Jumat, 06 Desember 2019

Belajar dari PISA

TRANSFORMASI PENDIDIKAN
Belajar dari PISA

Oleh :  DONI KOESOEMA A

KOMPAS, 6 Desember 2019


Skor Indonesia pada penilaian (assessment) utama kecakapan Membaca, Matematika, dan Sains turun. Skor PISA 2018 untuk kemampuan Membaca, Matematika, dan Sains secara berurutan adalah 371, 379, 396. Kemampuan siswa anak-anak Indonesia masih berada di bawah rata-rata peserta negara OECD. Kita perlu belajar dari PISA. PISA merupakan hajatan penilaian internasional tiga tahunan yang dimulai sejak 2000 untuk menguji kompetensi peserta didik usia 15 tahun pada kompetensi Membaca, Matematika dan Sains. PISA 2018 melibatkan 600.000 siswa, mewakili 32 juta siswa seluruh dunia di 79 negara.  Ujian dilakukan selama dua jam. Sistem organisasi dan manajemen PISA yang akuntabel, melibatkan berbagai macam pakar pendidikan di seluruh dunia menjadikan tes PISA sebagai salah satu tes internasional yang dipercaya.

Dua kabar

Indonesia telah mengikuti tes PISA sejak tahun 2000. Sayangnya, pengumuman hasil PISA selalu membawa kabar buruk. Prestasi siswa Indonesia sejauh ini belum menggembirakan. Kemampuan siswa Indonesia berada di bawah rata-rata negara OECD dan secara umum posisi Indonesia selalu berada di posisi paling akhir sejajar dengan negara-negara miskin dan berkonflik.

Di balik kabar buruk ini, hasil PISA 2018 juga menyisakan kabar baik. Jika dilihat tren grafik selama mengikuti PISA, kemampuan sains siswa Indonesia menunjukkan kegembiraan. Meskipun tahun ini skor turun, namun trennya naik meskipun masih agak datar. Sedangkan untuk kemampuan Matematika, tren skor Indonesia terlihat meningkat, meski tahun ini menurun sedikit.

Tren paling drastis adalah pada kemampuan membaca. Sejak sepuluh tahun terakhir, kemampuan membaca anak-anak Indonesia semakin turun. Skor membaca kita pada 2001 adalah 371. Kemampuan membaca ini terus meningkat dan memuncak pada 2009 (402). Namun kemudian menurun terus sampai 2018 (371).

Ada yang baru dalam perubahan hasil PISA tahun ini. Singapura yang selama ini menjadi jawara tergeser di urutan kedua digantikan oleh China (diwakili Provinsi Beijing, Shanghai, Jiangsu and Zhejiang). Tiga jawara PISA yang menduduki posisi teratas secara berurutan adalah China, Singapura dan Makau. Finlandia yang populer dengan pendidikannya menduduki posisi 7.

Arif menyikapi

Tes PISA selama ini memotret kemampuan Membaca, Matematika dan Sains. Namun, penyelenggara PISA 2018 menyertakan beberapa tes tambahan untuk memotret kompetensi global, seperti literasi keuangan, kecakapan inovasi, dan kesejahteraan siswa (students’ well being). PISA juga mengukur, keyakinan dan optimisme anak-anak dalam menggapai karier di masa depan.  Dalam konstruk item soal membaca, penyelenggara mendesain teks-teks bacaan dikaitkan dengan kompetensi literasi digital yang isi dan soal bacaannya memiliki pola berpikir tingkat tinggi.

Kita perlu arif menyikapi hasil PISA 2018. Kita perlu meletakkan hasil PISA sebagai cermin sistem pendidikan kita, sehingga dapat memperbaikinya. Bersedih, mengkritik, apalagi menyalahkan pihak-pihak tertentu tidak akan membuat pendidikan kita menjadi lebih baik.

Ada satu alasan yang membuat saya tidak terlalu bersedih. Pertama, dari jumlah populasi peserta didik yang diambil, luas penyebaran siswa kita termasuk yang paling luas, yaitu sekitar 85 persen. Artinya, secara populasi data yang diambil sudah menyeluruh. Yang menjadi masalah adalah pengambilan sampel (sampling) per sekolah per kelas yang dilakukan secara acak. Faktanya, peserta PISA dari Indonesia hanya mewakili 0,003 persen (12.098 siswa) dari total populasi siswa Indonesia berusia 15 yang bersekolah. Menyimpulkan kualitas pendidikan kita buruk tidak terlalu berdasar. OECD hanya menyimpulkan bahwa ada disparitas kualitas yang tinggi antar daerah di Indonesia.

Lebih dari itu, kita mesti melihat hasil ini dari perspektif harapan daripada pesimisme. Tren sains semakin meningkat dari tahun ke tahun, ini tanda ada kemajuan dalam pendidikan kita. Usaha meningkatkan kemampuan sains dengan berbagai cara perlu dikembangkan.

Optimisme ironis

Dalam konteks lingkungan sekolah yang mendukung (menyenangkan, menumbuhkan, menggembirakan) hasil PISA juga menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia merasakan sekolah mereka menyenangkan, memiliki disiplin, ada kolaborasi dan kompetisi. Ini semua didukung oleh kehadiran orangtua yang aktif berpartisipasi dalam pendidikan.

Dalam konteks kesejahteraan siswa, hasil PISA menunjukkan bahwa faktanya, tingkat kebahagiaan anak-anak Indonesia dalam belajar hampir sama dengan rata-rata negara OECD dengan skor 91, puas dengan kehidupan mereka (70), dapat menemukan jalan keluar dari permasalahan (89). Data-data PISA 2018 menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia memiliki optimisme dan kebahagiaan dalam belajar. Ini tentu modal dasar yang sangat baik untuk berhasil di masa depan.

Kasus Indonesia mungkin agak ironis dalam hal ini. Menurut catatan PISA, 88 persen anak Indonesia sepakat bahwa guru-guru mereka menyenangkan (rata-rata OECD 74 persen). Di banyak negara, ketika para siswa mempersepsi guru mereka menyenangkan, sangat antusias dan memiliki komitmen pada pengajaran, skor kemampuan membaca mereka tinggi. Sayangnya, hal ini justru tak terjadi di Indonesia. Sebaliknya, malah kemampuan membaca kita rendah.

Yang menarik dan patut mendapatkan perhatian kita adalah konsep anak-anak tentang intelegensi yang dinamis dan selalu dapat berkembang, atau sering dikenal dengan istilah growth mindset. Mayoritas anak-anak di negara OECD memiliki keyakinan dan kepercayaan bahwa intelegensi yang mereka miliki dapat dan mungkin berubah menjadi lebih baik setiap waktu. Ketika ditanya apakah mereka setuju bila “intelegensimu adalah sesuatu dalam dirimu yang tidak dapat berubah banyak”, kebanyakan siswa Indonesia menjawab bahwa mereka setuju. Hanya ada 29 persen anak Indonesia yang memiliki keyakinan bahwa intelegensi mereka bisa berubah dan berkembang menjadi lebih baik.

Persoalan lain yang juga dipotret dalam survei PISA adalah perilaku siswa berhadapan dengan kekerasan di sekolah. Siswa Indonesia memiliki kepedulian pada teman-teman mereka yang menjadi korban buli. Skor untuk pertanyaan “saya merasa terluka bila ada teman lain dibuli” adalah 74, “adalah baik membela teman yang tidak dapat mempertahankan diri” (80), “saya merasa bersalah ketika melihat teman lain dibuli” (80), dan “saya senang bila ada orang lain yang membela teman yang sedang dibuli” (73).

Kondisi ini menunjukkan secara psikologis anak-anak Indonesia memiliki sikap ramah, mau membela teman, dan tidak mau ada kasus buli di sekolah. Namun, ada satu hal yang ironis terkait buli ini. Anak-anak Indonesia tidak memahami bahwa buli adalah perbuatan yang salah. Ketika ditanya apakah ikut serta dalam tindakan buli adalah perbuatan yang salah, sebagian besar siswa Indonesia (57) menyatakan tak setuju.

Tiga pelajaran

Ada tiga pelajaran yang bisa kita petik dari hasil PISA 2018. Pertama, yakin bahwa intelegensi bukanlah takdir, sehingga bisa berubah lebih terkait dengan bagaimana guru memotivasi peserta didik untuk dapat percaya pada dirinya sendiri dan mampu bertumbuh. Ini dapat menghindarkan peserta didik Indonesia jatuh pada fatalisme yang menipiskan harapan. Mampukah guru-guru kita menghapus stereotip anak bodoh di sekolah kita?

Kedua, konsep tentang benar atau salah terlibat dalam perilaku kekerasan bisa menjadi alarm penting yang harus diperhatikan karena anak-anak Indonesia sepertinya tidak merasa bersalah ketika mereka ikut terlibat dalam perilaku kekerasan dan buli. Penguatan pendidikan karakter yang dikembangkan selama ini perlu mengelola dan membangun sistem pengembangan kesadaran moral dalam diri siswa tentang kekerasan.

Ketiga, kegembiraan belajar ternyata tidak terkait dengan hasil belajar. Ini terbukti bahwa meskipun siswa merasa senang belajar dan guru yang mengajar mereka penuh semangat, toh kegembiraan ini ternyata tidak berkorelasi dengan prestasi akademik. Maka, para guru mesti fokus pada hasil, daripada proses. Di sini nilai disiplin, ketekunan, keteguhan harus dikembangkan agar individu menjadi pembelajar yang berhasil. Tidak semua yang tidak menyenangkan itu tidak berguna bagi siswa. Untuk terampil bermatematika perlu kedisiplinan belajar dan berpikir meskipun ini tidak menyenangkan.

Hasil PISA 2018 perlu kita lihat melalui kacamata positif dan optimisme. Meneguhkan optimisme melalui transformasi pendidikan yang berfokus pada kualitas belajar dan hasil belajar kiranya menjadi tantangan langsung Mendikbud Nadiem Makarim.


Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan dan Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Periode 2019 – 2023

2 komentar:

  1. menangkan uang sebanyak-banyaknya hanya di AJOQQ :D
    AJOQQ menyediakan 8 permainan seru :)

    BalasHapus
  2. ===Agens128 Bandar Judi Online Free Coin===

    Pakai Pulsa Tanpa Potongan
    Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
    Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
    Game Populer:
    =>>Sabung Ayam S1288, SV388
    =>>Sportsbook,
    =>>Casino Online,
    =>>Togel Online,
    =>>Bola Tangkas
    =>>Slots Games, Tembak Ikan
    Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
    || Online Membantu 24 Jam
    || 100% Bebas dari BOT
    || Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA

    WhastApp : 0852-2255-5128
    Agens128 Agens128

    BalasHapus