ANALISIS EKONOMI
Dilema Infrastruktur
Oleh : A PRASETYANTOKO
KOMPAS, 24 Desember 2019
Beberapa berita berikut ini bisa menggambarkan kaitan
pembangunan infrastruktur dengan perilaku masyarakat, sekaligus konteksnya
dalam ekonomi makro.
Berita lain datang dari Wakil Ketua Umum Asosiasi
Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja (Katadata,
20/12/2019). Menurut penjelasannya, pembangunan infrastruktur telah
meningkatkan jumlah pengunjung mal serta okupansi hotel di daerah hingga 50
persen pada saat liburan Natal dan Tahun Baru. Bahkan, di banyak kota kecil,
tingkat hunian hotel mencapai 100 persen akibat pembangunan akses jalan.
Pembangunan infrastruktur mengubah perilaku (ekonomi)
masyarakat, terutama dalam mengisi liburan dan belanja. Perilaku masyarakat
kita begitu mudah dipengaruhi fenomena sesaat. Perilaku sifatnya temporer,
sementara pembangunan infrastruktur efeknya jangka panjang. Di situlah
dilemanya.
Sementara itu, penumpang harian kereta ringan (LRT)
Jakarta anjlok hingga 40 persen sejak beroperasi komersial (1/12/2019); penumpang
lebih memilih ojek daring (CNBC Indonesia, 20/12/2019). Proyek LRT sesi I
memang baru melayani Velodrome-Kelapa Gading sepanjang 5,8 kilometer (km)
sehingga belum terintegrasi secara maksimal.
Mengatasi
leher botol
Pembangunan infrastruktur di mana pun selalu jadi bagian
dari komitmen (politik) pemerintah. Ketika menghadapi depresi besar 1930-an di
Amerika Serikat, Presiden Franklin D Roosevelt merancang program bernama ”New
Deal”. Salah satu programnya membangun infrastruktur secara masif sampai ke
pelosok daerah.
Tujuannya, agar perekonomian bergerak dengan cara menekan
pengangguran dalam jangka pendek, mendorong industri dalam jangka menengah,
serta menyelamatkan perekonomian dalam jangka panjang.
Presiden Joko Widodo pada periode pertama (2014-2019)
mencanangkan pembangunan infrastruktur sebagai program unggulan. Pada APBN
2014, anggaran infrastruktur baru senilai Rp 154,7 triliun, kemudian naik
menjadi Rp 256,1 triliun pada 2015 atau melonjak 65,5 persen. Pada tahun fiskal
2019, anggaran infrastruktur mencapai Rp 415 triliun dan pada 2020 mencapai Rp
419,2 trilun. Bagaimana dampaknya terhadap daya saing nasional?
Dalam Laporan Daya Saing Global 2015, Indonesia berada
pada peringkat ke-37 dari 140 negara, dengan peringkat infrastruktur di posisi
ke-81. Persoalan ketersediaan infrastruktur menjadi masalah paling penting
ketiga setelah korupsi dan ketidakefisienan birokrasi. Terkait infrastruktur,
persoalan paling buruk adalah ketersediaan listrik (peringkat ke-86), disusul
kualitas infrastruktur pelabuhan (ke-82) dan kualitas jalan (ke-80).
Laporan Daya Saing Global 2019 dengan metode dan variabel
yang sedikit berbeda menempatkan Indonesia pada peringkat ke-45 dari 141
negara. Kendati peringkat negara turun, peringkat infrastruktur naik ke-72.
Dari laporan ini juga terlihat, meskipun kualitas jalan raya menempati
peringkat cukup bagus (peringkat ke-60), aspek konektivitas jalan masih buruk
(peringkat ke-109).
Ada beberapa catatan. Pertama, memperbaiki infrastruktur
tak serta-merta meningkatkan daya saing nasional. Ada begitu banyak aspek lain
yang harus diperhatikan selain infrastruktur.
Berbagai persoalan yang peringkatnya masih buruk atau di
atas 100 di antaranya insiden terorisme, kebebasan media, fleksibilitas pasar
tenaga kerja, waktu memulai bisnis, dan pengurusan paten.
Lingkungan bisnis yang kompetitif melibatkan
infrastruktur keras dan lunak yang mencakup aspek kelembagaan, aturan dan
layanan birokrasi, selain pasokan infrastruktur fisik.
Kedua, terkait pembangunan jalan raya, harus
memperhatikan aspek konektivitas. Selama ini pembangunan infrastruktur belum
terintegrasi sehingga tak meningkatkan kualitas sistem logistik.
Ada begitu banyak fenomena bottleneck (leher botol) yang
menyebabkan pembangunan infrastruktur tak memecahkan isu konektivitas.
Kemacetan Jalan Tol Layang Jakarta-Cikampek antara lain disebabkan kemacetan di
pintu keluar yang memang belum dikembangkan secara terintegrasi.
Isu leher botol ini tak hanya mengenai konektivitas
fisik, tetapi juga dalam strategi besarnya. Salah satu kelemahan pokok
pembangunan infrastruktur kita adalah kurang terintegrasi dengan aspek penataan
ruang secara makro, baik terkait pengembangan tata ruang kota maupun
pengembangan kawasan industri dan sentra ekonomi.
Persoalan ini sama sekali bukan isu baru, bukan pula tak
disadari. Masalahnya lebih karena cara kerja parsial dan sektoral masih
berlanjut, baik di tingkat pusat melibatkan kementerian dan lembaga maupun
pemerintah daerah.
Secara konseptual, Michael Porter pernah menulis artikel
di Harvard Business Review (1998) berjudul ”Clusters and the New Economics of
Competition”. Intinya, membangun industri yang kompetitif harus tecermin dalam
penataan geografis yang memungkinkan integrasi proses bisnis, mulai dari
penyediaan bahan baku, pengolahan hingga sistem logistik, sampai ke konsumen akhir.
Di Indonesia, salah satu strategi kluster mulai
diterapkan dalam pengembangan tujuan wisata. Ada 10 tujuan wisata Bali baru
yang sudah dicanangkan, yang empat di antaranya dianggap super-prioritas.
Pemerintah menyiapkan dana Rp 6,4 triliun untuk membangun infrastruktur di
empat destinasi super-prioritas, yaitu Danau Toba, Candi Borobudur, Mandalika,
dan Labuhan Bajo.
Belajar dari pengalaman pembangunan infrastruktur di
tingkat mikro, maka sangat penting mengedepankan prinsip konektivitas berbasis
kluster.
Pertama, infrastruktur fisik yang dibangun tak hanya
menyangkut satu kawasan, tetapi konektivitasnya dengan jalur logistik utama,
sehingga terhubung dalam integrasi nasional, bahkan global.
Kedua, kluster industri harus mencakup semua aspek
layanan secara komprehensif, mulai dari bisnis utama, pendukung, penyedia bahan
baku, hingga aparat birokrasinya.
Tanpa kesatuan, pembangunan infrastruktur hanya akan
menciptakan fenomena leher botol. Apalagi, perilaku masyarakat kita masih
sangat mudah digerakkan gejala sesaat.
Begitu tol layang Jakarta-Cikampek dibuka, masyarakat
berlomba-lomba mencobanya. Akibatnya, kenaikan volume kendaraan 80 persen.
Fenomena sebaliknya terjadi dalam kasus LRT Jakarta tahap I, begitu tarif
komersial diberlakukan, masyarakat pindah ke ojek daring.
John Maynard Keynes pernah berkata, ”Jangka panjang
merupakan indikator yang menyesatkan dalam penyusunan kebijakan saat ini karena
dalam jangka panjang kita semua mati.”
Meski pembangunan infrastruktur berdampak jangka panjang,
implementasi kebijakan harus tetap memperhatikan situasi nyata hari ini. Jadi,
tak seutuhnya benar, infrastruktur baru akan terlihat dampaknya di masa depan.
A
Prasetyantoko, Pengajar Di Unika Atma Jaya Jakarta
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
BalasHapusayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
WA : +85587781483
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BalasHapusBONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.