THR
dan Mengeringnya Keringat Buruh
Endang Suarini ; Aktivis Buruh di Sidoarjo
JAWA
POS, 03 Agustus 2012
MENJELANG Lebaran, selalu muncul permasalahan tunjangan hari raya
(THR). Yang mempermasalahkan THR tentu saja para buruh. Namun, sumber permasalahan
terkait dengan THR sebenarnya bukan para buruh. Sumber permasalahan itu adalah
perusahaan-perusahaan nakal yang seolah bergembira bila di tengah sukacita Idul
Fitri para buruh hanya bisa meratap dan menderita. Yang menyedihkan, tiap tahun
permasalahan THR selalu terulang.
Sebagaimana diketahui, pemberian THR keagamaan, entah untuk Idul Fitri (bagi buruh muslim) atau Natal (bagi buruh nasrani), di perusahaan diatur lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Per.04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.
Menurut peraturan itu, pengusaha diwajibkan memberikan THR keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara terus-menerus. Pekerja yang bermasa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih mendapat THR minimal satu bulan gaji.
Sementara itu, pekerja/buruh yang bermasa kerja tiga bulan secara terus-menerus tapi kurang dari 12 bulan mendapat THR secara proporsional. Yaitu, masa kerja yang sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah (pasal 3 ayat 1 dan 2 Permenakertrans No Per.04/MEN/1994).
Dari waktu ke waktu, selalu saja ada perusahaan yang tega tidak memberikan THR. Pada Lebaran tahun lalu, ternyata ada ratusan perusahaan yang nakal. Misalnya, di antara lebih dari 31.000 perusahaan di Jatim, sekitar 93 perusahaan tidak memberikan THR tahun lalu.
Terkait dengan THR, para pekerja lepas atau kontrak (outsourcing) boleh jadi paling apes sendiri. Sebab, mereka sama sekali tidak menerima THR, meski sudah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal tahun ini. Sebagaimana diketahui, salah satu ketentuan MK mengharuskan hak-hak para buruh outsourcing dipenuhi sebagaimana buruh berstatus tetap di perusahaan, termasuk dalam hal THR.
Dari perusahaan pengguna, para buruh outsourcing biasanya memang tidak mendapat THR. Sementara itu, dari perusahaan penyalur, biasanya mereka juga hanya mendapat uang dengan jumlah tertentu yang jauh di bawah ketentuan THR.
H-7 Dapat Penghargaan
Mengenai THR, banyak gubernur yang sudah menyeru seluruh pengusaha untuk segera membayar THR kepada pekerjanya paling lambat tujuh hari sebelum Lebaran (H-7). Seruan gubernur itu biasanya disertai surat edaran (SE) gubernur yang ditujukan kepada seluruh bupati/wali kota. Malahan, tahun ini beberapa kepala daerah sampai mengumumkan akan memberikan penghargaan khusus kepada perusahaan yang memberikan THR sebelum lebaran (H-7).
Sayangnya, masih saja ada perusahaan yang berkelit tidak mau memberikan THR. Mengapa? Penyebabnya adalah dihapusnya pasal pidana dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial. Dua UU tersebut menilai, penangguhan pembayaran THR termasuk sengketa hubungan industrial yang tidak berimplikasi sanksi pidana.
Inilah ironi hukum di negeri ini yang selalu bisa dipakai pihak yang kuat untuk menggencet pihak yang lemah seperti para buruh. Padahal, dengan THR, para buruh akan bisa menikmati hari raya dengan sedikit kegembiraan. Setidaknya, bisa membeli gula yang harganya melambung tinggi.
Karena itu, saya agak pesimistis terhadap langkah beberapa serikat buruh yang hendak melaporkan perusahaan yang tidak mau memberikan THR atau memberikan THR tapi tidak sesuai dengan ketentuan ke polisi. Beberapa lembaga bantuan hukum seperti LBH bahkan membuka posko THR dari tahun ke tahun. Sayangnya, laporan mereka tidak pernah ditindaklanjuti. Jadi, jangan heran bila masih ada THR Lebaran tahun lalu atau dua tiga tahun lalu pun yang belum dibayarkan kepada buruh.
Di-PHK atau Dikriminalisasi
Yang menyedihkan, ketika ada satu dua buruh yang mencoba menanyakan kepada manajemen perusahaan, khususnya divisi SDM, permasalahan THR ini justru sering berujung pada hal yang tidak mengenakkan. Mulai ancaman PHK hingga kriminalisasi buruh. Memang, kriminalisasi tidak selalu dipicu persoalan THR saja. Perusahaan memakai senjata kriminalisasi dengan membawa persoalan internal perusahaan ke ranah hukum, dengan melibatkan polisi serta aparat hukum lainnya, agar buruh tidak menuntut THR.
Padahal, Konvensi ILO No 87 menyatakan, kepolisian dan militer dilarang campur tangan dalam urusan perburuhan. Namun, begitulah potret buram dunia buruh kita. Hanya untuk mendapatkan THR, buruh malah dikriminalisasi.
Mengapa selalu terulang setiap tahun? Itu semua bergantung pada kemauan politik pemerintah dan DPR. Berani tidak pemerintah dan DPR merevisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang tidak mencantumkan pasal pidana untuk pengusaha yang mengemplang THR? Menakertrans Muhaimin Iskandar memang berjanji menyeret pengusaha yang tak membayar THR ke penjara. Tapi, itu jelas hanya retorika. Selama para pengemplang THR tidak diberi sanksi hukum, dipastikan masalah tersebut akan menjadi tradisi tahunan.
Padahal, upah yang di dalamnya termasuk THR seharusnya sudah diberikan sebelum kering keringat para buruh (hadis sahih dirawikan Ibnu Majah). Di atas semua itu, memberikan THR juga cerminan tindakan adil. ●
Sebagaimana diketahui, pemberian THR keagamaan, entah untuk Idul Fitri (bagi buruh muslim) atau Natal (bagi buruh nasrani), di perusahaan diatur lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Per.04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.
Menurut peraturan itu, pengusaha diwajibkan memberikan THR keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara terus-menerus. Pekerja yang bermasa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih mendapat THR minimal satu bulan gaji.
Sementara itu, pekerja/buruh yang bermasa kerja tiga bulan secara terus-menerus tapi kurang dari 12 bulan mendapat THR secara proporsional. Yaitu, masa kerja yang sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah (pasal 3 ayat 1 dan 2 Permenakertrans No Per.04/MEN/1994).
Dari waktu ke waktu, selalu saja ada perusahaan yang tega tidak memberikan THR. Pada Lebaran tahun lalu, ternyata ada ratusan perusahaan yang nakal. Misalnya, di antara lebih dari 31.000 perusahaan di Jatim, sekitar 93 perusahaan tidak memberikan THR tahun lalu.
Terkait dengan THR, para pekerja lepas atau kontrak (outsourcing) boleh jadi paling apes sendiri. Sebab, mereka sama sekali tidak menerima THR, meski sudah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal tahun ini. Sebagaimana diketahui, salah satu ketentuan MK mengharuskan hak-hak para buruh outsourcing dipenuhi sebagaimana buruh berstatus tetap di perusahaan, termasuk dalam hal THR.
Dari perusahaan pengguna, para buruh outsourcing biasanya memang tidak mendapat THR. Sementara itu, dari perusahaan penyalur, biasanya mereka juga hanya mendapat uang dengan jumlah tertentu yang jauh di bawah ketentuan THR.
H-7 Dapat Penghargaan
Mengenai THR, banyak gubernur yang sudah menyeru seluruh pengusaha untuk segera membayar THR kepada pekerjanya paling lambat tujuh hari sebelum Lebaran (H-7). Seruan gubernur itu biasanya disertai surat edaran (SE) gubernur yang ditujukan kepada seluruh bupati/wali kota. Malahan, tahun ini beberapa kepala daerah sampai mengumumkan akan memberikan penghargaan khusus kepada perusahaan yang memberikan THR sebelum lebaran (H-7).
Sayangnya, masih saja ada perusahaan yang berkelit tidak mau memberikan THR. Mengapa? Penyebabnya adalah dihapusnya pasal pidana dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial. Dua UU tersebut menilai, penangguhan pembayaran THR termasuk sengketa hubungan industrial yang tidak berimplikasi sanksi pidana.
Inilah ironi hukum di negeri ini yang selalu bisa dipakai pihak yang kuat untuk menggencet pihak yang lemah seperti para buruh. Padahal, dengan THR, para buruh akan bisa menikmati hari raya dengan sedikit kegembiraan. Setidaknya, bisa membeli gula yang harganya melambung tinggi.
Karena itu, saya agak pesimistis terhadap langkah beberapa serikat buruh yang hendak melaporkan perusahaan yang tidak mau memberikan THR atau memberikan THR tapi tidak sesuai dengan ketentuan ke polisi. Beberapa lembaga bantuan hukum seperti LBH bahkan membuka posko THR dari tahun ke tahun. Sayangnya, laporan mereka tidak pernah ditindaklanjuti. Jadi, jangan heran bila masih ada THR Lebaran tahun lalu atau dua tiga tahun lalu pun yang belum dibayarkan kepada buruh.
Di-PHK atau Dikriminalisasi
Yang menyedihkan, ketika ada satu dua buruh yang mencoba menanyakan kepada manajemen perusahaan, khususnya divisi SDM, permasalahan THR ini justru sering berujung pada hal yang tidak mengenakkan. Mulai ancaman PHK hingga kriminalisasi buruh. Memang, kriminalisasi tidak selalu dipicu persoalan THR saja. Perusahaan memakai senjata kriminalisasi dengan membawa persoalan internal perusahaan ke ranah hukum, dengan melibatkan polisi serta aparat hukum lainnya, agar buruh tidak menuntut THR.
Padahal, Konvensi ILO No 87 menyatakan, kepolisian dan militer dilarang campur tangan dalam urusan perburuhan. Namun, begitulah potret buram dunia buruh kita. Hanya untuk mendapatkan THR, buruh malah dikriminalisasi.
Mengapa selalu terulang setiap tahun? Itu semua bergantung pada kemauan politik pemerintah dan DPR. Berani tidak pemerintah dan DPR merevisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang tidak mencantumkan pasal pidana untuk pengusaha yang mengemplang THR? Menakertrans Muhaimin Iskandar memang berjanji menyeret pengusaha yang tak membayar THR ke penjara. Tapi, itu jelas hanya retorika. Selama para pengemplang THR tidak diberi sanksi hukum, dipastikan masalah tersebut akan menjadi tradisi tahunan.
Padahal, upah yang di dalamnya termasuk THR seharusnya sudah diberikan sebelum kering keringat para buruh (hadis sahih dirawikan Ibnu Majah). Di atas semua itu, memberikan THR juga cerminan tindakan adil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar