PENDIDIKAN HOLISTIK
Pentingnya Imajinasi dalam Sains
Oleh : HAIDAR BAGIR
KOMPAS, 12 Desember 2019
Judul di
atas berasal dari buku The Poetry and Music of Science karya Tom McLeish
terbitan Oxford University Press. Tom berargumentasi bahwa perkembangan sains
tak pernah bisa terlepas dari seni. Kiranya ini sejalan saja dengan pandangan
Mendikbud kita yang baru, Nadiem Makarim, tentang pentingnya pengembangan seni
dan budaya dalam pendidikan sumber daya manusia kita.
Saya khawatir, belum banyak
orang yang tahu
bahwa imajinasi menjadi salah satu daya kreatif yang banyak melahirkan penemuan saintifik.
Bahkan, dalam tulisan ini saya berani menyatakan bahwa, tak ada satu pun
penemuan yang tak melibatkan kerja imajinasi. Sayangnya, salah satu daya
berpikir manusia yang penting ini, bahkan mungkin lebih penting dari
rasionalitas, cenderung dilupakan orang.
Bahkan
kekuatan imajinasi dicibir sebagai peninggalan peradaban manusia yang belum
maju. Gantinya adalah apa yang biasa disebut sebagai “Logika Penemuan Ilmiah”,
atau biasa disebut metoda ilmiah, yang diwacanakan banyak mendasarkan kerjanya
melalui observasi empiris dan rasionalitas.
Orang bisa
sangat kagum kepada
Einstein, tapi jangan-jangan tak
ada yang menganggap serius ucapannya yang amat terkenal itu: “Saya ini boleh
dibilang sebagai seniman juga, yakni dalam hal saya banyak mengambil dengan bebas dari imajinasi saya.
(Sesungguhnya) imajinasi lebih
penting daripada pengetahuan (rasional).
Pengetahuan itu terbatas. Imajinasi merangkul dunia.” Bukan itu saja,
menurut Einstein sendiri, Teori Relativitas Khusus dan Umum tak akan pernah
ditemukan kalau saja dia tak berangan-angan menunggangi
gelombang-gelombang cahaya sambil mengamati perilaku cahaya gelombang lain yang
bergerak sejajar dengan gerakannya.
Ada juga
saat Einstein membayangkan seseorang berdiri di
samping sebuah kereta yang sedang
berjalan, lalu berusaha
membandingkan pengamatannya, tentang seberkas kilat yang menimpa pohon, dengan
pengamatan orang lain yang berada di atas kereta yang bergerak itu. Einstein
tidak sendirian. Imajinasi model begini amat mudah bisa ditemukan dalam proses
penemuan ilmiah yang mengubah dunia seperti penemuan gelombang elektromagnetis
oleh Michael Faraday, dan banyak lagi.
Penemuan-penemuan
ilmiah besar juga bisa terjadi lewat mimpi. Karena memang imajinasi itu bisa
terjadi di waktu jaga (biasa disebut visions), atau pun saat tidur. Di antara
penemuan-penemuan imiah lewat mimpi ini adalah penemuan rumus Benzene oleh
Kekule, penemuan Tabel Periodik Unsur Kimia oleh Mendeliyef, penemuan ratusan
gagasan matematis oleh Srinivasa Ramanujan, penemuan struktur atom oleh Niels
Bohr, dan masih banyak lagi.
Imajinasi-imajinasi
macam ini biasa
disebut sebagai imajinasi kreatif (creative imagination). Begitu pentingnya imajinasi semacam ini dalam
pendidikaan, sehingga seorang ahli
pendidikan di bidang kecerdasan ganda (multiple
intelligences), Thomas Amstrong, memerlukan menulis sebuah buku
untuk mengritik pendidikan di AS yang mengabaikan peran imajinasi, dalam bukunya yang
berjudul menarik : If Einstein Ran
the Schools: Revitalizing U.S.
Education.
Mengembangkan imajinasi
Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana cara mengembangkan daya imajinasi ini? Ada
dua sudut dimana kita bisa memandang persoalan ini.
Pertama, sudut pandang kurikulum. Kedua, sudut
pandang metoda atau strategi pembelajaran. Pendekatan pendidikan modern
dalam hal ini, khususnya di kelas, biasanya memandang lebih penting dan lebih strategis perspektif yang disebut
belakangan. Dengan kata lain,
pengembangan imajinasi tak diajarkan dalam satu set kurikulum khusus tertentu,
karena memang persoalan imajinasi tak berada pada tataran diskursif-rasional.
Ia lebih dekat dengan intuisi ketimbang rasio. Dalam hal
ini, paling-paling diupayakan
agar peserta didik senantiasa didedahkan
berbagai variasi, sebanyak-banyaknya, dalam berbagai hal.
Peserta
didik perlu dibiasakan pergi ke berbagai tempat berbeda yang belum pernah
dilihatnya, atau dipaparkan sebanyak-banyaknya pada berbagai karya seni sambil
mencoba menghasilkan karya seni sendiri – baik dalam bentuk puisi, musik, seni rupa, seni drama (termasuk
role playing) dan sebagainya – atau kadang hanya diekspos kepada lingkungan
hidup yang berubah-ubah, seremeh mengganti cat dinding
atau mengubah aturan mebel di lingkungannya.
Yang lebih mendasar, pengembangan imajinasi pada
peserta didik lebih tepat dilakukan
dalam suatu pembelajaran kontekstual, autentik, dan praktik hands on. Maka diperkenalkanlah strategi
pembelajaran yang dirasa akan
bisa secara efektif mengembangkan
daya imajinasi anak. Untuk keperluan pembahasan ringkas ini saya akan
meninjau dua strategi pembelajaraan yang
memiliki kaitan erat satu sama lain.
Design thinking
Yang pertama
adalah apa yang disebut sebagai problem/project based learning. Pada dasarnya,
strategi ini hendak merancang proses
pembelajaran agar merupakan simulasi dari masalah di dunia nyata. Lalu, peserta
didik dibimbing untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah, mencari berbagai
kemungkinan pemecahan masalah secara kreatif, dengan cara melakukan analisis
logis dari semua sudut yang mungkin terlebih dulu, sedapat mungkin dengan
melibatkan brainstorming dan diskusi, lalu membiarkan terjadi inkubasi
gagasan-gagasan secara bebas dan dalam suasana yang nyaman (flow), hingga
akhirnya terjadi a-ha moment yang melahirkan gagasan pemecahan masalah yang
paling baik. Untuk menuntaskan proses pembelajaran, siswa diminta membuat
presentasi proyeknya sedapat mungkin dengan memanfaatkan ketrampilan disain
visual atau seni rupa di dalamnya.
Yang kedua, sebagai kulminasi dari strategi
pembelajaran berbasis problem/projek di atas,
adalah apa yang
disebut sebagai metoda
design thinking. Metoda ini
sesungguhnya dirumuskan dengan berupaya meniru cara seniman/kreator
bekerja dalam menghasilkan karya-karya seni atau kreatifnya. Awalnya ia
dikembangkan untuk dunia bisnis, tapi belakangan diadopsi oleh dunia
pendidikan.
Ada banyak
persamaan metoda ini dengan strategi problem/project based learning. Kecuali
bahwa penghayatan empatik pada masalah dunia nyata yang hendak dipecahkan. Hal
ini bisa dilakukan dengan meminta peserta didik memilih masalah nyata yang
memang sudah menjadi keprihatinannya atau, lebih baik lagi, secara langsung
peserta didik “ditenggelamkan” dalam masalah yang ingin dipecahkannya itu. Misal, untuk memecahkan masalah kemacetan di
suatu tempat, peserta didik dicemplungkan langsung dalam situasi ruwet
kemacetan lalu lintas sehingga dapat merasakan penderitaan orang-orang yang
terjebak dalam kemacetan. Akan lebih baik jika dipilih lokasi lalu-lintas di
lingkungan tempat tinggal
peserta didik, sehingga masalah itu benar-benar menjadi
keprihatinannya. Baru dari sini
diharapkan imajinasi siswa akan berkembang
dan, pada gilirannya, benar-benar
dapat melahirkan pemecahan
masalah itu dengan kreatif.
Dalam kedua
strategi tersebut, anak harus diberi ruang seluas mungkin dalam mengeksplorasi
dan mencoba-coba berbagai kemungkinan dengan bebas dan nyaman. Eksplorasi
imajinatif dalam suasana yang penuh kebebasan dan kenyamanan memang adalah
kuncinya di sini. Maka peran guru benar-benar harus dibatasi sebagai
fasilitator belajar atau
diskusi, bukan sebagai instruktur
yang otoriter atau sok tahu. Hanya dengan cara-cara seperti ini kita
bisa berharap SDM kita dapat memiliki daya imajinasi dan kreasi/inovasi yang
memungkinkan lahirnya orang-orang artistik dan kreatif, yang mampu menghasilkan
pemikiran-pemikiran saintifik yang dapat mengubah dunia, sekaligus punya
kemampuan bersikap empatik pada masalah orang lain.
(Haidar Bagir, Ketua Yayasan
Pendidikan Lazuardi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar