Rapor
Bank dan Gairah Usaha
Paul Sutaryono ; Pemerhati
Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI
JAWA
POS, 06 Agustus 2012
BANK Indonesia (BI) terus mendorong bank nasional untuk meningkatkan
kredit perbankan nasional. Bagaimana kiat bank nasional menggerakkan dunia
usaha?
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Mei 2012 yang terbit pada 13 Juli 2012 menunjukkan bahwa kredit bank nasional melesat 25,84 persen dari Rp 1.825,63 triliun per Mei 2011 menjadi Rp 2.297,36 triliun per Mei 2012. Dana pihak ketiga (DPK) pun naik tajam 20,97 persen dari Rp 2.327,07 triliun menjadi Rp 2.815,00 triliun.
Pertumbuhan tersebut membuat loan to deposit ratio (LDR) naik dari 78,45 persen menjadi 81,61 persen. Artinya, bank nasional telah lulus syarat LDR 78-100 persen yang berlaku 31 Mei 2011 untuk meningkatkan kinerja kredit.
Seperti kita ketahui, yang dimaksud LDR minimal 78 persen itu adalah bila satu bank dapat menghimpun DPK sebesar Rp 100 triliun, bank itu wajib menyalurkan dana itu kembali kepada masyarakat (dunia usaha atau sektor riil) berupa kredit minimal Rp 78 triliun. Rapor itu sangat baik karena hanya kelompok BPD yang belum memenuhi syarat itu dengan LDR 63,90 persen.
Lima kelompok lainnya sudah memenuhi syarat LDR. Bank campuran mencapai 104,88 persen, bank asing 99,19 persen, bank umum swasta nasional (BUSN) nondevisa 82,63 persen, BUSN devisa 81,83 persen, dan bank persero 80,91 persen. Tegasnya, mereka mampu mengemban fungsi pokok untuk intermediasi keuangan.
Laba sebelum pajak pun naik 26,75 persen dari Rp 88,07 triliun menjadi Rp 109,30 triliun. Hebat! Mereka pun sigap menipiskan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) dari 2,92 persen per Mei 2011 menjadi 2,26 persen per Mei 2012.
Sebagai catatan, sejak Maret 2012, BI hanya melaporkan NPL kredit kepada pihak ketiga dalam bentuk nominal, bukan persentase lagi. Rasio NPL sebagai hasil perhitungan nilai nominal NPL berbanding total kredit muncul 2,26 persen per Mei 2012. NPL itu masih jauh di bawah ambang batas 5 persen.
Tingkat efisiensi tecermin pada rasio beban operasi berbanding pendapatan operasi (BOPO). BI terus mendorong agar bank nasional lebih efisien dengan merampingkan BOPO di atas 90 persen menjadi 80-an persen.
Hasilnya? Bagus. BOPO mencapai 84,33 persen per Mei 2011 menurun (membaik) menjadi 76,75 persen per Mei 2012. Dengan bahasa lebih lugas, BOPO bank nasional termasuk rasio ideal 70-80 persen. Data menunjukkan bahwa BOPO kelompok BPD 74,66 persen, bank persero 75,92 persen, BUSN devisa 76,48 persen, bank campuran 78,32 persen, BUSN nondevisa 79,42 persen, dan bank asing 81,39 persen per Mei 2012.
Data itu menegaskan bahwa BPD merupakan kelompok bank yang paling efisien dan hampir semua kelompok bank telah memiliki rasio BOPO ideal. Rapor bagus bank nasional ini merupakan kabar baik bagi BI.
Ancaman Krisis Luar Negeri
Tetapi, jangan berpuas diri dulu. Ancaman dampak krisis utang negara-negara Eropa makin mendekat dan nyata. Tengok saja, neraca perdagangan Indonesia terus defisit mulai April hingga Juni 2012. Ditambah pula, ekonomi AS belum pulih benar serta ekonomi Tiongkok dan India mulai melambat. Karena itu, bank nasional wajib meningkatkan kewaspadaan dengan memainkan jurus andalan. Apa saja?
Pertama, meningkatkan penerapan manajemen risiko. Sangat jelas bahwa ancaman dampak krisis global merupakan potensi risiko yang wajib dicermati. Bank nasional sudah sepatutnya melakukan revitalisasi manajemen risiko yang disesuaikan dengan perkembangan produk dan jasa perbankan serta perubahan lingkungan bisnis.
Mengapa? Sebab, ketika bisnis berkembang, pasti akan lahir pula potensi risiko, seperti risiko kredit, risiko pasar, atau risiko operasi. Tegasnya, manajemen risiko jangan jadi hiasan belaka, namun tidak mampu memberikan manfaat ke depan.
Dengan demikian, manajemen risiko sanggup membuat cadangan yang memadai untuk mengantisipasi risiko yang sudah diukur dan dihitung. Hasilnya, bank nasional mampu menghindari potensi kerugian yang lebih besar.
Kedua, memperbaiki kualitas kredit. Sekalipun terbang tinggi, tetapi kalau kualitasnya rendah, kredit seperti itu akan mendatangkan potensi kredit macet. Untuk itu, bank nasional jangan sampai hanya mengejar target kredit tanpa mempertimbangkan agunan, kemampuan membayar kembali, kelayakan bisnis, dan lingkungan bisnis yang terus berubah. Hindari pula surat sakti yang justru bisa menyesatkan dalam keputusan pemberian kredit.
Kini hampir semua bank nasional papan atas rajin menggarap kredit konsumsi seperti kredit tanpa agunan (KTA), kartu kredit, kartu debit, kredit kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor), dan kredit pemilikan rumah (KPR). Pertumbuhan kredit komsumsi mencapai 20,27 persen masih di bawah pertumbuhan kredit investasi 29,31 persen dan kredit modal kerja 28,88 persen per Mei 2012.
Tetapi, data mencatat pangsa pasar (market share) kredit konsumsi 29,68 persen telah melewati pangsa pasar kredit investasi 21,37 persen, sedangkan pangsa pasar kredit modal kerja 48,95 persen. Untuk itu, BI sudah saatnya makin membatasi porsi kredit konsumsi maksimal 20 persen dari total kredit. Tujuannya, memacu kredit produktif sehingga dunia usaha bergerak lebih trengginas.
Dengan bahasa lebih bening, meskipun kredit perbankan nasional tumbuh amat subur, bank nasional tidak boleh lalai untuk meningkatkan manajemen risiko kredit. Ujungnya, NPL tetap bertahan di bawah ambang batas 5 persen yang berarti kian sanggup menerapkan manajemen risiko kredit.
Dengan demikian, bank nasional tetap perkasa dan mampu mendorong dunia usaha untuk lari lebih kencang. Pertumbuhan ekonomi subur, lapangan kerja baru tercipta. ●
Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Mei 2012 yang terbit pada 13 Juli 2012 menunjukkan bahwa kredit bank nasional melesat 25,84 persen dari Rp 1.825,63 triliun per Mei 2011 menjadi Rp 2.297,36 triliun per Mei 2012. Dana pihak ketiga (DPK) pun naik tajam 20,97 persen dari Rp 2.327,07 triliun menjadi Rp 2.815,00 triliun.
Pertumbuhan tersebut membuat loan to deposit ratio (LDR) naik dari 78,45 persen menjadi 81,61 persen. Artinya, bank nasional telah lulus syarat LDR 78-100 persen yang berlaku 31 Mei 2011 untuk meningkatkan kinerja kredit.
Seperti kita ketahui, yang dimaksud LDR minimal 78 persen itu adalah bila satu bank dapat menghimpun DPK sebesar Rp 100 triliun, bank itu wajib menyalurkan dana itu kembali kepada masyarakat (dunia usaha atau sektor riil) berupa kredit minimal Rp 78 triliun. Rapor itu sangat baik karena hanya kelompok BPD yang belum memenuhi syarat itu dengan LDR 63,90 persen.
Lima kelompok lainnya sudah memenuhi syarat LDR. Bank campuran mencapai 104,88 persen, bank asing 99,19 persen, bank umum swasta nasional (BUSN) nondevisa 82,63 persen, BUSN devisa 81,83 persen, dan bank persero 80,91 persen. Tegasnya, mereka mampu mengemban fungsi pokok untuk intermediasi keuangan.
Laba sebelum pajak pun naik 26,75 persen dari Rp 88,07 triliun menjadi Rp 109,30 triliun. Hebat! Mereka pun sigap menipiskan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) dari 2,92 persen per Mei 2011 menjadi 2,26 persen per Mei 2012.
Sebagai catatan, sejak Maret 2012, BI hanya melaporkan NPL kredit kepada pihak ketiga dalam bentuk nominal, bukan persentase lagi. Rasio NPL sebagai hasil perhitungan nilai nominal NPL berbanding total kredit muncul 2,26 persen per Mei 2012. NPL itu masih jauh di bawah ambang batas 5 persen.
Tingkat efisiensi tecermin pada rasio beban operasi berbanding pendapatan operasi (BOPO). BI terus mendorong agar bank nasional lebih efisien dengan merampingkan BOPO di atas 90 persen menjadi 80-an persen.
Hasilnya? Bagus. BOPO mencapai 84,33 persen per Mei 2011 menurun (membaik) menjadi 76,75 persen per Mei 2012. Dengan bahasa lebih lugas, BOPO bank nasional termasuk rasio ideal 70-80 persen. Data menunjukkan bahwa BOPO kelompok BPD 74,66 persen, bank persero 75,92 persen, BUSN devisa 76,48 persen, bank campuran 78,32 persen, BUSN nondevisa 79,42 persen, dan bank asing 81,39 persen per Mei 2012.
Data itu menegaskan bahwa BPD merupakan kelompok bank yang paling efisien dan hampir semua kelompok bank telah memiliki rasio BOPO ideal. Rapor bagus bank nasional ini merupakan kabar baik bagi BI.
Ancaman Krisis Luar Negeri
Tetapi, jangan berpuas diri dulu. Ancaman dampak krisis utang negara-negara Eropa makin mendekat dan nyata. Tengok saja, neraca perdagangan Indonesia terus defisit mulai April hingga Juni 2012. Ditambah pula, ekonomi AS belum pulih benar serta ekonomi Tiongkok dan India mulai melambat. Karena itu, bank nasional wajib meningkatkan kewaspadaan dengan memainkan jurus andalan. Apa saja?
Pertama, meningkatkan penerapan manajemen risiko. Sangat jelas bahwa ancaman dampak krisis global merupakan potensi risiko yang wajib dicermati. Bank nasional sudah sepatutnya melakukan revitalisasi manajemen risiko yang disesuaikan dengan perkembangan produk dan jasa perbankan serta perubahan lingkungan bisnis.
Mengapa? Sebab, ketika bisnis berkembang, pasti akan lahir pula potensi risiko, seperti risiko kredit, risiko pasar, atau risiko operasi. Tegasnya, manajemen risiko jangan jadi hiasan belaka, namun tidak mampu memberikan manfaat ke depan.
Dengan demikian, manajemen risiko sanggup membuat cadangan yang memadai untuk mengantisipasi risiko yang sudah diukur dan dihitung. Hasilnya, bank nasional mampu menghindari potensi kerugian yang lebih besar.
Kedua, memperbaiki kualitas kredit. Sekalipun terbang tinggi, tetapi kalau kualitasnya rendah, kredit seperti itu akan mendatangkan potensi kredit macet. Untuk itu, bank nasional jangan sampai hanya mengejar target kredit tanpa mempertimbangkan agunan, kemampuan membayar kembali, kelayakan bisnis, dan lingkungan bisnis yang terus berubah. Hindari pula surat sakti yang justru bisa menyesatkan dalam keputusan pemberian kredit.
Kini hampir semua bank nasional papan atas rajin menggarap kredit konsumsi seperti kredit tanpa agunan (KTA), kartu kredit, kartu debit, kredit kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor), dan kredit pemilikan rumah (KPR). Pertumbuhan kredit komsumsi mencapai 20,27 persen masih di bawah pertumbuhan kredit investasi 29,31 persen dan kredit modal kerja 28,88 persen per Mei 2012.
Tetapi, data mencatat pangsa pasar (market share) kredit konsumsi 29,68 persen telah melewati pangsa pasar kredit investasi 21,37 persen, sedangkan pangsa pasar kredit modal kerja 48,95 persen. Untuk itu, BI sudah saatnya makin membatasi porsi kredit konsumsi maksimal 20 persen dari total kredit. Tujuannya, memacu kredit produktif sehingga dunia usaha bergerak lebih trengginas.
Dengan bahasa lebih bening, meskipun kredit perbankan nasional tumbuh amat subur, bank nasional tidak boleh lalai untuk meningkatkan manajemen risiko kredit. Ujungnya, NPL tetap bertahan di bawah ambang batas 5 persen yang berarti kian sanggup menerapkan manajemen risiko kredit.
Dengan demikian, bank nasional tetap perkasa dan mampu mendorong dunia usaha untuk lari lebih kencang. Pertumbuhan ekonomi subur, lapangan kerja baru tercipta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar