Jumat, 13 Desember 2019

Pentingnya Imajinasi dalam Sains

PENDIDIKAN HOLISTIK
Pentingnya Imajinasi dalam Sains

Oleh :  HAIDAR BAGIR

KOMPAS, 12 Desember 2019


Judul di atas berasal dari buku The Poetry and Music of Science karya Tom McLeish terbitan Oxford University Press. Tom berargumentasi bahwa perkembangan sains tak pernah bisa terlepas dari seni. Kiranya ini sejalan saja dengan pandangan Mendikbud kita yang baru, Nadiem Makarim, tentang pentingnya pengembangan seni dan budaya dalam pendidikan sumber daya manusia kita.

Pertanyaannya, betulkah kita telah benar-benar menyadari peran penting imajinasi dalam pendidikan? Bukan saja dalam upaya mengembangkan bidang seni dan budaya atau kemampuan empatik kepada orang lain, tetapi juga dalam penemuan-penemuan saintifik yang mengubah sejarah umat manusia?

Saya  khawatir, belum  banyak  orang  yang  tahu  bahwa imajinasi menjadi salah satu daya kreatif  yang banyak melahirkan penemuan saintifik. Bahkan, dalam tulisan ini saya berani menyatakan bahwa, tak ada satu pun penemuan yang tak melibatkan kerja imajinasi. Sayangnya, salah satu daya berpikir manusia yang penting ini, bahkan mungkin lebih penting dari rasionalitas, cenderung dilupakan orang.

Bahkan kekuatan imajinasi dicibir sebagai peninggalan peradaban manusia yang belum maju. Gantinya adalah apa yang biasa disebut sebagai “Logika Penemuan Ilmiah”, atau biasa disebut metoda ilmiah, yang diwacanakan banyak mendasarkan kerjanya melalui observasi empiris dan rasionalitas.

Orang bisa sangat  kagum  kepada  Einstein, tapi jangan-jangan tak  ada yang  menganggap  serius ucapannya  yang amat terkenal itu: “Saya ini boleh dibilang sebagai seniman juga, yakni dalam hal saya banyak  mengambil dengan  bebas dari imajinasi saya. (Sesungguhnya)  imajinasi  lebih  penting daripada pengetahuan (rasional).  Pengetahuan itu terbatas. Imajinasi merangkul dunia.” Bukan itu saja, menurut Einstein sendiri, Teori Relativitas Khusus dan Umum tak akan pernah ditemukan  kalau saja dia  tak berangan-angan menunggangi gelombang-gelombang cahaya sambil mengamati perilaku cahaya gelombang lain yang bergerak sejajar dengan gerakannya.

Ada juga saat Einstein membayangkan seseorang berdiri di  samping  sebuah kereta yang  sedang  berjalan, lalu  berusaha membandingkan pengamatannya, tentang seberkas kilat yang menimpa pohon, dengan pengamatan orang lain yang berada di atas kereta yang bergerak itu. Einstein tidak sendirian. Imajinasi model begini amat mudah bisa ditemukan dalam proses penemuan ilmiah yang mengubah dunia seperti penemuan gelombang elektromagnetis oleh Michael Faraday, dan banyak lagi.

Penemuan-penemuan ilmiah besar juga bisa terjadi lewat mimpi. Karena memang imajinasi itu bisa terjadi di waktu jaga (biasa disebut visions), atau pun saat tidur. Di antara penemuan-penemuan imiah lewat mimpi ini adalah penemuan rumus Benzene oleh Kekule, penemuan Tabel Periodik Unsur Kimia oleh Mendeliyef, penemuan ratusan gagasan matematis oleh Srinivasa Ramanujan, penemuan struktur atom oleh Niels Bohr, dan masih  banyak lagi.

Imajinasi-imajinasi macam  ini  biasa  disebut sebagai  imajinasi  kreatif (creative imagination).  Begitu pentingnya imajinasi semacam ini dalam pendidikaan, sehingga  seorang  ahli  pendidikan  di  bidang kecerdasan ganda (multiple intelligences), Thomas Amstrong, memerlukan menulis  sebuah buku  untuk mengritik pendidikan di AS yang mengabaikan peran  imajinasi, dalam bukunya  yang  berjudul menarik : If  Einstein  Ran  the  Schools: Revitalizing U.S. Education.

Mengembangkan imajinasi

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mengembangkan daya imajinasi ini?  Ada  dua  sudut  dimana kita bisa memandang persoalan ini. Pertama, sudut  pandang kurikulum.  Kedua, sudut  pandang metoda atau strategi pembelajaran. Pendekatan pendidikan modern dalam hal ini, khususnya di kelas, biasanya memandang lebih penting  dan lebih strategis perspektif yang disebut belakangan. Dengan  kata lain, pengembangan imajinasi tak diajarkan dalam satu set kurikulum khusus tertentu, karena memang persoalan imajinasi tak berada pada tataran diskursif-rasional. Ia lebih dekat dengan intuisi ketimbang rasio. Dalam  hal  ini, paling-paling  diupayakan agar peserta didik  senantiasa didedahkan berbagai variasi, sebanyak-banyaknya, dalam berbagai hal.

Peserta didik perlu dibiasakan pergi ke berbagai tempat berbeda yang belum pernah dilihatnya, atau dipaparkan sebanyak-banyaknya pada berbagai karya seni sambil mencoba menghasilkan karya seni sendiri – baik dalam bentuk  puisi, musik, seni rupa, seni drama (termasuk role playing) dan sebagainya – atau kadang hanya diekspos kepada lingkungan hidup  yang  berubah-ubah, seremeh mengganti cat dinding atau mengubah aturan mebel di lingkungannya.

Yang  lebih mendasar, pengembangan imajinasi pada peserta didik lebih  tepat dilakukan dalam suatu pembelajaran kontekstual, autentik, dan praktik hands on.  Maka diperkenalkanlah  strategi  pembelajaran yang  dirasa akan bisa secara efektif mengembangkan  daya  imajinasi anak. Untuk  keperluan pembahasan ringkas ini saya akan meninjau  dua strategi pembelajaraan yang memiliki kaitan erat satu sama lain.

Design thinking

Yang pertama adalah apa yang disebut sebagai problem/project based learning. Pada dasarnya, strategi ini  hendak merancang proses pembelajaran agar merupakan simulasi dari masalah di dunia nyata. Lalu, peserta didik dibimbing untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah, mencari berbagai kemungkinan pemecahan masalah secara kreatif, dengan cara melakukan analisis logis dari semua sudut yang mungkin terlebih dulu, sedapat mungkin dengan melibatkan brainstorming dan diskusi, lalu membiarkan terjadi inkubasi gagasan-gagasan secara bebas dan dalam suasana yang nyaman (flow), hingga akhirnya terjadi a-ha moment yang melahirkan gagasan pemecahan masalah yang paling baik. Untuk menuntaskan proses pembelajaran, siswa diminta membuat presentasi proyeknya sedapat mungkin dengan memanfaatkan ketrampilan disain visual atau seni rupa di dalamnya.

Yang  kedua, sebagai kulminasi dari strategi pembelajaran berbasis problem/projek di atas,  adalah  apa  yang  disebut  sebagai  metoda  design thinking.  Metoda  ini  sesungguhnya dirumuskan dengan berupaya meniru cara seniman/kreator bekerja dalam menghasilkan karya-karya seni atau kreatifnya. Awalnya ia dikembangkan untuk dunia bisnis, tapi belakangan diadopsi oleh dunia pendidikan.

Ada banyak persamaan metoda ini dengan strategi problem/project based learning. Kecuali bahwa penghayatan empatik pada masalah dunia nyata yang hendak dipecahkan. Hal ini bisa dilakukan dengan meminta peserta didik memilih masalah nyata yang memang sudah menjadi keprihatinannya atau, lebih baik lagi, secara langsung peserta didik “ditenggelamkan” dalam masalah yang ingin dipecahkannya itu.  Misal, untuk memecahkan masalah kemacetan di suatu tempat, peserta didik dicemplungkan langsung dalam situasi ruwet kemacetan lalu lintas sehingga dapat merasakan penderitaan orang-orang yang terjebak dalam kemacetan. Akan lebih baik jika dipilih lokasi lalu-lintas di lingkungan  tempat  tinggal  peserta didik, sehingga masalah itu benar-benar menjadi keprihatinannya.  Baru dari sini diharapkan imajinasi siswa akan berkembang  dan, pada gilirannya,  benar-benar dapat   melahirkan  pemecahan  masalah  itu dengan kreatif.

Dalam kedua strategi tersebut, anak harus diberi ruang seluas mungkin dalam mengeksplorasi dan mencoba-coba berbagai kemungkinan dengan bebas dan nyaman. Eksplorasi imajinatif dalam suasana yang penuh kebebasan dan kenyamanan memang adalah kuncinya di sini. Maka peran guru benar-benar harus dibatasi sebagai fasilitator  belajar   atau  diskusi, bukan  sebagai  instruktur  yang otoriter atau sok tahu. Hanya dengan cara-cara seperti ini kita bisa berharap SDM kita dapat memiliki daya imajinasi dan kreasi/inovasi yang memungkinkan lahirnya orang-orang artistik dan kreatif, yang mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran saintifik yang dapat mengubah dunia, sekaligus punya kemampuan bersikap empatik pada masalah orang lain.


(Haidar Bagir, Ketua Yayasan Pendidikan Lazuardi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar