Mobokrasi,
Cacat Demokrasi Indonesia
Victor Silaen ; Dosen
FISIP Universitas Pelita Harapan
SINDO,
06 Agustus 2012
Meski harus melalui pelbagai rintangan yang
tak ringan, demokrasi Indonesia pasca-Soeharto terus berkembang pesat.
Hasilnya, pada 12 November 2007, rakyat Indonesia yang diwakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima Democracy Award dari International Association of Political Consultants (IAPC). Sejak itu pula Indonesia diakui sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia—setelah Amerika Serikat dan India. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan. Sebenarnya sudah sejak dulu Indonesia menjadi negara yang demokratis. Hanya saja demokrasinya semu atau ”buat-buatan” rezim Soekarno belaka yang diberi nama demokrasi terpimpin.
Sementara di era Soeharto, demokrasinya begitu terpasung yang diberi label demokrasi Pancasila. Sekarang semuanya sudah beda. Rakyat kini betul-betul menikmati kebebasannya untuk memilih dan dipilih sebagai calon pemimpin, berpendapat, berserikat, dan sebagainya. Pendeknya, rakyat kini sangat bebas sehingga tidak mengherankan jika “medali demokrasi” itu diberikan kepada kita oleh sebuah asosiasi internasional. Namun, agak disayangkan, pemberian medali tersebut tidak disertai penjelasan gamblang mengenai indikator yang digunakan serta nomine yang dikalahkan Indonesia.
Bahkan asosiasi yang telah berdiri sejak 1968 itu terkesan merahasiakannya. Presiden IAPC Ben Goddard hanya menyatakan, penghargaan itu diberikan karena Indonesia telah menunjukkan komitmennya pada demokrasi. Kriteria pemberian penghargaan ini, salah satunya, Indonesia dinilai berhasil menyelenggarakan pemilu langsung tanpa gangguan berarti. Goddard juga mengatakan, Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang berhasil menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya.
Sementara Presiden SBY mengatakan, penghargaan tersebut menjadi bukti bahwa demokrasi bisa saja berkembang di negara yang populasi penduduknya besar, kondisi geografisnya luas, etnik dan agama beragam. “Saya ingat saat itu banyak yang bersikap skeptis. Demokrasi, katanya, tidak akan bertahan lama di Indonesia karena rakyatnya belum siap. Negaranya terlalu besar. Demokrasi hanya akan mengantarkan menuju chaos dan bahkan memecah- belah Indonesia. Ada yang berkata juga bahwa yang terjadi di Indonesia hanyalah pergantian rezim.Tapi, hari ini kita bisa berbangga sebagai rakyat Indonesia karena dengan meyakinkan kita berhasil memutarbalikkan pendapatpendapat skeptis tersebut.” Itulah sekilas rekaman pernyataan Goddard dan SBY di Nusa Dua, Bali, 12 November 2007.
Sekarang kita perlu memutarnya kembali seraya bertanya: sebenarnya untuk apakah demokrasi kita bangun dengan biaya yang sangat mahal itu? Apa manfaatnya demokrasi jika kesejahteraan belum tercapai dan keadilan belum terwujud? Indonesia—khususnya para pemimpin dan elite politiknya— agaknya lupa bahwa demokrasi bukanlah sekadar sistem yang menata institusi-institusi pemegang kekuasaan maupun perangkat prosedural untuk memilih sejumlah orang yang akan memegang jabatanjabatan publik prestisius.
Jika benar hanya semua itu yang menjadi perhatian utama dalam mengembangkan demokrasi, sesungguhnya Indonesia telah tersesat di dua tataran demokrasi facade (demokrasi permukaan).Sebab,demokrasi yang hakiki justru berada di tataran nilai-nilai (values) yang seharusnya tampak dan mengejawantah di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kebebasan, itulah nilai demokrasi yang utama. Menyusul kebebasan adalah kesetaraan dan individualistis. Jadi, artinya,kebebasan bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk kamu,dia,dan mereka— untuk kita semua.
Dengan begitulah kita menjadi saling setara. Di dalam saling setara berarti setiap orang diakui dan dihargai keberadaannya.Maka, tak bisa tidak, di dalam demokrasi niscaya bertumbuh subur apa yang namanya keanekaragaman. Pula, tak bisa tidak, kita harus mengembangkan toleransi agar mampu menerima dan menghargai orang-orang lain yang berbeda dengan kita. Sebab, jika tidak, niscaya hancurlah demokrasi—cepat atau lambat. Pertanyaannya, sudahkah hari ini kita mampu bertoleransi terhadap orang-orang lain yang berbeda dengan kita?
Jika benar demokrasi Indonesia maju, toleransi mestinya semakin dihayati dan diamalkan di tengah kehidupan sesehari masyarakat. Sebab konsekuensi demokrasi adalah keanekaragaman, sementara toleransi merupakan sikap mental yang lapang-dada menyikapi pelbagai perbedaan. Namun bagi Indonesia khususnya, demokrasi tak cukup hanya dilengkapi dengan toleransi. Lebih dari itu,demokrasi juga harus disertai dengan penegakan hukum. Jika tidak, mobokrasi bisa meletup setiap saat.
Dengan mobokrasi berarti kekuasaan berada di tangan “mob”—yang berarti gerombolan atau massa. Bukankah maraknya aksi massa anarkistis,baik yang terorganisasi maupun sporadis, akhir-akhir ini menunjukkan bahwa mobokrasi sewaktuwaktu muncul mengalahkan demokrasi? Contoh peristiwa teraktual adalah aksi massa yang mengamuk di dekat pintu tol Pondok Gede Timur lantaran tak bisa menerima kebijakan pihak Jasa Marga yang menertibkan terminal bayangan di dekat pintu tol tersebut.
Yang memprihatinkan, aksi tersebut seakan dibiarkan saja oleh pemerintah cq kepolisian. Pemerintah terkesan tak berdaya menghadapinya. Berhubung fenomena mobokrasi seperti ini bukan sekali dua kali terjadi, dapatlah Indonesia disebut sebagai negara lemah atau negara dalam bahaya yang sedang berjalan menuju negara gagal. Negara yang memiliki legalitas untuk menggunakan kekuatan represif sekaligus koersif terhadap para pelanggar hukum maupun pengancam ketertiban nyatanya berdiam diri saja. Dalam contoh kasus yang lain, kepolisian bahkan dengan sukarela mengawal para vigilante di saat mereka melakukan aksi sweeping ke tempat-tempat tertentu.
Bukankah seharusnya kepolisian tak membiarkan kewenangannya dalam menegakkan hukum dicuri oleh pihak mana pun dan dengan alasan apa pun? Tak dapat disangkal, inilah cacat demokrasi Indonesia. Ibarat penyakit, cacat ini harus disembuhkan. Caranya hanya dua. Pertama, keseriusan pemerintah dalam menyikapinya. Kedua, keberanian pemerintah dalam menghadapinya. ●
Hasilnya, pada 12 November 2007, rakyat Indonesia yang diwakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima Democracy Award dari International Association of Political Consultants (IAPC). Sejak itu pula Indonesia diakui sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia—setelah Amerika Serikat dan India. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan. Sebenarnya sudah sejak dulu Indonesia menjadi negara yang demokratis. Hanya saja demokrasinya semu atau ”buat-buatan” rezim Soekarno belaka yang diberi nama demokrasi terpimpin.
Sementara di era Soeharto, demokrasinya begitu terpasung yang diberi label demokrasi Pancasila. Sekarang semuanya sudah beda. Rakyat kini betul-betul menikmati kebebasannya untuk memilih dan dipilih sebagai calon pemimpin, berpendapat, berserikat, dan sebagainya. Pendeknya, rakyat kini sangat bebas sehingga tidak mengherankan jika “medali demokrasi” itu diberikan kepada kita oleh sebuah asosiasi internasional. Namun, agak disayangkan, pemberian medali tersebut tidak disertai penjelasan gamblang mengenai indikator yang digunakan serta nomine yang dikalahkan Indonesia.
Bahkan asosiasi yang telah berdiri sejak 1968 itu terkesan merahasiakannya. Presiden IAPC Ben Goddard hanya menyatakan, penghargaan itu diberikan karena Indonesia telah menunjukkan komitmennya pada demokrasi. Kriteria pemberian penghargaan ini, salah satunya, Indonesia dinilai berhasil menyelenggarakan pemilu langsung tanpa gangguan berarti. Goddard juga mengatakan, Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang berhasil menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya.
Sementara Presiden SBY mengatakan, penghargaan tersebut menjadi bukti bahwa demokrasi bisa saja berkembang di negara yang populasi penduduknya besar, kondisi geografisnya luas, etnik dan agama beragam. “Saya ingat saat itu banyak yang bersikap skeptis. Demokrasi, katanya, tidak akan bertahan lama di Indonesia karena rakyatnya belum siap. Negaranya terlalu besar. Demokrasi hanya akan mengantarkan menuju chaos dan bahkan memecah- belah Indonesia. Ada yang berkata juga bahwa yang terjadi di Indonesia hanyalah pergantian rezim.Tapi, hari ini kita bisa berbangga sebagai rakyat Indonesia karena dengan meyakinkan kita berhasil memutarbalikkan pendapatpendapat skeptis tersebut.” Itulah sekilas rekaman pernyataan Goddard dan SBY di Nusa Dua, Bali, 12 November 2007.
Sekarang kita perlu memutarnya kembali seraya bertanya: sebenarnya untuk apakah demokrasi kita bangun dengan biaya yang sangat mahal itu? Apa manfaatnya demokrasi jika kesejahteraan belum tercapai dan keadilan belum terwujud? Indonesia—khususnya para pemimpin dan elite politiknya— agaknya lupa bahwa demokrasi bukanlah sekadar sistem yang menata institusi-institusi pemegang kekuasaan maupun perangkat prosedural untuk memilih sejumlah orang yang akan memegang jabatanjabatan publik prestisius.
Jika benar hanya semua itu yang menjadi perhatian utama dalam mengembangkan demokrasi, sesungguhnya Indonesia telah tersesat di dua tataran demokrasi facade (demokrasi permukaan).Sebab,demokrasi yang hakiki justru berada di tataran nilai-nilai (values) yang seharusnya tampak dan mengejawantah di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kebebasan, itulah nilai demokrasi yang utama. Menyusul kebebasan adalah kesetaraan dan individualistis. Jadi, artinya,kebebasan bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk kamu,dia,dan mereka— untuk kita semua.
Dengan begitulah kita menjadi saling setara. Di dalam saling setara berarti setiap orang diakui dan dihargai keberadaannya.Maka, tak bisa tidak, di dalam demokrasi niscaya bertumbuh subur apa yang namanya keanekaragaman. Pula, tak bisa tidak, kita harus mengembangkan toleransi agar mampu menerima dan menghargai orang-orang lain yang berbeda dengan kita. Sebab, jika tidak, niscaya hancurlah demokrasi—cepat atau lambat. Pertanyaannya, sudahkah hari ini kita mampu bertoleransi terhadap orang-orang lain yang berbeda dengan kita?
Jika benar demokrasi Indonesia maju, toleransi mestinya semakin dihayati dan diamalkan di tengah kehidupan sesehari masyarakat. Sebab konsekuensi demokrasi adalah keanekaragaman, sementara toleransi merupakan sikap mental yang lapang-dada menyikapi pelbagai perbedaan. Namun bagi Indonesia khususnya, demokrasi tak cukup hanya dilengkapi dengan toleransi. Lebih dari itu,demokrasi juga harus disertai dengan penegakan hukum. Jika tidak, mobokrasi bisa meletup setiap saat.
Dengan mobokrasi berarti kekuasaan berada di tangan “mob”—yang berarti gerombolan atau massa. Bukankah maraknya aksi massa anarkistis,baik yang terorganisasi maupun sporadis, akhir-akhir ini menunjukkan bahwa mobokrasi sewaktuwaktu muncul mengalahkan demokrasi? Contoh peristiwa teraktual adalah aksi massa yang mengamuk di dekat pintu tol Pondok Gede Timur lantaran tak bisa menerima kebijakan pihak Jasa Marga yang menertibkan terminal bayangan di dekat pintu tol tersebut.
Yang memprihatinkan, aksi tersebut seakan dibiarkan saja oleh pemerintah cq kepolisian. Pemerintah terkesan tak berdaya menghadapinya. Berhubung fenomena mobokrasi seperti ini bukan sekali dua kali terjadi, dapatlah Indonesia disebut sebagai negara lemah atau negara dalam bahaya yang sedang berjalan menuju negara gagal. Negara yang memiliki legalitas untuk menggunakan kekuatan represif sekaligus koersif terhadap para pelanggar hukum maupun pengancam ketertiban nyatanya berdiam diri saja. Dalam contoh kasus yang lain, kepolisian bahkan dengan sukarela mengawal para vigilante di saat mereka melakukan aksi sweeping ke tempat-tempat tertentu.
Bukankah seharusnya kepolisian tak membiarkan kewenangannya dalam menegakkan hukum dicuri oleh pihak mana pun dan dengan alasan apa pun? Tak dapat disangkal, inilah cacat demokrasi Indonesia. Ibarat penyakit, cacat ini harus disembuhkan. Caranya hanya dua. Pertama, keseriusan pemerintah dalam menyikapinya. Kedua, keberanian pemerintah dalam menghadapinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar