PEMBANGUNAN EKONOMI
Refleksi Ekonomi 2019
Oleh : SANTO RIZAL SAMUELSON
KOMPAS, 19 Desember 2019
Indonesia
bersiap menyongsong tahun 2020 dengan membawa sekelumit pekerjaan rumah berat
di bidang ekonomi, terutama perbaikan struktural ekonomi nasional.
Dalam visi
ekonomi Indonesia emas 2045, Presiden Jokowi menargetkan produk domestik bruto
(PDB) Indonesia mencapai 7 triliun dollar AS pada 2045. Secara matematis dengan
PDB 1 triliun dollar AS saat ini dibutuhkan laju pertumbuhan ekonomi sedikitnya
8 persen agar target lonjakan PDB tujuh kali lipat itu terealisasi dalam 25
tahun. Perlu pembaruan paradigma pembangunan ekonomi dari sebelumnya
mengandalkan perdagangan komoditas mentah menjadi berbasis perdagangan
barang/produk industri manufaktur agar pencapaian target PDB di usia emas 100
tahun NKRI tercapai.
Ketergantungan
tinggi pada perdagangan komoditas bernilai tambah minim hampir menjerumuskan
negara ke dalam jurang kemunduran daya saing industri dan inovasi sehingga
Indonesia semakin tertinggal dari negara kompetitor.
Kelebihan
pendapatan yang diterima negara, perusahaan, dan masyarakat dari komoditas
banyak dikonsumsi dengan boros terutama untuk membeli kendaraan bermotor yang
justru memperparah kemacetan dan merusak kelestarian lingkungan. Tingginya
konsumsi BBM berdampak pada perangkap defisit neraca migas. Ketergantungan
tinggi pada konsumsi BBM juga turut memperburuk neraca fiskal negara, meski
kita diberkahi sumber daya energi baru terbarukan melimpah.
Setidaknya
semenjak 2012, Indonesia diyakini sudah menjadi importir neto sejumlah
barang/produk vital yang menguasai hajat hidup orang banyak, neraca perdagangan
mengalami defisit akibat surplus perdagangan nonmigas tak mampu menutupi
besarnya defisit migas. Konsumsi minyak yang membengkak mengakibatkan negara
harus impor 29,86 miliar dollar AS pada 2018, sedangkan penerimaan ekspor hanya
17,17 miliar dollar AS. Alhasil neraca migas defisit 12,69 miliar dollar AS.
Implikasi selanjutnya, penurunan dan stagnasi pertumbuhan ekonomi hingga hanya
tumbuh rata-rata 5 persen pasca -booming komoditas.
Stagnasi pertumbuhan
Pada periode
pertama pemerintahan Jokowi bersama Kabinet Kerja, pencapaian realisasi
pertumbuhan ekonomi selalu di bawah target yang dicanangkan dalam APBN. Pada
2018 realisasi pertumbuhan 5,17 persen masih di bawah target APBN 2018 sebesar
5,4 persen, meski mengalami peningkatan dibandingkan dengan realisasi
pertumbuhan 2015-2017 sebesar 4,88 persen, 5,03 persen dan 5,07 persen.
Target
pertumbuhan PDB sebesar 5,3 persen pada APBN 2019 hampir dipastikan tak akan
tercapai. Proyeksi terbaik realisasi pertumbuhan ekonomi 2019 adalah 5,0-5,1
persen versi Bank Dunia dan IMF. Realisasi pertumbuhan PDB tak menyentuh angka
7 persen sebagaimana ambisi Presiden Jokowi pada masa awal pemerintahannya.
Stagnasi
pertumbuhan ekonomi, selain akibat faktor perekonomian global, terutama kecamuk
sengketa dagang negara AS-China, adalah buah dari ketidaksigapan membenahi
struktur ekonomi. Indonesia butuh mesin baru pendorong ekonomi berupa ekspor
barang/produk penghasil devisa dari sektor manufaktur, hasil olahan tambang
bernilai tambah, dan pariwisata. Upaya meningkatkan daya saing industri harus
didukung optimalisasi dan efektivitas birokrasi dan regulasi sembari tetap
bangun aneka infrastruktur.
Penurunan
indeks daya saing menyebabkan kemerosotan pertumbuhan investasi dan bisnis.
Peringkat daya saing global Indonesia melorot 5 peringkat menjadi 50 dari 141
negara dunia pada 2019 menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam laporan Global
Competitiveness Index. Di ASEAN, Indonesia tertinggal dari Singapura (peringkat
1), Malaysia (27) dan Thailand (40). Meski Vietnam di posisi 67, peringkat itu
melesat 10 posisi dibandingkan 2018.
Penurunan
indeks daya saing negara dan stagnasi pertumbuhan PDB patut menjadi bahan
perenungan/refleksi ekonomi bagi pemerintah dan semua pemangku kepentingan.
Perekonomian
yang hanya bertumpu pada stabilitas makro-ekonomi dan ukuran pasar selain tak
lagi menarik, juga membuat Indonesia kian tertinggal dalam aspek kapabilitas
inovasi dan teknologi, ketenagakerjaan dan kualitas produk yang dihasilkan.
Tampilnya Vietnam, Thailand, dan Malaysia sebagai primadona baru negara tujuan
investasi dan relokasi industri/produksi global, khususnya dari China, adalah
bukti nyata ketertinggalan Indonesia.
Vietnam dan
Thailand bahkan sudah membenahi struktur ekonominya sebelum perang dagang
AS-China. China lebih memilih relokasi industri dan investasi ke Vietnam
dibandingkan dengan Indonesia. Dari 33 relokasi investasi China, tak ada satu
pun ke Indonesia (23 ke Vietnam dan 10 terbagi ke Thailand, Malaysia dan
Kamboja). Pemerintah perlu mengevaluasi 16 paket kebijakan ekonomi sebelumnya
dan segera mengambil langkah cepat dan inovatif.
Penurunan
indeks daya saing industri berakibat pada defisit neraca perdagangan Indonesia
(NPI). Membesarnya defisit NPI diakibatkan menurunnya surplus perdagangan
nonmigas karena melesatnya impor tak diimbangi ekspor. Pada 2018, nilai impor
nonmigas meningkat 19,71 persen menjadi 158,84 miliar dollar AS dan ekspor
hanya tumbuh 6,25 persen menjadi 162,84 miliar dollar AS.
Perbaikan
signifikan belum terlihat pada periode Januari-Oktober 2019 meski nilai impor
nonmigas turun 6,23 persen menjadi 123,27 miliar dollar AS, tetapi nilai ekspor
nonmigas juga turun 5,82 persen menjadi 128,76 miliar dollar AS dibandingkan
dengan periode sama 2018. Neraca sektor jasa juga defisit 7,1 miliar dollar AS
(ekspor 27,9 miliar dollar AS dan impor 35,03 miliar dollar AS) pada 2018.
Pembenahan
struktur ekonomi perlu diarahkan pada peningkatan ekspor barang dan jasa.
Penerimaan PDB 2018 sekitar Rp 14.837,35 triliun lebih banyak ditopang konsumsi
rumah tangga sebesar Rp 8.269,8 triliun atau sekitar 55,7 persen PDB. Nilai
ekspor barang dan jasa sebesar Rp 3.110,8 triliun lebih rendah dari nilai
impornya Rp 3.272,5 triliun sehingga perdagangan barang dan jasa defisit Rp
161,7 triliun. Berdasarkan data termutakhir BPS, pertumbuhan PDB triwulan
III-2019 5,02 persen menjadi Rp 4.067,8 triliun dibandingkan dengan periode
sama tahun 2018.
Penurunan
nilai neraca perdagangan barang dan jasa tecermin dalam neraca transaksi
berjalan (current account). Neraca transaksi berjalan menghitung semua
transaksi perdagangan luar negeri suatu negara meliputi ekspor dan impor barang
dan jasa. Transaksi berjalan pada 2018 defisit 31,1 miliar dollar AS atau 2,98 persen
terhadap PDB, turun dari 2017 sebesar 16,2 miliar dollar AS atau 1,59 persen
dari PDB.
Secara
persentase terhadap PDB, defisit transaksi berjalan (CAD) 2018 adalah yang
terburuk dalam empat tahun terakhir. Secara nominal, besaran defisit itu
terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Transaksi berjalan telah mengalami
defisit sejak tahun 2012 dan belum pernah kembali positif.
Kondisi
defisit perdagangan barang dan jasa pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi.
Struktur ekonomi Indonesia yang kurang mendukung upaya memproduksi barang untuk
diekspor menjadi alamat bahaya bagi neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
Secara umum
sektor lapangan usaha dalam ekonomi Indonesia terbagi dalam 17 sektor yakni
tiga sektor penghasil produk barang (Industri Pengolahan/ Manufaktur,
Pertanian, dan Pertambangan) dan 14 sektor jasa, di antaranya transportasi,
informasi dan komunikasi, konstruksi, perdagangan besar dan jasa lain. Pada
2018, pertumbuhan ketiga sektor penghasil barang di bawah pertumbuhan ekonomi
5,17 persen, yakni manufaktur (4,27 persen), pertanian (3,91 persen), dan
pertambangan (2,16 persen). padahal ketiga sektor berkontribusi total 40,75
persen terhadap PDB.
Malah sektor
jasa mengalami pertumbuhan melebihi rata-rata seperti informasi dan komunikasi
(7,04 persen), transportasi (7,01 persen) dan jasa lainnya (8,99 persen).
Struktur pertumbuhan seperti ini kurang produktif mendukung kinerja peningkatan
ekspor secara signifikan. Sektor manufaktur mengalami tren penurunan meski
masih menjadi penyumbang terbesar dalam pertumbuhan PDB. Periode 2018, sektor
manufaktur berkonstribusi 19,86 persen, terbesar dibandingkan 16 sektor
lainnya.
Membalikkan gejala deindustrialisasi
Kontribusi
terbesar yang pernah ditorehkan sektor manufaktur adalah 31,9 persen pada 2002.
Sementara pertumbuhan terbesar manufaktur terjadi pada 2004 sebesar 6,38 persen
dan terendah pada 2009 sebesar 2,21 persen dalam dua dekade terakhir
(2000-2018).
Kontribusi
manufaktur di bawah 20 persen menunjukkan sektor ekonomi yang cenderung rapuh.
Berdasarkan data Bank Dunia pada 2017, kontribusi sektor manufaktur Thailand
dan Malaysia 27,1 persen dan 22,3 persen. Indonesia sebenarnya masih unggul,
tetapi berpotensi semakin dikejar Vietnam (15,3 persen) dan Filipina (19,6
persen) bila tak bekerja keras mendorong pertumbuhan manufaktur.
Perbaikan
industri manufaktur menjadi harga mati dan prioritas agar Indonesia tidak
terperosok ke dalam lorong gelap deindustrialisasi. Apabila negara memasuki
fase deindustrialisasi, bukan saja pertumbuhan ekonomi yang melambat tetapi
implikasi lanjutannya adalah melebarnya defisit perdagangan dan terhambatnya
penerimaan investasi.
Penurunan
daya kompetitif industri juga berimbas pada tingkat pengangguran meningkat
akibat relokasi industri dan pabrik serta investasi menuju negara lain yang
lebih kompetitif.
Modal
politik yang dimiliki Jokowi sudah sangat masif dan kondusif. Bergabungnya
Gerindra, membuat koalisi partai pendukung pemerintah mencapai 427 dari 575
kursi DPR atau 74,26 persen. Kursi pimpinan parlemen/DPR juga dikuasai (PDI
Perjuangan, Golkar, Gerindra, Nasdem, dan PKB).
Sehingga, praktis kondusivitas politik lebih terjaga dibandingkan
periode sebelumnya.
Penyusunan
APBN 2020 juga dilakukan pada era Presiden Jokowi terdahulu, sehingga
seharusnya segala rencana dan target kerja pemerintah dapat langsung dieksekusi
dan diakselerasi. Pemerintah harus bersedia melakukan kebijakan tidak populis
seperti merevisi UU Ketenagakerjaan dan berbagai UU dan regulasi yang berkaitan
dengan investasi dan bisnis.
Tekad Jokowi
akan melakukan segala keputusan gila sekalipun (karena tidak ada beban politis
terpilih kembali) layak dinanti pasar dan dunia usaha agar kutukan penurunan
kinerja periode kedua (second-term curse) tidak terjadi.
(Santo Rizal Samuelson, Pemerhati
Ekonomi dan Politik Indonesia)
Ya...semua sudah di isyaratkan...dan kita hanya berusaha dan menjalankan
BalasHapus