investasi baru. Tanpa investasi baru artinya tak
ada lapangan kerja baru, berakibat sektor rumah tangga tak menerima tambahan
penghasilan. Orang yang mencari kerja bertambah terus, tapi pembukaan lapangan
kerja formal tak mencukupi.
Beberapa
fakta angka menunjukkan kondisi pelemahan ekonomi yang semakin dalam. Penjualan
mobil turun 7 persen di sepuluh bulan pertama 2019. Volume penjualan semen di
Sumatera turun 6 persen di sembilan bulan pertama 2019. Penjualan alat berat
Komatsu dalam sepuluh bulan terakhir hanya 2.734 units, turun 35 persen
dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Menurunnya
kinerja ekonomi pastinya berdampak kepada kualitas portofolio perbankan. Angka
kredit bermasalah yang semula sudah membaik dari 3,2 persen di pertengahan 2015
menjadi 2,4 persen di akhir 2018, meningkat lagi ke 2,7 persen di September
2019.
Perlambatan
ekonomi global menurunkan kinerja sektor ekspor dan menekan lebih dalam lagi
sektor komoditas tambang dan komoditas perkebunan, yang pada gilirannya kredit
bermasalah ke depan berisiko semakin meningkat. Berita positifnya adalah
ketahanan permodalan perbankan Indonesia masih tinggi karena angka angka
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di atas 20 persen dan rasio
pencadangan kredit di atas 100 persen.
Pertumbuhan
kredit melambat, hanya 8 persen. Yang tetap kencang hanya kredit sektor
konstruksi (tumbuh 26 persen) didorong pembangunan infrastruktur. Indonesia
memang sangat membutuhkan infrastruktur fisik. Setelah dibangun, jalan, bandara
dan pelabuhan diharapkan diisi oleh berbagai aktivitas produksi.
Tapi
pesatnya sektor infrastruktur ternyata tak dibarengi tumbuhnya aktivitas
produksi, terbukti kredit usaha di luar sektor konstruksi tumbuh rendah. Kredit
ke sektor perdagangan dan manufaktur hanya tumbuh 4,7 persen dan 5,6 persen,
padahal dua sektor ini punya pangsa sekitar 38 persen dari total kredit
perbankan.
Bank Sentral
(Bank Indonesia) tidak berdiam diri. Dengan rendahnya inflasi dan turunnya suku
bunga AS dan suku bunga negara tetangga, Indonesia mempunyai ruang untuk
melakukan pelonggaran moneter. Giro Wajib Minimum (GWM) juga sudah diturunkan.
Tapi pelonggaran kebijakan moneter harus dibarengi kebijakan di sektor riil
untuk membuka peluang berusaha.
Rencana “omnibus law”
Pemerintah
menyadari bahwa kondisi yang memprihatinkan ini harus segera dibalikkan.
Kuncinya adalah harus diciptakan lapangan kerja baru dalam jumlah yang besar.
Berbagai paket deregulasi ekonomi yang dibuat pada periode 2015-2019 ternyata
tidak efektif mendorong kegiatan berusaha. Hambatan investasi ada di berbagai
peraturan di berbagai kementerian dan di pemerintah daerah. Presiden Jokowi
mengatakan bahwa birokrasi kita senang membuat banyak aturan, dan aturan nya
berganti terus.
Problemnya,
sejak otonomi daerah, banyak wewenang pemberian izin investasi berada di
daerah. Gubernur dan bupati setiap lima tahun berganti, birokrasi pemda juga
berubah. Belum lagi problem proses pilkada yang berbiaya tinggi. Presiden
Jokowi sudah sering mengundang pimpinan daerah untuk koordinasi terkait
investasi. Yang terakhir bahkan Presiden mengumpulkan para penguasa institusi
hukum daerah (Kejaksaan, Polda, Pangdam, Pengadilan) agar mendukung kegiatan
investasi.
Birokrasi di
pemerintah pusat juga sulit dikoordinasikan. Menteri teknis dan dirjen
mempunyai kuasa menerbitkan aturan, sering kali menghambat investasi karena
aturan tersebut terbit tanpa koordinasi. Presiden mengatakan bahwa izin untuk
aktivitas produksi ekspor dan substitusi impor harus dipermudah.
Jika negara
ini ingin mempunyai kurs yang stabil seperti Thailand maka defisit ekspor impor
barang dan jasa (defisit neraca transaksi berjalan atau Current Account
Deficit/CAD) yang besarnya 30 miliar dollar AS per tahun harus dibalikkan
menjadi positif. CAD adalah bahasa tinggi yang dipakai oleh ekonom. Untuk
rakyat awam, CAD artinya defisit valuta asing. Jika ingin kurs stabil maka
suplai valas harus berlebih. Artinya aktivitas produksi barang ekspor dan
pariwisata harus didorong dengan serius agar suplai valas bertambah.
Untuk
menghilangkan hambatan investasi di berbagai kementerian dan di pemda, Presiden
bertekad menerbitkan Omnibus Law (UU Omnibus) terkait penciptaan lapangan kerja
dan perpajakan. Ada sekitar 74 UU yang menghambat investasi harus diselaraskan
oleh UU Omnibus. Suatu kerja raksasa yang membutuhkan kesepakatan tingkat
tinggi dengan berbagai partai politik.
Apakah
mungkin ? Proses amandemen UU memang suatu proses politik di DPR. Pemerintah
dan DPR harus sepakat. Sering terjadi, pemerintah mau mengubah satu UU, bisa
bertahun tahun tanpa ada kemajuan. Sebaliknya jika partai-partai sudah sepakat,
amandemen UU bisa berlangsung sangat cepat, bahkan kurang dari sebulan.
Bisa
dibayangkan, jika yang ingin diubah adalah pasal pasal di 74 UU, maka berarti
melibatkan berbagai komisi di DPR. Suatu kerja politik yang sangat rumit. Jadi,
apakah pemerintah sudah mendapat kesepakatan dari semua partai politik terkait
UU Omnibus Penciptaan Lapangan Kerja dan UU Omnibus Perpajakan? Di sinilah
diuji kekompakan antara pemerintah dan partai-partai pendukungnya.
Kondisi ekonomi
2020 akan berat. Berbagai analisis mengenai optimisme di 2020 digantungkan pada
sukses tidaknya pembuatan UU Omnibus. Diberitakan bahwa UU Omnibus Perpajakan
akan disampaikan ke DPR di bulan Desember, dan UU Omnibus Penciptaan Lapangan
Kerja di bulan Januari 2020. Pelaku pasar tampaknya hanya akan sabar menunggu
sampai dengan bulan Maret 2020 untuk finalisasi pembahasan di DPR serta
diterbitkannya UU Omnibus. Kita tidak punya banyak waktu.
(Mirza Adityaswara, Ekonom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar