Wapres
di Panggung Keadilan
Margarito
Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara,
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 06 Mei 2014
Tanggal
9 Mei nanti, insya Allah, Pak Boed, begitu Pak Boediono biasa disapa, akan
dijadwalkan memberi kesaksian dalam perkara Pak Budi Mulya, salah satu mantan
anak buahnya di Bank Indonesia (BI) dulu.
Pak
Boed, tampaknya akan menghadiri sidang itu. Itu ditandai dengan pembantunya
mengenali area Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat,
tempat peradilan itu dilangsungkan. Hebat, itulah kata yang paling tepat
disematkan kepada Pak Boed, yang saat ini berstatus wakil presiden (wapres)
Republik Indonesia (RI). Sebagai wapres, memilih memberi kesaksian dalam
ruang pengadilan, berada bersama hakim dan jaksa penuntut, yang sejujurnya
pintar-pintar, tegas dan tidak bisa diatur-atur itu, sulit untuk tak dibilang
hebat.
Keadilan Materiil
Bukan
keadilan formal, melainkan keadilan materiillah yang dicari, diperoleh, dan
diberikan kepada terdakwa dalam peradilan ini. Betulkah terdakwa yang
melakukan perbuatan atau tindakan yang didakwakan kepadanya, mengapa
dilakukan, untuk apa dilakukan, dalam situasi apa dilakukan, semuanya harus
dicari, digali, diungkapkan. Apakah perbuatan itu dikehendaki atau sebaliknya
lalai, juga harus dicari, digali dan diungkapkan.
Demikian
juga apakah perbuatan itu dilakukan dalam keadaan sadar, setengah sadar atau
tidak sadar sama sekali, atau tidak bisa berpikir sama sekali, itu juga harus
dicari, ditemukan dan diungkapkan oleh hakim dalam peradilan ini. Ini adalah
hal yang substansial sifatnya. Cara itu tidak hanya menandai bahwa begitulah
seharusnya keadilan ditemukan dan diberikan kepada setiap orang, tetapi lebih
dari itu. Cara itu adalah hasil dari kerinduan orang-orang beradab membuat
kehidupan ini indah, agung dan mulia.
Cara itu
dipilih untuk menggantikan cara lama, yang dalam catatan sejarah, menunjukkan
pengadilan sekadar alat penguasa menghabisi lawan-lawannya. Untuk tujuan
seagung itulah diperlukan kesaksian dari orang-orang, yang sekali lagi, demi
kemuliaan dan keagungan itu juga, yang mengetahui, melihat dan mengalami
sendiri peristiwa yang didakwakan kepada terdakwa. Di situlah letak pantasnya
Pak Boed didudukan sebagai saksi dalam peradilan ini.
Tetapi
hal atau keterangan apa yang paling diperlukan dari Pak Boed dalam peradilan
ini, jaksa penuntut lah yang paling mengetahuinya. Apakah Pak Boed akan
diminta keterangan, yang akan membuat terang dan menguatkan adanya
”penyalahgunaan wewenang,” yang merupakan salah satu unsur delik dalam pasal
yang didakwakan kepada Budi Mulya. Sulit memastikannya. Apakah Budi Mulya
merupakan bagian kolektif dari jajaran kepemimpinan BI, yang di dalamnya ada
Pak Boed juga
Susah
menjawabnya. Akankah jaksa penuntut menyodorkan pertanyaan, misalnya, fakta
adanya delapan belas bank yang performanya mirip atau sama dengan BC,
sebagaimana diterangkan oleh Ibu Sri Mulyani untuk ditanggapi oleh Pak Boed.
Entahlah. Akankah Pak Boed juga diminta keterangan, bukan sekadar
mengonfirmasi, melainkan untuk memastikan derajat kesesuaian keterangan
mengenai fakta dimacetkannya surat-surat berharga (SSB) oleh BI sebelum
waktunya kepada Pak Boed.
Andai
tak dimacetkan, tercukupikah alasan untuk mem-bailout BC. Akankah jaksa penuntut juga meminta keterangan Pak
Boed soal angka bailout yang
berubah-ubah. Sulit memastikannya. Mungkinkah JPU meminta Pak Boed
menjelaskan soal data, yang oleh Ibu Sri Mulyani, perempuan pintar yang
diakui dunia itu merasa dikibulin BI. Susah menerkanya. Tetapi membayangkan
jaksa penuntut tak menggoda Pak Boed dengan fakta adanya perubahan Peraturan
BI, yang memungkinkan BC di-bailout
dalam posisi CAR negatif, adalah hal yang teramat mustahil.
Namun
apakah jaksa penuntut akan meminta Pak Boed menjelaskan pengikatan collateral, yang dilakukan antara BC
dan BI sebelum banyak hal beres Jujur, sulit mengabaikannya. Hanya dengan Ibu
Sri yang pintar itu sajakah, atau dengan figur tata negara lain lagi, yang
diajak Pak Boed berkoordinasi, sehingga melahirkan keberanian Pak Boed
mengambil sikap mem-bailout BC,
rasanya penting diungkapkan oleh Pak Boed.
Ceritakanlah
semuanya dalam peradilan ini, bukan lantaran ini adalah peradilan tipikor,
tetapi itulah cara Pak Boed memuliakan dirinya, baik sebagai mantan gubernur
BI, maupun sebagai wapres. Andai semua hal di atas diajukan kepada Pak Boed,
dan dijawab secara apa adanya, nilailah hal itu semata demi keadilan
materiil, tidak yang lain.
Apalagi
yang lain itu adalah adanya, dalam tanda petik, niat jahat dibalik bailout itu. Lihat dan nilai pulalah
kehadiran Pak Boed semata sebagai keperluan untuk memberi keadilan pada
dirinya, juga kepada Budi.
Panggung Mulia
Kala Pak
Boed melontarkan pendapatnya dalam konferensi pers di kantornya usai
diperiksa penyidik KPK, bahwa tindakan penyelamatan BC mulia, jujur, menggoda
nalar. Sebagai mahaguru, profesor, yang berpembawaan kalem, dan sederhana serta tutur kata yang selalu sejuk,
kata-kata itu pasti didasari pertimbangan matang. Kematangan itulah, yang
boleh jadi, mengantarkan dirinya untuk tak arogan menggunakan sepenggal
pengaruhnya mengaburkan peradilan ini.
Pak Boed
mungkin tak ingin memuliakan dirinya, tetapi tak mungkin beliau tak ingin
memuliakan peradilan ini. Tak memilih untuk bertelekonferensi saja, tetapi
menghadiri sidang ini, jelas harus diapresiasi. Mengapa Pimpinan KPK juga
mempertimbangkan kemungkinan itu. Andai saja beliau mau bertelekonferensi,
sulit untuk mengatakan tak akan terealisasi. Faktanya, beliau tak memilih
jalan itu.
Fakta
yang terungkap dalam persidangan ini, kelak dijadikan dasar konstruksi,
diinterpretasi dan direkonstruksi hukumnya untuk dinyatakan dalam kasus ini.
Berdasarkan rangkaian fakta itu pula, akan muncul, bila mau, konstruksi hukum
baru sebagai penentu apakah Pak Budi bersalah atau tidak, atau akan muncul
tersangka baru atau tidak sama sekali. Pak Boed dapat dipastikan tahu bahwa
jujur adalah hal terindah dan agung. Kedua hal itu menandai tingginya derajat
kemanusiaan seseorang. Jujur adalah kekuatan tak tertandingi dalam segala
situasi.
Walau
menakutkan, kejujuranlah yang membuat segala hal mulia dalam bentuk dan
esensinya. Kejujuran dalam berhukum adalah kekuatan hukum itu sendiri.
Pengadilan, seperti halnya hukum, dalam esensinya adalah kendali, kompas
kehidupan. Keduanya berinduk pada kejujuran, pada kerinduan akan
tindak-tanduk etis untuk sebuah kehidupan yang hebat. Peradilan, begitu juga
hukum, tak lain adalah kristalisasi dari semua itu.
Menggapainya
adalah rindu setiap orang beradab, dan menggapainya dengan cara beradab
adalah cara terhebat dalam membuat peradilan dan hukum hidup di
sanubari-sanubari yang hebat. Di negeri ini, dulu, peradilan pernah
memperlakukan keadilan sebagai musuh terbesarnya. Penggunaannya sebagai alat
pukul terhadap orang-orang jujur dalam berjuang, jelas merendahkan marwahnya
sendiri.
Peradilan
bukan tempat menghukum. Peradilan, sekali lagi, adalah sarana beradab dalam
menemukan dan menyatakan hukum serta keadilan. Kehadiran Pak Boed dalam
kapasitasnya sebagai wapres di pengadilan ini jelas menandai hadirnya
keadilan, juga keteladanan. Kehadirannya akan menjadi catatan sejarah
terhebat negeri ini.
Orang
yang tak melipat-lipat hukum, padahal memiliki kemampuan melakukannya adalah
orang besar. Kemuliaan pengadilan hanya bisa diwujudkan bila ditopang oleh
orang besar. Selamat bersaksi Pak
Wapres! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar