Memorabilia Politica Reforma
Oleh : J KRISTIADI
KOMPAS, 19 Desember 2019
Memorabilia, ingatan terhadap sesuatu
yang indah dan patut, bahkan mungkin wajib dikenang, sangat penting untuk
mengoreksi kesalahan masa lalu dan sekaligus memperbaikinya demi masa depan
yang lebih baik
Momentum
politik yang pantas dikenang dan wajib direnungkan dalam konteks kekinian
adalah ingatan heroik kedigdayaan masyarakat sipil yang bergandengan tangan
dengan kekuatan sosial politik lain merebut kedaulatan rakyat dari genggaman
oligarki politik yang memonopoli kekuasaan selama puluhan tahun.
Gelombang
semangat merebut daulat rakyat mampu menaklukkan penguasa yang pada 1990-an
nyaris mustahil digoyahkan. Maka, lahirlah bayi reformasi politik. Meski masih
”balita”, makhluk kecil itu mampu menghasilkan beberapa regulasi fenomenal yang
berpotensi dapat melibas penyakit kronis yang berkembang biak selama puluhan
tahun; korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Namun,
sayangnya, merawat jabang bayi demokrasi tidak mudah. Dalam pertumbuhannya,
orok kecil tersebut kekurangan nutrisi akibat virus pembawa penyakit
menimbulkan efek berupa negara daulat rakyat lemah lunglai, hampir lumpuh.
Masih untung tidak idiot. Virus ganas tersebut adalah self-interest dan hasrat
nikmat kuasa yang semakin lama semakin tidak terkendali. Sedemikian mematikan
penetrasi virus tersebut sehingga para penguasa kecanduan.
Mereka
menyadari ancaman kerusakan negara yang ditimbulkan dari perilaku itu, tetapi
mereka justru menjadi penikmat utama kerusakan negara. Semakin rusak negara,
makin nyaman para perusak negara duduk di singgasananya. Mereka seakan dengan
sadar dan sengaja melestarikan kedaruratan transisi politik.
Simtom
kerusakan negara sangat kasatmata, manifestasinya antara lain adanya puluhan
ribu peraturan perundang-undangan tumpang tindih, rancu, serta bertentangan
satu sama lain. Ibaratnya, hanya negara ajaib yang mampu survive dalam hutan
rimba aturan semacam itu.
Sumber
keajaiban tersebut adalah daya pikul masyarakat yang bersedia menderita karena
masih mempunyai harapan kehidupan baik pada masa depan. Namun, ambang batas
daya tahan penderitaan itu akan makin menyusut jika tak ada kepemimpinan
nasional yang memahami kompleksitas permasalahan dan mempunyai kompetensi moral
serta mampu merasakan detak nurani rakyat.
Masa
transisi politik memang menyakitkan. Kajian klasik Huntington membuktikan,
selama beberapa abad, negara penganut sistem demokrasi mengalami gelombang
balik perubahan sistem politik, berubah menjadi otoriter kembali. Ternyata,
membangun demokrasi tidak saja membangun lembaga-lembaga atau struktur politik,
tetapi juga membangun budaya politik yang beradab.
(Samuel
Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century,
1991). Bahkan, tidak mustahil transisi politik mengakibatkan perang saudara,
seperti di Suriah, setelah ”Musim Semi” di Timur Tengah pada 2011. Menjelang
tutup tahun 2019, muncul titik terang menyinari redupnya semangat melakukan
penataan kehidupan bersama. Harapan tersebut adalah tekad Presiden Joko Widodo
menerbitkan undang-undang ”sapu jagat”, omnibus law.
Prioritasnya,
penataan aturan bidang ekonomi, khususnya memangkas dan menyempurnakan regulasi
yang menghambat investasi serta perpajakan. Kebijakan ini penting karena
demokrasi tanpa peningkatan kesejahteraan rakyat akan semakin kehilangan
tuahnya.
Masyarakat
berharap Presiden Jokowi juga segera menerbitkan pula omnibus law penataan
kekuasaan negara dan pemerintahan. Agenda ini lebih rumit karena menyangkut
langsung kepentingan para pemutus politik. Mengatasi masalah kenikmatan karena
status quo politik oligarki adalah tantangan yang berat. Hasrat nikmat kuasa
telah menaklukkan nalar dan kompetensi moral pemutus politik itu.
Sementara
itu, muatan omnibus law tata kelola kekuasaan negara, antara lain menata,
mengatur, dan kalau perlu mendefinisikan ulang relasi dan peran antarlembaga
negara, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan
fundamentalnya, apakah tatanan kekuasaan negara menganut sistem pemisahan kekuasaan
(trias politika) atau pembagian kekuasaan lembaga-lembaga tersebut.
Di bidang
kekuasaan pemerintahan, sekiranya Indonesia masih menganut sistem presidensial,
maka harus benar-benar diatur ulang kompleksitas relasi sistem tersebut dengan
sistem multipartai, serta kaitannya dengan efektivitas pemerintahan. Penjabaran
isu itu meliputi banyak undang-undang, seperti UU Pemilihan Umum, Pemerintahan
Daerah, Pemilihan Kepala Daerah, Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Keuangan
Negara, dan Pertanahan.
Perlu
diingat, regulasi itu bukan obat balsam yang dapat mengobati segala jenis
penyakit. Ini karena krisis kepercayaan terhadap demokrasi juga terjadi pada
tataran global. Beberapa penelitian, meski masih tetap optimistis, juga
bernuansa skeptikal dan sinikal.
Misalnya,
ancaman anarki oleh masyarakat antimadani yang dapat menamatkan demokrasi
(Husni Mubarok dan Irsyad Rafsadi [ed), Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan
Masyarakat Madani di Indonesia, 2015); kemungkinan matinya demokrasi (Foreign
Affairs, Is Democracy Dying?, Mei/Juni 2018), dan banyak studi lain yang
senada. Intinya, demokrasi dianggap usang karena tak dapat menjawab ketimpangan
sosial, ekonomi, dan menjamin rasa aman serta melawan paham sektarian.
Bila
problematika itu bisa diatasi, masyarakat menyongsong fajar menyingsing 2020
dengan penuh harapan karena penderitaan saat melahirkan reformasi akan
disembuhkan dengan kebahagiaan.
J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar