Jumat, 27 Desember 2019

Memorabilia Politica Reforma

Memorabilia Politica Reforma

Oleh :  J KRISTIADI

KOMPAS, 19 Desember 2019

Memorabilia, ingatan terhadap sesuatu yang indah dan patut, bahkan mungkin wajib dikenang, sangat penting untuk mengoreksi kesalahan masa lalu dan sekaligus memperbaikinya demi masa depan yang lebih baik

Momentum politik yang pantas dikenang dan wajib direnungkan dalam konteks kekinian adalah ingatan heroik kedigdayaan masyarakat sipil yang bergandengan tangan dengan kekuatan sosial politik lain merebut kedaulatan rakyat dari genggaman oligarki politik yang memonopoli kekuasaan selama puluhan tahun.

Gelombang semangat merebut daulat rakyat mampu menaklukkan penguasa yang pada 1990-an nyaris mustahil digoyahkan. Maka, lahirlah bayi reformasi politik. Meski masih ”balita”, makhluk kecil itu mampu menghasilkan beberapa regulasi fenomenal yang berpotensi dapat melibas penyakit kronis yang berkembang biak selama puluhan tahun; korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Namun, sayangnya, merawat jabang bayi demokrasi tidak mudah. Dalam pertumbuhannya, orok kecil tersebut kekurangan nutrisi akibat virus pembawa penyakit menimbulkan efek berupa negara daulat rakyat lemah lunglai, hampir lumpuh. Masih untung tidak idiot. Virus ganas tersebut adalah self-interest dan hasrat nikmat kuasa yang semakin lama semakin tidak terkendali. Sedemikian mematikan penetrasi virus tersebut sehingga para penguasa kecanduan.

Mereka menyadari ancaman kerusakan negara yang ditimbulkan dari perilaku itu, tetapi mereka justru menjadi penikmat utama kerusakan negara. Semakin rusak negara, makin nyaman para perusak negara duduk di singgasananya. Mereka seakan dengan sadar dan sengaja melestarikan kedaruratan transisi politik.

Simtom kerusakan negara sangat kasatmata, manifestasinya antara lain adanya puluhan ribu peraturan perundang-undangan tumpang tindih, rancu, serta bertentangan satu sama lain. Ibaratnya, hanya negara ajaib yang mampu survive dalam hutan rimba aturan semacam itu.

Sumber keajaiban tersebut adalah daya pikul masyarakat yang bersedia menderita karena masih mempunyai harapan kehidupan baik pada masa depan. Namun, ambang batas daya tahan penderitaan itu akan makin menyusut jika tak ada kepemimpinan nasional yang memahami kompleksitas permasalahan dan mempunyai kompetensi moral serta mampu merasakan detak nurani rakyat.

Masa transisi politik memang menyakitkan. Kajian klasik Huntington membuktikan, selama beberapa abad, negara penganut sistem demokrasi mengalami gelombang balik perubahan sistem politik, berubah menjadi otoriter kembali. Ternyata, membangun demokrasi tidak saja membangun lembaga-lembaga atau struktur politik, tetapi juga membangun budaya politik yang beradab.

(Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 1991). Bahkan, tidak mustahil transisi politik mengakibatkan perang saudara, seperti di Suriah, setelah ”Musim Semi” di Timur Tengah pada 2011. Menjelang tutup tahun 2019, muncul titik terang menyinari redupnya semangat melakukan penataan kehidupan bersama. Harapan tersebut adalah tekad Presiden Joko Widodo menerbitkan undang-undang ”sapu jagat”, omnibus law.

Prioritasnya, penataan aturan bidang ekonomi, khususnya memangkas dan menyempurnakan regulasi yang menghambat investasi serta perpajakan. Kebijakan ini penting karena demokrasi tanpa peningkatan kesejahteraan rakyat akan semakin kehilangan tuahnya.

Masyarakat berharap Presiden Jokowi juga segera menerbitkan pula omnibus law penataan kekuasaan negara dan pemerintahan. Agenda ini lebih rumit karena menyangkut langsung kepentingan para pemutus politik. Mengatasi masalah kenikmatan karena status quo politik oligarki adalah tantangan yang berat. Hasrat nikmat kuasa telah menaklukkan nalar dan kompetensi moral pemutus politik itu.

Sementara itu, muatan omnibus law tata kelola kekuasaan negara, antara lain menata, mengatur, dan kalau perlu mendefinisikan ulang relasi dan peran antarlembaga negara, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan fundamentalnya, apakah tatanan kekuasaan negara menganut sistem pemisahan kekuasaan (trias politika) atau pembagian kekuasaan lembaga-lembaga tersebut.

Di bidang kekuasaan pemerintahan, sekiranya Indonesia masih menganut sistem presidensial, maka harus benar-benar diatur ulang kompleksitas relasi sistem tersebut dengan sistem multipartai, serta kaitannya dengan efektivitas pemerintahan. Penjabaran isu itu meliputi banyak undang-undang, seperti UU Pemilihan Umum, Pemerintahan Daerah, Pemilihan Kepala Daerah, Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, Keuangan Negara, dan Pertanahan.

Perlu diingat, regulasi itu bukan obat balsam yang dapat mengobati segala jenis penyakit. Ini karena krisis kepercayaan terhadap demokrasi juga terjadi pada tataran global. Beberapa penelitian, meski masih tetap optimistis, juga bernuansa skeptikal dan sinikal.

Misalnya, ancaman anarki oleh masyarakat antimadani yang dapat menamatkan demokrasi (Husni Mubarok dan Irsyad Rafsadi [ed), Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia, 2015); kemungkinan matinya demokrasi (Foreign Affairs, Is Democracy Dying?, Mei/Juni 2018), dan banyak studi lain yang senada. Intinya, demokrasi dianggap usang karena tak dapat menjawab ketimpangan sosial, ekonomi, dan menjamin rasa aman serta melawan paham sektarian.

Bila problematika itu bisa diatasi, masyarakat menyongsong fajar menyingsing 2020 dengan penuh harapan karena penderitaan saat melahirkan reformasi akan disembuhkan dengan kebahagiaan.


J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar