Jumat, 13 Desember 2019

Harapan Besar pada UU Omnibus

OMNIBUS LAW
Harapan Besar pada UU Omnibus

Oleh :  MIRZA ADITYASWARA

KOMPAS, 12 Desember 2019


Sudah bukan kejutan jika para ekonom dan pelaku dunia usaha mengatakan bahwa ekonomi dunia dan nasional sedang mengalami kelesuan. Faktanya memang demikian.

Data-data ekonomi global menunjukkan tren pelemahan ekonomi yang semakin dalam karena pesimisme yang ditimbulkan oleh perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang berkepanjangan. Ekonomi AS yang pada saat dimulainya perang dagang di 2018 tumbuh 2,9 persen, tahun ini diprediksi hanya tumbuh 2,3 persen dan tahun depan kemungkinan hanya 2,0 persen.

Angka indeks manufaktur AS di bulan November hanya berada di level 48, artinya di bawah level 50 selama empat bulan berturut-turut. Jadi, perang dagang yang diciptakan Trump, ternyata berdampak buruk bukan hanya kepada ekonomi China tapi juga kepada ekonomi AS. Pertumbuhan ekonomi China bahkan diprediksi tahun depan ada risiko turun menjadi hanya 5,8 persen.

Pasar obligasi di AS sudah merefleksikan perlambatan ekonomi yaitu dengan turunnya imbal hasil (yield) surat utang jangka panjang Pemerintah AS (Treasury Bonds) dalam satu tahun terakhir dari 3,0 persen di Oktober 2018 ke 1,7 persen di Desember 2019.

Tapi pasar saham di AS tampaknya masih ‘terlena’, karena indeks saham Dow Jones terus meningkat. Mungkin investor berharap penurunan suku bunga AS akan mampu mengobati kelesuan ekonomi AS. Outlook ke depan yang kita harus perhatikan di kuartal I-2020 apakah Trump akan menurunkan tensi perang dagang atau bahkan semakin kencang menekan China, artinya dia tak peduli dampaknya kepada resesi ekonomi AS.

Jika Trump meneruskan perang dagang maka perlambatan ekonomi AS pada akhirnya akan menyebabkan penurunan pasar saham di AS sehingga ini akan berdampak semakin buruk kepada kondisi pasar saham di negara berkembang. Beberapa ekonom internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan turun lagi dari 2,9 persen di tahun 2018, menjadi 2,3 persen di tahun ini, dan menjadi 2,0 persen di 2020.

Di Eropa kondisi juga tak menggembirakan. Jerman sebagai ekonomi terbesar di Eropa menunjukkan angka Indeks Manufacturing Orders yang negatif 0,4 persen di Oktober. China sebagai negara dengan ekonomi kedua terbesar di dunia, pertumbuhan ekonominya terus menurun, dari 6,6 persen di 2018, menjadi 6,2 persen di tahun ini, dan diperkirakan turun ke 6,0 persen di 2020, bahkan mungkin menjadi 5,8 persen.

Pelonggaran moneter saja tak akan cukup menggairahkan investasi. Optimisme hanya akan ada jika Trump menurunkan tensi perang dagang di awal 2020.

Ekonomi domestik semakin lambat

Kondisi ekonomi domestik tak jauh beda dengan kondisi global. Pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2019 hanya 5,02 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang mana pulau Sumatera hanya tumbuh 4,5 persen.

Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor rumah tangga cukup lemah, hanya tumbuh 5,01 persen, padahal sektor rumah tangga berperan 55 persen dalam ekonomi Indonesia.

Gambaran lebih pesimistis terlihat di PDB sektor investasi yang tumbuh sangat rendah 4,2 persen. Sebenarnya PDB sektor investasi sudah sempat meningkat di atas 6,5 persen di kuartal III-2017 hingga kuartal II-2018, tetapi sejak dimulainya perang dagang AS-China di kuartal III-2018 serta pemburukan neraca ekspor impor barang dan jasa Indonesia (yang berakibat suku bunga harus dinaikkan di periode Mei -Agustus 2018), aktivitas investasi kembali melambat.

Dari sisi PDB sektoral, dua sektor penting tumbuhnya sangat rendah, sektor manufaktur yang berkontribusi hampir 20 persen dalam ekonomi kita, hanya tumbuh 4,1 persen. Sektor perdagangan, hotel dan restoran (yang berkontribusi 13 persen dalam ekonomi Indonesia), hanya tumbuh 4,8 persen.

Kondisi ini mengkhawatirkan karena sektor rumah tangga tak akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi ke depan jika tak ada investasi baru. Tanpa investasi baru artinya tak ada lapangan kerja baru, berakibat sektor rumah tangga tak menerima tambahan penghasilan. Orang yang mencari kerja bertambah terus, tapi pembukaan lapangan kerja formal tak mencukupi.

Beberapa fakta angka menunjukkan kondisi pelemahan ekonomi yang semakin dalam. Penjualan mobil turun 7 persen di sepuluh bulan pertama 2019. Volume penjualan semen di Sumatera turun 6 persen di sembilan bulan pertama 2019. Penjualan alat berat Komatsu dalam sepuluh bulan terakhir hanya 2.734 units, turun 35 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Menurunnya kinerja ekonomi pastinya berdampak kepada kualitas portofolio perbankan. Angka kredit bermasalah yang semula sudah membaik dari 3,2 persen di pertengahan 2015 menjadi 2,4 persen di akhir 2018, meningkat lagi ke 2,7 persen di September 2019.

Perlambatan ekonomi global menurunkan kinerja sektor ekspor dan menekan lebih dalam lagi sektor komoditas tambang dan komoditas perkebunan, yang pada gilirannya kredit bermasalah ke depan berisiko semakin meningkat. Berita positifnya adalah ketahanan permodalan perbankan Indonesia masih tinggi karena angka angka kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di atas 20 persen dan rasio pencadangan kredit di atas 100 persen.

Pertumbuhan kredit melambat, hanya 8 persen. Yang tetap kencang hanya kredit sektor konstruksi (tumbuh 26 persen) didorong pembangunan infrastruktur. Indonesia memang sangat membutuhkan infrastruktur fisik. Setelah dibangun, jalan, bandara dan pelabuhan diharapkan diisi oleh berbagai aktivitas produksi.

Tapi pesatnya sektor infrastruktur ternyata tak dibarengi tumbuhnya aktivitas produksi, terbukti kredit usaha di luar sektor konstruksi tumbuh rendah. Kredit ke sektor perdagangan dan manufaktur hanya tumbuh 4,7 persen dan 5,6 persen, padahal dua sektor ini punya pangsa sekitar 38 persen dari total kredit perbankan.

Bank Sentral (Bank Indonesia) tidak berdiam diri. Dengan rendahnya inflasi dan turunnya suku bunga AS dan suku bunga negara tetangga, Indonesia mempunyai ruang untuk melakukan pelonggaran moneter. Giro Wajib Minimum (GWM) juga sudah diturunkan. Tapi pelonggaran kebijakan moneter harus dibarengi kebijakan di sektor riil untuk membuka peluang berusaha.

Rencana “omnibus law”

Pemerintah menyadari bahwa kondisi yang memprihatinkan ini harus segera dibalikkan. Kuncinya adalah harus diciptakan lapangan kerja baru dalam jumlah yang besar. Berbagai paket deregulasi ekonomi yang dibuat pada periode 2015-2019 ternyata tidak efektif mendorong kegiatan berusaha. Hambatan investasi ada di berbagai peraturan di berbagai kementerian dan di pemerintah daerah. Presiden Jokowi mengatakan bahwa birokrasi kita senang membuat banyak aturan, dan aturan nya berganti terus.

Problemnya, sejak otonomi daerah, banyak wewenang pemberian izin investasi berada di daerah. Gubernur dan bupati setiap lima tahun berganti, birokrasi pemda juga berubah. Belum lagi problem proses pilkada yang berbiaya tinggi. Presiden Jokowi sudah sering mengundang pimpinan daerah untuk koordinasi terkait investasi. Yang terakhir bahkan Presiden mengumpulkan para penguasa institusi hukum daerah (Kejaksaan, Polda, Pangdam, Pengadilan) agar mendukung kegiatan investasi.

Birokrasi di pemerintah pusat juga sulit dikoordinasikan. Menteri teknis dan dirjen mempunyai kuasa menerbitkan aturan, sering kali menghambat investasi karena aturan tersebut terbit tanpa koordinasi. Presiden mengatakan bahwa izin untuk aktivitas produksi ekspor dan substitusi impor harus dipermudah.

Jika negara ini ingin mempunyai kurs yang stabil seperti Thailand maka defisit ekspor impor barang dan jasa (defisit neraca transaksi berjalan atau Current Account Deficit/CAD) yang besarnya 30 miliar dollar AS per tahun harus dibalikkan menjadi positif. CAD adalah bahasa tinggi yang dipakai oleh ekonom. Untuk rakyat awam, CAD artinya defisit valuta asing. Jika ingin kurs stabil maka suplai valas harus berlebih. Artinya aktivitas produksi barang ekspor dan pariwisata harus didorong dengan serius agar suplai valas bertambah.

Untuk menghilangkan hambatan investasi di berbagai kementerian dan di pemda, Presiden bertekad menerbitkan Omnibus Law (UU Omnibus) terkait penciptaan lapangan kerja dan perpajakan. Ada sekitar 74 UU yang menghambat investasi harus diselaraskan oleh UU Omnibus. Suatu kerja raksasa yang membutuhkan kesepakatan tingkat tinggi dengan berbagai partai politik.

Apakah mungkin ? Proses amandemen UU memang suatu proses politik di DPR. Pemerintah dan DPR harus sepakat. Sering terjadi, pemerintah mau mengubah satu UU, bisa bertahun tahun tanpa ada kemajuan. Sebaliknya jika partai-partai sudah sepakat, amandemen UU bisa berlangsung sangat cepat, bahkan kurang dari sebulan.

Bisa dibayangkan, jika yang ingin diubah adalah pasal pasal di 74 UU, maka berarti melibatkan berbagai komisi di DPR. Suatu kerja politik yang sangat rumit. Jadi, apakah pemerintah sudah mendapat kesepakatan dari semua partai politik terkait UU Omnibus Penciptaan Lapangan Kerja dan UU Omnibus Perpajakan? Di sinilah diuji kekompakan antara pemerintah dan partai-partai pendukungnya.

Kondisi ekonomi 2020 akan berat. Berbagai analisis mengenai optimisme di 2020 digantungkan pada sukses tidaknya pembuatan UU Omnibus. Diberitakan bahwa UU Omnibus Perpajakan akan disampaikan ke DPR di bulan Desember, dan UU Omnibus Penciptaan Lapangan Kerja di bulan Januari 2020. Pelaku pasar tampaknya hanya akan sabar menunggu sampai dengan bulan Maret 2020 untuk finalisasi pembahasan di DPR serta diterbitkannya UU Omnibus. Kita tidak punya banyak waktu.


(Mirza Adityaswara, Ekonom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar