Pertambangan dan
Kekerasan
|
Arianto Sangaji ; Kandidat PhD di York
University, Toronto
|
KOMPAS,
15 Agustus 2012
Organisasi untuk Kerja Sama
dan Pengembangan Ekonomi (OECD) dalam laporan tahun 2012 mengenai indeks
peraturan yang menghambat investasi asing langsung (FDI) cukup menarik.
Pengukurannya memakai skala
antara 0 (sangat terbuka) dan 1 (sangat tertutup) untuk melukiskan negara
paling terbuka dan paling tertutup bagi FDI. Dalam sektor pertambangan
(termasuk minyak dan gas), skor Indonesia lumayan terbuka (0,073), lebih baik
daripada negara anggota G-20 yang kaya mineral seperti Australia (0,80),
Amerika Serikat (0,100), dan Kanada (0,150). Artinya, di industri pertambangan,
Indonesia adalah negeri paling liberal dibanding negeri-negeri kapitalis paling
maju sekalipun.
Indeks tersebut sebenarnya
menunjukkan manifestasi permukaan dari sukses penerapan kebijakan neoliberal di
sektor ini. Prinsip neoliberalisme adalah penghilangan risiko sirkulasi kapital
secara global. Dari segi komersial, maka sistem perpajakan, asuransi, dan
instrumen keuangan lainnya harus tidak berisiko bagi arus kapital. Tetapi,
paling pokok adalah risiko politik, yakni jaminan akses terhadap tanah dan
mineral di dalamnya dan kontrol terhadap tenaga kerja; dua soal kunci dalam
proses produksi industri ini.
Fungsi negara, yakni negara
neoliberal, adalah memastikan risiko-risiko itu ditiadakan atau ditekan
serendah mungkin. Indonesia sukses menekan risiko-risiko itu, yang memungkinkan
korporasi transnasional pertambangan leluasa beroperasi.
Imperialisme Baru
Kita tahu, kekhususan
industri pertambangan adalah kapital yang ditanam di sektor ini tidak bisa
bergerak, semenjak deposit mineral terkonsentrasi di tempat dan di dalam
teritori tertentu. Implikasinya, industri pertambangan mensyaratkan akses pasti
dan eksklusif terhadap tanah dan mineral yang terkandung di dalamnya untuk
dikonversi sebagai alat produksi.
Kondisi yang diperlukan agar
ekstraksi mineral dapat dilakukan adalah memberlakukan hubungan kepemilikan
kapitalistik atas tanah dan mineral. Caranya, liberalisasi hak atas tanah dan
mineral melalui mekanisme sewa tanah, di mana negara mengeruk distribusi
keuntungan dari pajak, termasuk royalti.
Kendati UUD 1945 menegaskan
kedaulatan nasional negara atas tanah dan sumber daya alam, fakta menonjolnya:
penguasaan transnasional kapital di sektor ini memperlihatkan bahwa kedaulatan
nasional atas mineral tidak mutlak, tetapi dapat dinegosiasikan. Biarpun negara
tetap/masih eksis, kapitalisme global secara efektif telah menjungkirbalikkan
kedaulatan sebuah negara, di mana kapitalis transnasional mendeterminasi proses
pembuatan kebijakan mengenai sirkulasi kapital di permukaan bumi melalui aneka
mekanisme global dari sistem hubungan antarnegara. Inilah ciri dari
imperialisme baru.
Sejak kapital pertambangan
tersentralisasi di tangan fraksi kelas kapitalis transnasional, liberalisasi
hak atas tanah dan mineral sebenarnya cermin adidaya kelas ini. Mereka menekan
pemerintah menjauh dari kebijakan reforma agraria dan mempromosikan kebijakan
monopoli tanah dan mineral di tangan kelas ini, sekaligus merendahkan sewa
tanah—termasuk royalti murah—sehingga mengeruk surplus lebih besar. Kesulitan
Pemerintah Indonesia melakukan negosiasi ulang kontrak karya dengan perusahaan
transnasional merupakan contoh empirik betapa loyonya kekuasaan sebuah negara
nasional di hadapan fraksi kelas kapitalis transnasional.
Ia menjadi soal karena
industri pertambangan beroperasi bukan di wilayah hampa hak milik. Ada jutaan
petani dengan sistem kepemilikan atas tanah yang tidak atau belum berkembang
menurut hubungan kapitalistik. Liberalisasi hak atas tanah dan mineral bermakna
sederhana: rampas dan hancurkan hubungan kepemilikan non-kapitalis atas tanah
dan dengan demikian menghancurkan perekonomian pedesaan berbasis pertanian.
Situasi kian buruk semenjak
kebijakan-kebijakan liberal diserahkan kepada para kepala daerah dengan
kewenangan memberikan izin usaha pertambangan berskala menengah-kecil. Perampasan
tanah secara paksa dan berdarah-darah untuk mengeruk mineral kian meluas.
Implikasi kedua, dalam
hubungan ketenagakerjaan, sekalipun rezim neoliberal melalui strategi
fleksibilitas secara fundamental melemahkan keseluruhan kelas pekerja, kontrol
terhadap buruh industri pertambangan berlipat-lipat dibanding industri lain.
Eksploitasi tenaga kerja pertambangan selalu dibarengi kontrol negara yang
ekstra ketat guna mencegah resistensi buruh yang keras. Pemogokan buruh PT
Freeport beberapa waktu adalah contohnya, di mana resistensi besar-besaran
buruh dibalas dengan serangan aparat keamanan yang mematikan.
Kekerasan Sistemik
Dengan melihat aspek
keamanan akses atas tanah dan tenaga kerja dalam industri pertambangan, maka
kekerasan yang kerap terjadi berakar pada keharusan mengenyahkan risiko
ekspansi global kapital. Dengan kata lain, kekerasan bukan semata karena aparat
keamanan melibatkan diri dalam konflik, tetapi bersifat endogen, yakni tumbuh
dari dalam sistem yang berorientasi pada akumulasi tanpa batas ini.
Filosof Slavoj Zizek
menyebutnya sebagai kekerasan sistemik (systemic
violence): tidak saja berkenaan dengan kekerasan fisik langsung, tetapi
mengambil bentuk kekerasan lebih halus dan tidak kasatmata dalam wujud hubungan
dominasi dan eksploitasi di bawah kapitalisme. Tanpa menyoal aspek mendasar
ini, maka tindakan kekerasan dalam sengketa tanah dan buruh dalam industri ini
akan terus berputar, seperti ”arisan”:
pindah dari satu pulau ke pulau lain, di negeri yang kaya mineral ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar