Rabu, 18 Desember 2019

Transisi dari UN ke Asesmen Pemelajaran Harus Dikebut

EVALUASI BELAJAR
Transisi dari UN ke Asesmen Pemelajaran Harus Dikebut

Oleh :  LARASWATI ARIADNE ANWAR

KOMPAS, 13 Desember 2019

Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan, sistem asesmen untuk mengkur kinerja sekolah, baik untuk mengevaluasi siswa, tetapi juga untuk meningkatkan kompetensi guru.

Proses transisi sistem evaluasi hasil belajar dari ujian nasional menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter harus dilakukan segera dan secara komprehensif mengingat waktu pelaksanaannya kurang dari 1,5 tahun. Memberi kepercayaan kepada guru untuk mengembangkan pola pemelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peningkatan kompetensi siswa dan pelatihan mengenai penalaran tingkat tinggi niscaya dimasifkan.

Pengubahan metode evaluasi pemelajaran siswa dari ujian nasional (UN) menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang akan dilaksanakan mulai 2021 tidak hanya untuk mengevaluasi siswa, tetapi juga untuk meningkatkan kompetensi guru. Hal ini agar pemelajaran tidak sekadar mengejar nilai, tetapi kontekstualisasi ilmu dan kemampuan bernalar serta sikap yang baik untuk kehidupan sehari-hari siswa.

Selama ini, UN menguji konten mata pelajaran, tetapi mayoritas masih menekankan pada hafalan rumus dan teori. Memang secara bertahap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memasukkan soal-soal yang membutuhkan penalaran tingkat tinggi (high order thinking skills/HOTS), tetapi  perubahan pola pemelajaran belum banyak terjadi.

”Perlu dipahami bahwa asesmen ini untuk mengukur kinerja sekolah melalui hasil yang dicapai siswa, bukan untuk menghakimi siswa. Oleh sebab itu, asesmen dilakukan pada kelas IV, VIII, dan XI sehingga ada waktu satu tahun untuk pembenahan sistem pemelajaran di sekolah sebelum siswa lulus dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi,” tutur Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta, Kamis (12/12/2019). Rapat dipimpin Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda dan Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf.

Dalam metode asesmen ini, kata Nadiem, siswa tidak lagi diuji per mata pelajaran, tetapi pada kategori literasi, numerasi, dan karakter. Kemdikbud masih membahas teknis pelaksanaan asesmen ini.

Namun, yang pasti, ujian menggunakan komputer. Siswa akan membaca teks berupa narasi, argumentasi, atau  jenis-jenis lain yang di dalamnya mencakup berbagai isu terkait mata pelajaran serta ilmu yang  mereka pelajari. Topik permasalahan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Tipe asesmen ini terinspirasi tes Program Asesmen Siswa Internasional (PISA).

Pada segi survei karakter, siswa diminta mengisi angket mengenai kehidupan mereka di sekolah. Pertanyaan-pertanyaan itu akan diekstrapolasi untuk menunjukkan apabila siswa merasa nyaman di sekolah, keberadaan perundungan di dalam sistem dan pergaulan, kecukupan umpan balik yang diberikan oleh guru, hingga mutu pemelajaran toleransi.

Asesmen mulai dipraktikkan pada 2021. Tahun 2020 merupakan terakhir kalinya sistem evaluasi berupa UN dilaksanakan. Nilai hasil asesmen tidak digunakan sebagai syarat kelulusan ataupun untuk penerimaan siswa baru.

Kepercayaan

Nadiem mengatakan, masyarakat agar memberikan kepercayaan kepada guru untuk bisa mengembangkan pola pemelajaran masing-masing. Asesmen merupakan hilir, adapun hulunya adalah proses belajar di dalam kelas. Oleh sebab itu, Kemdikbud memberi guru otonomi untuk menyusun rencana pelaksanaan pemelajaran (RPP) sesuai dengan pola yang sesuai dengan perkembangan siswa di kelas masing-masing, tentu tetap sejalan dengan standar capaian kompetensi nasional yang ditorehkan di dalam Kurikulum 2013.

”Kuncinya ada di para guru dan kepala sekolah yang berani berkreasi membuat terobosan-terobosan genius di akar rumput. Contoh-contoh baik itu akan diangkat sebagai inspirasi karena yang bisa melatih guru secara jitu adalah sesama guru,” ujar Nadiem.

Setiap sekolah juga mengembangkan sistem evaluasi siswa masing-masing sebagai pengganti ujian sekolah berstandar nasional (USBN). Selama ini, USBN dilakukan dengan cara sekolah mengambil soal-soal ujian dari bank soal UN. Padahal, semestinya mereka membuat soal sendiri yang konteksnya benar-benar bisa mewakili kehidupan siswa. Perbedaan bentuk soal di setiap sekolah tidak dipermasalahkan selama kompetensi yang diukur sesuai dengan arahan kurikulum.

Evaluasi sekolah juga memasukkan portofolio tugas harian, mingguan, proyek kerja kelompok, dan perilaku siswa yang digabungkan dengan capaian kognitif sebagai syarat kelulusan siswa. Guru merupakan pihak yang paling mengetahui perkembangan siswa dari awal masuk sekolah hingga akhir tahun ajaran sehingga sewajarnya penentuan kelulusan siswa dilihat dari catatan guru.

”Sistem ini mengembalikan kedaulatan guru mengembangkan pelajaran sesuai kriteria masing-masing. Tetapi, Kemdikbud memahami, hal ini membutuhkan waktu. Sekolah yang sudah siap dipersilakan langsung menerapkan dan sekolah yang masih memilih metode USBN juga diberi waktu untuk melakukan transisi,” ucap Nadiem.

Tantangan terbesar

Kepala Kampus Guru Cikal Bukik Setiawan dalam kesempatan berbeda mengemukakan, tantangan terbesar ialah menggerakkan guru secara masif walaupun hal tersebut tidak mustahil. Selama 15 tahun terakhir, arah kebijakan pendidikan adalah pada logika kontrol terhadap dinas pendidikan, sekolah, dan guru. Akibatnya, pihak-pihak terkait cenderung pasif karena menunggu perintah dari atas.

Rencana untuk menggerakkan guru-guru kreatif merupakan cara yang dinilai jitu untuk mengajak guru melakukan perubahan. Apalagi jika organisasi-organisasi guru serentak melakukan pendampingan, baik kepada anggotanya maupun sekolah-sekolah dalam jangkauan mereka.

Guru dipandu agar bisa melakukan asesmen formatif versi masing-masing, tetapi pelatihan hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah agar tidak terbentuk asumsi bahwa segala sesuatu harus dilakukan sesuai bentuk yang ditentukan pemerintah. Kemdikbud bertindak sebagai fasilitator bagi organisasi guru.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Independen Heru Kumoro mengingatkan bahwa kesulitan dalam pemelajaran HOTS bukan karena guru tidak tahu materi pelajaran dan konsep HOTS, melainkan guru belum tahu cara menerjemahkan rumus dan teori ke dalam narasi kehidupan nyata. Pelatihan ini yang harus digenjot.


”Pedagogi kritis di lembaga pendidikan tenaga kependidikan juga harus digalakkan. Jangan meminta perubahan di sekolah jika perguruan tinggi tempat calon guru belajar belum menerapkannya,” katanya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar