Negeri Produsen
Amnesia
M Bashori Muchsin ; Guru Besar dan
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam
Malang
MEDIA INDONESIA,
09 Agustus 2012
DALAM Editorial Media Indonesia (7/8) disebutkan, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengasah taring. Satu per satu skandal
korupsi diburu. Petinggi yang menggasak uang negara ditangkap. Lembaga negara
yang tertutup dan terkesan angker didobrak. Kasus terakhir yang dibongkar KPK
ialah dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri terkait
dengan pengadaan simulator kemudi untuk kendaraan roda dua dan empat. Tidak
tanggung-tanggung, KPK menetapkan dua jenderal aktif sekaligus sebagai
tersangka. Proyek senilai Rp198 miliar itu diduga merugikan negara hingga Rp100
miliar.
Kita khawatir kasus Korlantas sengaja dipelihara untuk membenamkan
kasus-kasus megakorupsi lain yang tengah disidik KPK. Jangan jadikan kasus
Korlantas sebagai liang lahad untuk mengubur kasuskasus itu. Setumpuk kasus
besar kini memang ditangani KPK. Sebut saja kasus proyek sport center
Hambalang. Kasus itu bertaburan bintang para politikus Partai Demokrat. Ada
nama Anas Urbaningrum, Menpora Andi Mallarangeng, dan mantan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Joyo Winoto. Nama-nama itu sering disebut dalam kasus
Hambalang.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, pelaku kasus penyalahgunaan
kekuasaan atau penyelingkuhan jabatan, yang menurut istilah Edwind Sutherland
para pelaku kejahatan ‘kerah putih’ (white
collar crime), telah menjadi ‘pelukis’ yang membuat wajah negeri ini
menjadi semakin buruk rupa. Mereka telah membuat jagat Indonesia tak ubahnya
sebagai sarang para penyamun elite yang giat menggali dan memapankan lubang
yang menguntungkan mereka.
Akibat giatnya para penggali dan pemburu keuntungan di balik
kekuasaan yang mereka duduki itu, yang disebut publik sebagai korupsi, kerugian
bangsa dan negara ini berlaksa dan berlapis-lapis. Dari sudut kerugian keuangan
secara makro saja, dalam beberapa tahun ini ada pakar yang mengestimasi
sedikitnya Rp1.500 triliun uang negara sudah dicairkan atau dialamatkan ke
kantong pribadi, kroni, dan partai.
Dengan diperparah kerugian sosial, budaya, pendidikan, agama, dan
sektor-sektor strategis lainnya, korupsi telah menciptakan kompilasi dan
komplikasi petaka nasional, seperti tragedi kemanusiaan, kemiskinan terus
berlanjut, kelaparan di wilayah-wilayah pedalaman, pendidikan tak memihak
golongan akar rumput (the grass root),
citra dan kesakralan wajah agama tereduksi (seperti pada kasus korupsi
pengadaan Alquran), dan banyaknya anak bangsa kehilangan hak hidup akibat kehabisan
cadangan pangan.
Wajah negeri yang sengkarut akibat korupsi tak lepas dari ulah
para koruptor yang terus saja `berkreasi' dalam memproduksi berbagai jenis dan
model korupsi di mana-mana. Nyaris tidak ada lembaga strategis yang tidak
terendus korupsi. Lembaga yang jadi pengemban amanat publik, yang seharusnya
jadi pejuang di garis depan untuk melawan kejahatan atau jadi pionir dalam
menggalakkan perlawanan terhadap kriminalitas elite, justru masih belum mampu
menceraikan diri dari praktik-praktik kriminalitas elitis.
Ketika lembaga strategis yang diidealisasikan jadi pemberantas
korupsi justru terlibat korupsi atau menjadi bagian dari wajah negeri yang
semakin membenamkan diri dalam lingkaran korupsi-sedangkan di sisi lain para
aktor struktural mulai jabatan kelas ke jabatan kelas kecil hingga terstrategis
terus memproduksi korupsi--begitu mencuat ke permukaan suatu kasus korupsi
besar, boleh jadi kasus itu tak lebih dari sekadar mengisi perlintasan sejarah
politik penanggulangan korupsi yang digelorakan aparat penegak hukum, yang
barangkali di dalam dirinya juga sedang mengidap kegamangan akibat korupsi yang
bertali-temali ke berbagai jaringan.
Publik tidak boleh ikut terseret dalam kegamangan. Pasalnya,
publik merupakan pemilik kedaulatan yang mempunyai fungsi kontrol untuk
mengingatkan dan meluruskan perjalanan negara ketika elemennya banyak yang
terseret masuk kubangan lumpur atau senang bercengkerama dengan `kemaksiatan
kekuasaan'.
Kata Fudloli El-Hadi (2010), publik merupakan `malaikat' yang
berkewajiban mengawal jalannya roda kekuasaan. Roda kekuasaan tidak boleh
dibiarkan publik terus berjalan mengantarkan rakyat ke jurang kehancuran total.
Elemen negara boleh jadi pelupa atau mengidap amnesia, tetapi hati dan pikiran
publik wajib terus bercahaya demi keberlanjutan hidup bangsa dan negara.
Itu menunjukkan, ketika negara sedang `khilaf ' atau sengaja
mengajak rakyat (publik) untuk jadi pengidap penyakit amnesia, rakyat wajib
gigih melawannya; kecuali bila semangat rakyat atau pejuang-pejuang keadilan
semakin temaram dan lebih memilih menikmati ulah elemen negara yang memproduksi
amnesia.
Jika oknum elemen negara terus-menerus menggelontorkan atau
memeratakan penyakit amnesia di tengah rakyat dengan cara memproduksi berbagai
model korupsi dan cara mengamankannya, tidak terlalu salah jika pada saat
tertentu rakyat menjatuhkan opsi bersikap apatis atau kehilangan semangat
kritis untuk menyuarakan dan menggelorakan perlawanan terhadap koruptor.
Sebagai sampel, KPK memang telah menetapkan satu tersangka kasus Hambalang,
yakni Deddy Kusdinar dari Kantor Kemenpora. Namun, Deddy disebut-sebut hanyalah
kelas teri. Deddy tak banyak dikenal publik meski digolongkan sebagai anak
tangga pertama untuk mengurai proyek Hambalang Gate yang menelan biaya Rp2,5
triliun. Bahkan bisa jadi, akibat pergeseran tipe, model, dan politik
penanganan korupsi, publik dalam waktu tidak lama lagi akan terjangkit amnesia
sehingga kasus Hambalang, termasuk nama Deddy yang tidak populer, akan
terlupakan.
Kasus lain yang pernah mengundang opini nasional hingga
internasional seperti kasus Bank Century juga semakin temaram, seolah antara
rakyat dan aparat penegak hukum menemukan jalan sepakat untuk tidak
menaikkannya ke permukaan. KPK, misalnya, belum juga menetapkan satu pun
tersangka kasus dana talangan sebesar Rp6,7 triliun itu meski sudah dua tahun
(berlalu sejak Pansus Century DPR) mengeluarkan rekomendasi bahwa Century bisa
ditangani secara yuridis.
Dua kasus itu jauh lebih dahsyat bila dibandingkan dengan kasus
korupsi yang menimpa aparat kepolisian. Namun jika dikembalikan ke wilayah ke
terbatasan pikir manusia, logis kalau elemen negara mencoba memproduksi kasus
baru yang dianggap mempunyai daya pe ngaruh publik yang sangat besar. Kasus
korupsi di lingkung an Polri dinilai mampu menggeser wacana dan gugatan moral
yang selama ini mengarah ke kasus yang diduga melibatkan politisi dan cenderung
membawa ke anak tangga jalur lingkaran rezim strategis.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW memperingatkan, “Meratanya
azab (musibah, bencana) adalah sesuai dengan meratanya kejahatan yang diperbuat
manusia.” Peringatan itu mempertegas kedudukan pepatah ‘Menabur angin menuai
badai’. Jika gampang membiarkan atau meliberalisasikan tangan (kekuasaan) di
ranah kriminalisasi, termasuk dalam memproduksi amnesia di tengah kehidupan
kemasyarakatan, manusia pastilah menuai dampak destruktifnya secara makro dan
berkelanjutan. Kondisi ketidakberdayaan rakyat secara menyeluruh merupakan
‘ongkos’ yang ditanggung bangsa ini akibat kepiawaian koruptor dalam menciptakan
banyak dan beragam instrumen yang membuat publik mengamnesiakannya.
Manusia dan negara ini sangat lah berpotensi dihancurkan perbuatan
manusia sendiri yang tergoda jadi penyelingkuh kekuasaan. Tuhan hanya memberi
jalan atas opsi sesat dan jahat. Manusia (penguasa) sudah diberi kemerdekaan
untuk menjatuhkan pilihan, mau mengikuti dan memperbudak ambisi-ambisinya di
jalur penghancuran sumber daya strategis bangsa atau jadi penyelamatnya.
Kalau jalur pengamnesiaan amanat yang dijadikan opsi, sedangkan
negara membiarkan dan bahkan merestuinya, kehancuran hanyalah soal waktu. Keadilan
yang menjadi dambaan publik akhirnya tak lebih sebagai nyanyian yang cepat
berlalu di lidah aparat (negara) yang hanya fasih mengucapkan dan membahasakan
kebenaran dan keadilan, tetapi dalam kenyataan hanya jadi pecundang karena
mengajak rakyat bernyanyi ‘yang lalu biarlah berlalu’. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar