Jumat, 10 Agustus 2012

Pasar dan Masjid di Televisi


Pasar dan Masjid di Televisi
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS, 10 Agustus 2012

BULAN Ramadan adalah bulan religius dengan realisasi ibadah puasa dan praktik kesalehan sosial. Ramadan menjadi selebrasi masif dalam ekspresi dan pemaknaan religiusitas. Selebrasi itu mendapati godaan-godaan mutakhir oleh televisi. Operasionalisasi modal untuk penciptaan pasar direalisasikan melalui bentuk program acara televisi. Televisi selama Ramadan membuat klaim-klaim islami. Klaim itu sugestif atas hasrat penonton sebagai konsumen. Acara apa saja bisa menjadi ''acara islami" dengan pemenuhan konvensi atau normativitas dalam bentuk tuturan sampai pakaian.

Religiusitas dalam acara-acara televisi selama Ramadan cenderung berada dalam ranah semu atau abu-abu. Muatan religius terkadang sekadar instrumen atau tempelan. Religiusitas rentan manipulasi dan komersialisasi karena cenderung memakai orientasi pasar ketimbang implikasi-implikasi konstruktif. Komersialisasi religiusitas tampak eksplisit dalam pelbagai program televisi selama Ramadan. Muatan religius justru mengabarkan klise, repetisi, hiperbolis, dan simbolisasi. Religiusitas dalam bentuk acara-acara televisi cenderung reduksionis dan kehilangan auratik.

Televisi selama bulan Ramadan memang menemukan momentum strategis untuk memainkan kuasa dan godaan. Jean Baudrillard (1985) dalam pemikiran pesimistis mengingatkan bahwa televisi adalah dunia; televisi mencair ke dalam kehidupan dan kehidupan melebur ke dalam televisi. Mekanisme itu membuat penonton berada dalam batas tipis ilusi dan realitas. Televisi sebagai pusat justru mengantarkan penonton pada situasi-situasi manipulatif, masif, ilusif, dan pasif.

Pesimisme Jean Baudrillard relevan dengan pesan-pesan melimpah dalam sekian acara televisi selama Ramadan, membuat penonton mabuk dan riskan. Penonton cenderung kehilangan orientasi untuk mekanisme penerimaan dan absorpsi pesan karena kelimpahan pesan dalam frekuensi tinggi dan intensif tanpa jeda reflektif. Laku refleksi dalam fenomena itu kemungkinan kecil bisa direalisasikan sebagai kompensasi tindakan menonton televisi.

Kuasa televisi selama Ramadan memang kerap membatalkan pemahaman etis dan kesadaran ruang-waktu. Acara-acara berlabel religius menggoda penonton dalam sirkulasi waktu ketat dan sesak. Operasionalisasi kuasa dan godaan televisi terjadi saat mulai sahur, bukan puasa, salat Tarawih, dan lain-lain. Putaran waktu dalam konsep religius dengan mudah ditaklukkan televisi dengan menempatkan penonton sebagai konsumen. Selebrasi Ramadan sebagai bulan religius dalam pengertian waktu suci perlahan kehilangan makna dan aura. Sakralitas dalam laku ibadah mulai mengarah dengan profanisasi melalui laku menonton televisi.

Penempatan acara-acara televisi cenderung mengabaikan pemahaman waktu dalam konteks kaum muslim menunaikan ibadah. Waktu sahur dan salat Subuh adalah kondisi waktu dengan sakralitas dan nuansa hening. Pemahaman waktu sakral itu jebol oleh kehadiran televisi dalam acara komedi, kuis, atau hiburan. Laku tertawa, hasrat mencari peruntungan, perang iklan, dan keramaian hiburan justru menjadi sasaran untuk pencapaian pasar, rating, atau pengerukan laba.

Penjebolan pun terjadi ketika waktu buka puasa. Acara komedi, kuis, atau sinetron melenakan penonton untuk mengalihkan pengalaman religius dalam selebrasi masif televisi. Laku buka puasa perlahan mengalami reduksi atas refleksi dan keterlibatan substantif dalam pengalaman religius.

Acara-acara televisi itu terus menggoda penonton sampai melewati waktu-waktu sakral. Sinetron menempati posisi penting dalam perebutan pengalaman waktu religius. Sinetron-sinetron dengan label dan judul islami terus menebarkan klise, cinta, artis, iklan, konflik, hedonisme, sentimentalitas, marah, erotisme.

Penempatan waktu untuk penayangan sinetron-sinetron itu memang mengandung pertentangan antara kepentingan modal dan laku religius. Kesadaran waktu itu cenderung memberi pengaruh besar pada penonton untuk memilih menekuni televisi atau menekuni laku ibadah di masjid atau melakukan interaksi sosial dengan orang lain.

Kuntowijoyo (1987) menilai bahwa zaman modern memang identik dengan pertarungan nilai, sistem, dan institusi. Ilustrasi representatif dari pandangan itu adalah ketegangan antara masjid dan pasar. Kuntowijoyo membuat interpretasi kritis atas Hadis Rasulullah Muhammad: "Sebaik-baik tempat adalah masjid-masjid dan sejelek-jelek tempat adalah pasar-pasar." Hadis itu menjelaskan pemikiran dialektis Rasulullah Muhammad dalam memerkarakan masjid sebagai simbol agama dan pasar sebagai simbol kepentingan ekonomi.

Ketegangan antara masjid dan pasar semakin kentara dalam kehidupan mutakhir. Masjid sebagai simbol dan representasi laku religius dan masyarakat agama terus mengalami godaan-godaan pragmatis dari pasar. Pasar dalam pengertian ekonomi justru mengalami percepatan dan pembesaran untuk pembentukan masyarakat ekonomi.

Dalil ekonomi mulai merebut perhatian dalam bentuk pragmatisme dan penundukan masyarakat konsumen. Ketegangan mutakhir adalah masyarakat ekonomi mendesak masyarakat agama dengan tubrukan orientasi sakral dan profan. Fakta hari ini menunjukkan bahwa pasar telah membuat lakon absurd pencapaian pamrih ekonomi.

Televisi dalam konteks pemikiran masjid dan pasar adalah representasi dari kuasa modal dan pembentukan masyarakat penonton sebagai masyarakat konsumen. Agama tak luput dari ekspansi kuasa pasar untuk dihadirkan dalam bentuk program acara televisi dengan label religius.

Televisi selama bulan Ramadan adalah bentuk kuasa pasar: Modal bisa mengalahkan moral. Komodifikasi dan komersialisasi agama dalam bentuk program-program acara televisi menjadi bukti bahwa pasar hendak menjauhkan penonton dari masjid dalam konteks simbol dan realitas. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar