PILKADA LANGSUNG
Menjaga Pilkada Langsung
Oleh : SAIDIMAN AHMAD
KOMPAS, 21 Desember 2019
Menteri
Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan pentingnya evaluasi atas pelaksanaan
pemilihan kepala daerah (pilkada).
Pilkada yang dijalankan selama ini dinilai berpotensi mendatangkan
konflik akibat polarisasi.
Aspirasi
elite untuk menghentikan keterlibatan publik secara langsung memilih pemimpin
daerah ini telah muncul beberapa kali. Tahun 2014, DPR bahkan telah menetapkan
UU yang di dalamnya mengembalikan sistem pilkada melalui DPRD.
Namun, UU
itu hanya bertahan seminggu karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera
mengeluarkan peraturan presiden pengganti UU (perppu) yang membatalkan UU
tersebut. Presiden kala itu mendengarkan desakan publik yang demikian besar
yang menolak mengembalikan pilkada ke tangan para elite lokal di DPRD.
Dana kampanye
Benarkah
pemilihan langsung berbiaya tinggi alias boros? Tentang boros tidaknya pilkada
langsung bisa diperdebatkan. Dalam UU Pemilu 2019, memang tidak tercantum
pembatasan dana kampanye, mulai dari tingkat presiden sampai pemilihan
legislatif.
Untuk
pemilihan presiden, misalnya, ada pembatasan dana sumbangan perseorangan Rp 2,5
miliar, dan untuk lembaga sebesar Rp 25 miliar. Akan tetapi, itu hanya
pembatasan sumbangan, bukan pembatasan dana kampanye itu sendiri. Sumbangan
pribadi calon sendiri tak terbatas.
Karena itu,
para calon yang terlibat dalam pemilihan bisa memiliki pendanaan yang
bervariasi. Jika yang menjadi pokok persoalan adalah mahalnya biaya, mestinya
yang disasar bukan mengubah sistem pemilu, tetapi mendorong dikeluarkannya
aturan pembatasan penggunaan dana kampanye.
Persoalan
lain adalah sejauh ini sanksi untuk pelanggaran sumbangan dan penggunaan dana
kampanye tidak berjalan efektif. Marcus Mietzner dalam Funding Pilkada: Illegal
Campaign Financing in Indonesia’s Local Elections, menemukan bahwa terbatasnya
dana dari negara untuk parpol, misalnya, disiasati oleh partai dengan menarik
dana dari pihak lain secara ilegal.
Dan ini
semua tak pernah mendapatkan perhatian serius. Lagi-lagi, jika persoalannya
adalah mahalnya biaya, mestinya perhatian bisa difokuskan ke sini terlebih
dahulu.
Dalam banyak
survei menjelang pilkada, umumnya publik memiliki sikap yang relatif rasional.
Pertimbangan utama mereka dalam memilih kandidat adalah rekam jejak dan
platform yang ditawarkan calon. Pertimbangan lain seperti agama, latar belakang
etnis, tampang, dan semacamnya ada di nomor bawah. Sementara aspek terbukti
hasil kerjanya, jujur, dekat dengan rakyat, berwawasan dan tegas selalu berada
di urutan teratas pertimbangan pemilih.
Artinya,
jika publik disuguhi calon dengan kualitas terbaik, mestinya kerja-kerja
politik akan jauh lebih sederhana dan mudah. Persoalannya, calon dengan
kualifikasi tinggi tidak banyak yang muncul. Kurangnya kualitas calon coba
ditutupi dengan kampanye berbiaya tinggi, bahkan dengan praktik jual-beli
suara. Bukan sistemnya yang bermasalah, melainkan pasokan calon terutama dari
partai-partai politik.
Sejumlah
politikus yang mendukung pilkada tidak langsung berkesimpulan bahwa sistem
pemilihan langsung akan menyuburkan oligarki sebab yang akan bertarung hanyalah
mereka yang punya uang. Hasil pemilihan langsung kepala daerah sejak 2005 tidak
banyak memberi bukti itu. Bahwa oligarki masih ada, tentu. Tapi oligarki atau
dinasti politik sudah ada sejak sebelum praktik pilkada langsung dimulai.
Dalam
pilkada langsung, yang terjadi justru munculnya elite-elite baru yang tidak
berasal dari trah elite lama. Presiden Jokowi adalah contoh terbaik dalam hal
ini. Di Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah muncul sebagai kuda hitam dalam
pemilihan gubernur mengalahkan calon-calon lain yang telah begitu lama berada
dalam lingkaran elite utama.
Demikian
pula terjadi di beberapa daerah lain. Alih-alih menjadi alat elite utama
mempertahankan kuasa, keterlibatan publik secara langsung dalam pemilihan
justru membuka kesempatan lahirnya pemimpin-pemimpin baru.
Politik uang
memang terjadi dalam proses pemilihan langsung. Namun, jangan lupa bahwa
praktik politik uang di tingkat elite atau legislative vote buying justru
berusia lebih lama. Praktik jual-beli suara di tingkat elite ini tidak hanya
terjadi pada saat pemilu, tetapi bahkan lebih marak setelahnya.
Yang mana
yang lebih berbahaya, politik uang di tingkat massa atau politik uang di
tingkat elite? Jangan-jangan wacana perubahan dari pilkada langsung ke pilkada
tak langsung hanya dalih untuk memindahkan praktik politik uang dari massa ke
elite. Jika itu yang terjadi, maka tidak ada persoalan yang sungguh-sungguh
hendak diselesaikan oleh rencana perubahan sistem itu.
Aspirasi publik
Pemilihan
tak langsung juga secara serius mencederai aspirasi publik. Pertama, kesempatan
publik untuk menentukan sendiri pemimpin daerah otomatis akan lenyap. Kontrol
publik atas pemimpin daerah juga akan kian menipis. Jika seorang kepala daerah
yang dipilih oleh DPRD menunjukkan kinerja buruk atau tak sesuai harapan, publik
akan kehilangan kontrol untuk memberikan punishment pada pemilu selanjutnya.
Yang mungkin
bisa dilakukan adalah tidak memilih partai pengusung. Tapi argumen untuk
memilih atau tidak memilih kandidat partai bukan hanya berdasarkan kinerja
pimpinan daerah yang dipilih. Bagaimana jika evaluasi atas partai tak sama
dengan evaluasi atas kinerja kepala daerah? Alih-alih menambah jelas pilihan,
pilkada tidak langsung justru menambah kebingungan publik. Alhasil, publik akan
semakin jauh dari proses politik dan pengambilan kebijakan.
Kedua,
pilkada tak langsung juga bukan aspirasi masyarakat Indonesia. Mayoritas mutlak
warga menginginkan pilkada dan pemilihan dilakukan secara langsung. Mereka
ingin tahu siapa yang mereka pilih. Data survei Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) pada April 2019 menunjukkan 96 persen masyarakat menganggap
pemilihan langsung kepala daerah adalah hal penting dan sangat penting. Data
ini cukup konsisten dalam tujuh tahun terakhir yang terpotret dalam
survei-survei SMRC dan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Ketika
disodori pertanyaan yang lebih spesifik apakah mereka mendukung kepala daerah
dipilih langsung oleh rakyat atau oleh anggota DPRD, dalam survei SMRC Februari
2019, sebanyak 93 persen warga mendukung rakyat memilih langsung kepala
daerahnya. Hanya 4 persen yang menyatakan dukungan pada wacana kepala daerah
dipilih oleh anggota DPRD. Angka dukungan ini kian menguat sepanjang tertangkap
dalam serangkaian survei SMRC sejak 2012.
Kesimpulannya
jelas, rakyat Indonesia ingin terlibat dalam menentukan siapa yang pantas
memimpin daerah mereka masing-masing. Wacana pilkada tidak langsung bukan hanya
mundur ke belakang, melainkan juga secara nyata melawan kehendak rakyat.
Tentang
biaya pilkada langsung yang ditengarai mahal, di mata publik itu bukan
persoalan yang terlalu serius. Pada Oktober 2014, hasil riset LSI menunjukkan,
umumnya masyarakat tidak mempersoalkan besarnya klaim biaya untuk pilkada
langsung.
Dalam survei
ini, responden diberi tiga pilihan pernyataan, yakni: (1) ”Pemilu sangat mahal
sehingga lebih baik apabila DPRD yang memilih kepala daerah untuk menghindari
besarnya biaya penyelenggaraan pilkada”, (2) ”Berapa pun biaya yang akan
dikeluarkan, sangat penting bagi rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung
melalui pemilihan umum tanpa diwakilkan pada orang lain”, (3) ”Tidak terlalu
penting untuk orang seperti saya apakah kepala daerah itu dipilih secara
langsung atau melalui DPRD.”
Dari tiga
pernyataan itu, 67 persen menyetujui pernyataan nomor dua. Hanya 9 persen yang
bersepakat dengan pernyataan nomor satu, dan 10 persen memilih pernyataan nomor
3. Sisanya, 14 persen, menjawab tak tahu atau tak menjawab. Intinya, bahkan
jika pun betul pilkada memakan biaya mahal, itu masih jauh lebih penting tetap
dijalankan dari pada kesempatan bagi rakyat memilih langsung pemimpinnya
ditutup. Sistem pemilihan langsung, baik untuk level pemimpin daerah maupun
presiden, adalah langkah maju dalam proses konsolidasi demokrasi kita.
Tentu perlu
terus-menerus dilakukan penyempurnaan, tetapi bukan mengembalikan sistem
lama. Berpuluh-puluh tahun rakyat banyak
tidak terlibat dalam proses politik dan pengambilan kebijakan. Melalui
pemilihan langsung inilah publik terlibat lebih banyak. Dan hasilnya secara
tidak mengecewakan. Merampas kesempatan rakyat menyalurkan aspirasi politiknya
secara langsung sama sekali bukan langkah bijak.
Saidiman Ahmad, Peneliti Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC); Alumnus Crawford School of Publik
Policy, Australian National University
cuma di sini agen jud! online dengan proses yang sangat cepat :)
BalasHapusayo segera daftarkan diri anda di agen365 :)
WA : +85587781483
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny