Senjakala
Kapitalisme
Rokhmin Dahuri ; Ketua Bidang
Kelautan, Pertanian, dan Kehutanan
Dewan Pakar ICMI
|
REPUBLIKA,
23 Agustus 2012
Pada dasarnya, hanya ada dua sistem aturan hidup (way of life): sistem buatan manusia dan
yang berasal dari Allah SWT. Sistem kehidupan buatan manusia secara garis besar
dapat diklasifikasikan menjadi komunisme-sosialisme dan kapitalisme-demokrasi. Sejarah membuktikan
bahwa komunisme telah gagal total dan ditinggalkan oleh seluruh penganutnya
sejak 1989 berbarengan dengan runtuhnya Imperium Uni Soviet.
Sementara itu, kapitalisme-demokrasi yang begitu jemawa sejak era
Adam Smith pada 1800-an mulai terlihat cacatnya dan sempoyongan sejak the great depression pada 1930. Setelah
itu, kehidupan ekonomi dunia yang menganut kapitalisme dilanda krisis keuangan
atau ekonomi secara berulang dan tak berkesudahan. Klimaks dari kegagalan
sistem kapitalisme-demokrasi terlihat jelas sejak resesi ekonomi global pada
2008 yang dipicu oleh krisis keuangan di Amerika Serikat.
Hampir semua ekonom dunia peraih Nobel, termasuk Paul Krugman dan
Joseph Stiglitz, serta Bank Dunia dan IMF yang merupakan anak kandung
kapitalisme sepakat bahwa krisis ekonomi yang melanda Eropa, AS, Jepang, dan
pusat-pusat kapitalisme lainnya tidak dapat diprediksi kapan berakhirnya. Yang
lebih mencemaskan, mereka pun kewalahan bahkan hampir menyerah untuk menemukan
jalan keluarnya.
Nasib Demokrasi
Kehidupan politik yang berasaskan pada sistem demokrasi pun
nasibnya setali tiga uang dengan kondisi ekonominya. Laporan utama the Guardian, 6 Juni 2012, dengan judul
“British Democracy in Terminal Decline“
mengungkapkan fakta yang menggemparkan dunia bahwa era demokrasi bakal segera
berakhir.
Ada tiga indikator yang memperkuat fenomena tersebut. Pertama, semakin hegemoniknya pengaruh korporasi dalam proses
pengambilan keputusan publik, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif.
Kedua, semakin banyaknya politisi yang semakin memperkaya diri dan hanya
mementingkan kelompoknya. Ketiga, kian menurunnya partisipasi masyarakat dalam
pemilu sebagai wujud kekecewaan rakyat terhadap demokrasi.
Memudarnya demokrasi seperti itu sejatinya tidak hanya terjadi
di Inggris, tetapi hampir di seluruh dunia, termasuk di Prancis dan AS sebagai
kampiun demokrasi. Hegemoni kepentingan para pemilik modal telah menyuburkan money politics, suap, kolusi, dan
korupsi.
Skandal penjualan kursi Barack Obama yang menghebohkan dunia pada
2008 hanyalah puncak dari gunung es. Saat itu, Gubernur Illinois Rod
Blagojevich akhirnya dipecat karena terbukti menjual kursi senat yang kosong
setelah ditinggalkan Obama yang terpilih menjadi Presiden AS.
Kebobrokan serupa juga tengah berlangsung di Cina dan emerging economies lainnya pengekor
demokrasi. Banyak pemimpin partai berkuasa di negeri tirai bambu yang terlibat
skandal korupsi dan bahkan pembunuhan lawan-lawan politik. Mega skandal
terakhir pada tahun ini menyeret Bo Xi Lai dan istrinya, salah satu petinggi
Partai Komunis Cina, yang selain menjarah uang negara juga membunuh secara
sadis lawan politiknya.
Seakan tak mau kalah dengan tuan demokrasinya, praktik suap, money politics, dan korupsi semakin
masif dan marak terjadi di Indonesia. Skandal korupsi Bank Century, Gayus
Tambunan, proyek Hambalang, Wisma Atlet Palembang, dana infrastruktur
Kemenakertrans, Kemendiknas dan 16 perguruan tinggi, alat kesehatan di
Kemenkes, suap pengusaha Hartati Murdaya kepada Bupati Buol, simulator
polantas, hingga pencetakan Alquran di Kementerian Agama melibatkan penjaga-penjaga
setia demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi juga mendorong para pelakunya
menjadi orang-orang munafik.
Dominannya pengaruh korporasi membuat kebijakan negara lebih
memihak kepada pemilik modal dan korporasi, baik nasional maupun asing. Maka, lahirlah
beragam UU dan kebijakan pemerintah yang menguntungkan pemilik modal dan
merugikan rakyat banyak. Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat,
mayoritas politisi dan pejabat pemerintah sibuk mementingkan kekayaan dirinya
dan mempertahankan kekuasaan.
Keserakahan serta orientasi hidup yang serbamateri dan duniawi
tanpa dimensi ukhrawi dari sistem
kapitalisme juga memacu laju pemanfaatan sumber daya alam dan pembuangan limbah
serta emisi gas rumah kaca ke lingkungan yang telah melampaui daya dukung bumi
sejak awal 1990-an. Inilah akar masalah dari berbagai bentuk kerusakan lingkungan,
termasuk global warming, yang telah
mengakibatkan krisis pangan, energi, dan air global. Dewasa ini sekitar dua
miliar penduduk dunia menderita kekurangan pangan, kelaparan, atau gizi buruk
(FAO dan WHO, 2012).
Secara rasional, setiap produk buatan manusia, tak terkecuali
kapitalisme demokrasi, memang tidak mungkin sempurna. Sebab, manusia pada
dasarnya adalah makhluk yang lemah. Ciptaan manusia pasti tidak mungkin
bersifat adil bagi seluruh manusia, tidak mampu mencakup seluruh ruang
kehidupan di bumi ini, dan tidak akan dapat menjangkau masa depan lebih dari
satu abad.
Sementara itu, ketika umat Islam melaksanakan sistem kehidupan
ciptaan Allah
(Islam) secara kafah sejak Fatkhu Makkah abad-7 M sampai penaklukan
Spanyol pada abad-17 M, umat Islam mengalami masa kejayaan (the Golden Age of Moslem). Sekitar dua
pertiga wilayah bumi yang berada di bawah kekhilafahan Islam ketika itu
menikmati kehidupan yang maju, sejahtera, dan berkeadilan. Ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) berkembang pesat.
Bahkan, semua ilmuwan kontemporer yang jujur mengatakan bahwa
iptek modern yang berkembang sekarang semua dasarnya adalah dari zaman keemasan
Islam (Wallace-Murphy, 2007). Lebih dari itu, kejayaan Islam juga menebarkan
iptek, kesejahteraan, dan keadilan ke seluruh penjuru dunia. Karena, memang
Islam adalah rahmat untuk alam semesta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar