Sabtu, 28 Desember 2019

Ketersediaan Data Tunggal

PERENCANAAN KOTA
Ketersediaan Data Tunggal

Oleh :  ROOS AKBAR

KOMPAS, 19 Desember 2019

“Data adalah sesuatu yang sangat penting. Sayangnya, meskipun sudah ada kebijakan one data dan one map policy upaya membangun basis data masih diabaikan. Padahal data menjadi sumber daya yang sangat bernilai saat ini.”


Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala daripada masa yang akan datang (Bung Karno).

Data adalah sesuatu yang kadang sangat tidak dihargai. Tetapi kepentingannya amat sangat luar biasa. Presiden Jokowi sendiri dalam pernyataannya di majalah Economist edisi Mei 2019 yang dikutip Kompas, 25 November 2019, menyatakan bahwa sumber daya yang lebih berharga dari minyak bumi adalah data.

Di kalangan ahli sistem informasi sudah sangat lama dikenal istilah GIGO (garbage in garbage out). Intinya adalah bicara data. Kesalahan data (input) akan menghasilkan sampah (output). Banyak “keributan” (saling tuntut) yang semuanya berasal dari data yang berbeda. Kita baca di media massa tentang banyaknya tuntutan pada koran/majalah/orang yang dirasa data (kesimpulan/opini) yang dihasilkannya berbeda dengan data yang dimiliki orang lain (penuntut).

“One map policy”

Data punya dampak sangat luar biasa. Tak ada satupun keputusan yang diambil tanpa adanya data. Rentangnya bisa sangat luas, seperti kasus penghinaan agama, yang juga selalu dimulai dari data yang dipertanyakan. Entah benar terjadi, entah karena pengeditan (editing) yang dilakukan, tapi intinya adalah data yang digunakan sebagai sebuah argumen. Keputusan apapun yang diambil selama ini juga harus selalu merujuk pada data.

Tapi apakah kita sudah memperbaiki data kita? Siapakah yang berwenang mengeluarkan data? Bagaimanakah sebenarnya sebuah keputusan itu diambil? Kadang hal yang sebenarnya sangat sederhana, benar-benar harus dipikirkan dengan matang. Di sini kita bukan sekadar bicara data tunggal atau satu peta (one map policy) saja. Tulisan ini mencoba membahas mengenai data berdasar penelitian terkait dengan perencanaan tata ruang yang merupakan topik riset penulis selama hampir 30 tahun.

Harus disadari, data memang mahal dan susah dalam pengumpulannya. Tapi harus juga disadari, kerusakan yang terjadi akan menjadi lebih mahal lagi jika keputusan yang diambil dibuat berdasar data yang salah. Paradigma ini harus menjadi perhatian agar konsep mengenai data tunggal bisa diwujudkan.

Dalam bidang perencanaan kota dan wilayah, dari mempelajari sekian banyak dokumen tata ruang yang ada, nampak sekali bahwa rencana disusun berdasarkan data yang ada, dan bukannya berdasarkan data yang dibutuhkan. Ada data aspek tertentu (misalnya kebencanaan), maka akan ada analisis terhadap aspek kebencanaan itu. Kalau tidak ada data itu, maka tidak ada analisis aspek tersebut. Tidak mungkin rencana atau program yang disusun harus menunggu sampai data tersebut siap. Akibatnya, yang terjadi, terpaksa dibuat “seadanya”.

Kita semua membaca pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas tentang data pertanian yang sungguh menyedihkan. Data terkait pertanian saja tak tersedia atau tak ada kesamaan/kesepakatan tentang data itu. Bayangkan saja bagaimana kebijakan harus diambil terkait dengan hal ini? Saat ini mulai dikampanyekan “tunjuk hidung” (terutama dimotori oleh perguruan tinggi), yang artinya jika tidak ada data yang dibutuhkan maka itu harus disebutkan agar telunjuk tadi mengarah pada institusi yang bertanggung jawab atas data itu (kalau dalam istilah one map policy, ini disebut dengan wali data).

Membuat data memang sangat mahal. Kota Berlin setelah Tembok Berlin dihancurkan, paling tidak butuh waktu setahun hanya untuk mencapai kesepakatan tentang data eks Berlin Barat dan eks Berlin Timur yang akan mereka buat lewat integrasi data secara vertikal dan horizontal. Ini belum sampai pada pengumpulan datanya, dan baru soal data apa, definisi, kesamaan pemahaman tentang data itu, dan sebagainya.

Negara lain sudah membahas soal pentingnya ini sejak 1950-an (Guttenberg dalam jurnal American Planning Association), sayangnya kita belum beranjak dengan memperbaiki data kita. Penulis pernah membuat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) salah satu kota di Sulawesi yang total biayanya diserahkan pada ITB sebagai pihak yang menyusun RDTR tersebut. Biaya yang dihitung Rp 1,8 miliar. Bandingkan dengan penyusunan RDTR dengan luasan sama dan kondisi sama (belum ada peta skala 1:5.000) di Pulau Jawa yang cukup dengan Rp 136 juta saja lewat lelang elektronik atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Pada sisi lain, ada persoalan mengenai kebijakan pemerintah terkait ruang yang terbatas, sementara tak ada satupun institusi atau orang yang tak bicara atau tak butuh ruang. Ketiadaan data dari sisi institusi jelas akan menyebabkan tak terakomodasinya kebutuhan ruang institusi itu. Ketiadaan  data bisa saja karena tak bersedianya institusi itu memberikan data (dengan alasan apapun) atau karena memang data itu belum pernah dibuat.

Data di era ICT

Masih banyak lagi hal terkait data, terutama jika kita bicara data digital, big data, internet of things dan sebagainya. Intinya, data tersedia hampir di semua sektor secara tak terbatas. Data mining (penggalian data), yakni bagaimana data dapat diambil dan dipelajari, menjadi sangat menarik. Twitter bisa digunakan untuk melihat tingkatan urbanisasi di suatu kawasan karena adanya anggapan hanya orang kota yang “main Twitter”.

Remote sensing juga bisa digunakan untuk mengambil citra  malam hari untuk melihat sebaran urbanisasi (daerah terbangun) berdasarkan cahaya  lampu pada skala pulau, kota. Belum lagi drone juga bisa digunakan untuk pemetaan dan sebagainya. Paradigma yang ada dalam perencanaan pada era teknologi informasi dan komunikasi (ICT) ini juga sudah bergeser menjadi “kesepakatan bersama” (Klosterman, 2001), yang artinya adalah kesamaan pandangan (data) agar terjadi kolaborasi, partisipatori dalam kesepakatan perencanaan.

Tetapi, apakah ini sudah terjadi? Belum, bahkan masih nampak diabaikan. Penelitian penulis menunjukkan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Indonesia bisa dikatakan tak ada, padahal itu salah satu tools sangat penting dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk berbagai kebutuhan. Bukan hanya pemerintah, swasta pun butuh dan menggunakan SIG ini untuk investasi mereka. Yang ada adalah Informasi Geografis (tanpa sistem) yang berdiri sendiri dan tak dapat dipertukarkan atau digunakan untuk analisis time series.

Penulis tak bicara hal yang sangat canggih (advanced) dalam SIG seperti kecerdasan buatan (Artificial Intelligent/AI), misalnya, tetapi lebih pada pemanfaatan kemampuan dasar dalam perangkat lunak SIG. Padahal mahalnya pembuatan/pembangunan basis data dapat diabaikan jika bisa terjadi proses data sharing. Penelitian di AS, data sharing menghasilkan keuntungan empat kali lipat daripada biaya yang dikeluarkan ketika membangun data (URISA). Untuk data kebencanaan, memang saat ini sudah tersedia tapi belum pada skala memadai. Baru ada pada skala kecil (1:250.000), padahal untuk kota dibutuhkan skala lebih rinci (detail).

Integrasi data

Keputusan dan rencana kebijakan yang ada pada tingkatan yang berbeda, juga membutuhkan data yang berbeda-beda. Tak mungkin bicara tentang keputusan (policy) tanpa melihat hierarki dalam pengambilan keputusan.

Misalnya, kita bicara mengenai jumlah penduduk suatu kota yang 2,5 juta. Menjadi kewenangan atau ranah walikota untuk bicara angka itu. Tapi seorang kepala dinas kependudukan harus bisa menyebutkan lebih detail angka ini sampai digit terakhir. Seorang lurah juga harus bisa lebih menjelaskan angka itu. Artinya di sini, data harus dibangun dari bawah dan bukannya dari atas. Sedangkan tindakan dimulai dari atas (policy) untuk diterjemahkan ke dalam sebuah tindakan (action). Huxhold (1991) menggambarkan secara sederhana proses pembangunan basis data ini.

Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (online single submission/OSS) yang diterapkan pemerintah saat ini sudah sangat bagus, tapi tanpa ditunjang data dengan hierarki yang jelas akan menjadi tak bermanfaat karena data tadi berbeda maknanya di mata walikota yang kepentingannya lebih ke keputusan strategis dengan investor yang orientasinya lebih pada hal teknis operasional. Hal ini terjadi pada one map policy, sebuah konsep yang bagus tapi tidak (belum) dipikirkan integrasinya secara vertikal dan horizontal.

Ketidaksepahaman dalam hal data ini dikaitkan dengan paradigma yang ada, dan tingkatan pengambilan keputusan yang ada menyebabkan interpretasi terhadap perizinan juga menjadi tidak jelas. Perizinan sebagai salah satu instrumen dalam pengendalian pembangunan harusnya bisa dipahami menurut hierarki dan kewenangan dalam pengambilan keputusan dengan merujuk pada diagram Huxhold yang menunjukkan bahwa ada tingkatan dalam kewenangan pengambilan keputusan.

Terkait hierarki perizinan ini, kasus Meikarta secara tak langsung juga menjelaskan tentang adanya data berbeda yang dibutuhkan untuk setiap tingkatan perizinan (izin prinsip, izin lokasi, izin perencanaan dan IMB). Izin prinsip lebih berupa keputusan strategis ada atau tidak dalam dokumen rencana, izin lokasi lebih bersifat taktis karena sudah bicara lokasi termasuk kemampuan investor dalam membebaskan lahan, izin perencanaan adalah integrasi dengan kawasan sekitarnya, sedangkan IMB lebih bersifat operasional karena bicara tentang keselamatan bangunan, kenyamanan lingkungan dan sebagainya.

Dapat disimpulkan, data adalah sesuatu yang sangat penting. Namun sayangnya upaya membangun basis data masih diabaikan. Kebijakan one data dan one map policy sudah ada, namun harus dilihat dalam konteks yang lebih luas yaitu dikaitkan dengan hierarki dalam keputusan dan juga berbagai kepentingan (pemahaman) antar-sektor. Integrasi data atau peta, baik secara vertikal maupun horizontal, tak lagi dapat diabaikan mengingat mahalnya biaya untuk mengoreksi sebuah keputusan atau kebijakan yang salah. Pertanyaan yang lebih menggelitik: apakah data memang sengaja tak dibuat agar kita bisa lebih “fleksibel” dan susah untuk dimintai pertanggungjawaban? Tentu harusnya tak demikian. Seperti dikatakan Edward Deming: without data you are just another person with an opinion.


(Roos Akbar, Guru Besar Perencanaan Kota ITB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar