Rabu, 18 Desember 2019

Di Sebuah Pulau Suwung

BAHASA
Di Sebuah Pulau Suwung

Oleh :  KASIJANTO SASTRODINOMO

KOMPAS, 17 Desember 2019


Bahasa bisa tumbuh dari suasana kosong—pada sebuah pulau suwung tanpa penghuni. Sunyi di tengah deburan ombak Lautan Pasifik Selatan, pulau itu disambangi kapal Angkatan Laut Inggris bernakhoda Philip Carteret (1767), lalu dijuluki identik dengan nama kelasi yang pertama melihatnya: [Robert] Pitcairn. Letaknya terpencil, sulit dijangkau dari arah mana pun. Ekskavasi arkeologis menemukan pulau 4,6 kilometer persegi itu pernah dihuni pelayar Polinesia Kuno anno 800 Masehi. Namun, guncangan dahsyat  katastrofis membuat seluruh penghuninya angkat sauh.

Pulau Pitcairn berdenyut kembali ketika kawanan pemberontak kapal Bounty datang di sana pada 1790. Kapal Inggris, dinakhodai Kapten William Bligh, yang mengangkut bibit sukun dari Pulau Tahiti itu dibajak  deputinya sendiri, Fletcher Christian, saat berlayar ke Jamaika. Merapat di sebuah teluk sempit di Pitcairn, kapal dikuasai  awak-pemberontak: 4 orang Inggris, 2 orang Skot, seorang Amerika, seorang dari Pulau Guernsey di Selat Channel, dan seorang dari Pulau St Christopher, Karibia. Ikut  6 lelaki Polinesia sebagai budak dan 12 perempuan jadi consorts, ”permaisuri”, plus seorang bocah.

Situasi heterogen itu melahirkan suatu kontak bahasa. Saling pengaruh antara ragam bahasa tuturan antarawak kapal dan penumpangnya terus berlanjut sejak  geladak hingga turun ke daratan. Kontak bahasa lalu melahirkan bahasa kontak: aneka atau varian bahasa yang terajut bersama pengalaman historis  mendalam dan tumbuh dalam relasi sosial intensif berdurasi cukup lama—33 tahun sudah pelarian pendahagi itu terkurung di Pulau Pitcairn ketika kapal AL Inggris menemukan mereka pada abad berikutnya (The Oxford Companion to English Language, editor Tom McArthur, 1992).

”Penduduk”  Pitcairn menyebut bahasanya Pitkern dan pulaunya Pitkern Ailen. Lagu kebangsaan Inggris, God Save the Queen, di Pitkern Ailen—ketika resmi jadi koloni di kemudian hari—berubah Come ye Blessed. Dengarkan pula lagu ”mabuk kepayang” rekaan mereka: Ai law yuu mais darlen/ Teek mii lornga yuu/ Dem ai f’yoen mick mais haat kapsais/ Yus haan iin main daa tenda/ Mick mai fiil guud/ Yuu d’wan iin mais darlen/ Ai law yuu (dikutip Paul B Garrett, ”Language Contact and Contact Languages,” dalam Alessandro Duranti, editor, A Companion to Linguistic Anthropology, 2006).

Dalam ragam Inggris formal teks lagu itu menjadi I love you my darling/ Take me with you/ Your eyes make me heart capsize/ Your hand in mine is so tender/ It makes me feel good/ You’re the one in my heart my darling/ I love you. Tampak bahwa elemen utama Pitkern ialah bahasa Inggris, terutama leksikonnya, yang bercampur dengan kosakata Skot. Masuk akal sebab para awak Bounty, khususnya orang Inggris dan Skot, secara ”struktural” tentu sangat berpengaruh terhadap pengikut dan bahasanya. Fonologinya, menurut Garrett, lebih dominan dipengaruhi bahasa Tahiti. Pulau Pitcairn lalu disebut-sebut sebagai salah satu tempat persemaian bibit kawit bahasa kreol di Pasifik.

Pada 1838 Pitkern Ailen resmi sebagai koloni Inggris Raya. Kini populasi generasi cicitnya terus susut—cuma 56 jiwa pada 2013 karena banyak yang beremigrasi ke Australia dan Selandia Baru. Bahasa Pitkern pun terancam punah. ”Lonely but beautiful,” kata mereka yang kadung kerasan tinggal di sana—dalam bahasa Inggris beneran.


Kasijanto Sastrodinomo, Alumnus FIB Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar