Merdeka (dari)
Korupsi
|
Saldi Isra ; Guru Besar
Hukum Tata Negara,
Direktur
Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KOMPAS,
15 Agustus 2012
Bisakah dibayangkan bagaimana
raut wajah para pendiri negara ini sekiranya mereka hadir bersama kita pada
saat menjelang peringatan ulang tahun kemerdekaan RI setiap 17 Agustus? Apakah
mereka akan murka dan sekaligus menyampaikan sumpah seranah melihat bentangan
fakta yang terjadi di negeri ini?
Mayoritas kita percaya,
belajar dari keikhlasan mereka berjuang membawa negeri ini keluar dari
cengkeraman penjajah ke alam kemerdekaan, tidak mungkin para pendiri negara
akan murka. Jauh tidak bisa dipercaya lagi mereka mengekspresikan murka
diiringi sumpah seranah. Meski demikian, melihat bentangan fakta yang mendera
Tanah Air, dapat dipastikan buliran panas akan mengalir deras di wajah mereka.
Bagi yang paham makna
kekecewaan orang tua, buliran air mata yang mengalir pelan merupakan wujud
ekspresi sedih teramat sangat; sedih berbalut kecewa tak terkatakan. Boleh
jadi, begitu sedihnya menatap sengkarut negeri ini, deraian air mata mereka
menusuk jauh ke relung hati yang paling dalam. Barangkali, pertanyaan paling
mendasar yang muncul di benak mereka: mengapa negeri ini begitu jauh terperosok
ke titik nadir?
Merdeka untuk Korupsi
Sebagai pendiri bangsa,
cita-cita terbesar dan tertinggi mereka untuk negeri ini dapat dilacak pada
alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Di antara cita-cita luhur itu: memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Barangkali, kekecewaan
yang tidak terkatakan para pendiri bangsa terutama disebabkan kian jauhnya
negeri ini meraih cita-cita luhur tersebut. Bahkan, jika mau jujur, dari waktu
ke waktu upaya menggapai cita-cita luhur justru semakin jauh.
Tidak terbantahkan, salah
satu penyebab utama negeri ini makin jauh dari langkah meraih kesejahteraan dan
mencerdaskan kehidupan bangsa adalah makin meluasnya praktik korupsi. Merujuk
catatan lintasan sejarah Indonesia merdeka, dapat dikatakan bahwa hanya pada
tahun-tahun awal kemerdekaan tak terjangkit praktik koruptif. Di luar itu,
praktik korupsi benar-benar menggerogoti negeri ini.
Misalnya, Aan Rukmana dalam
buku Korupsi Mengorupsi Indonesia (2009:
1047) mencatat kegelisahan Wakil Presiden Mohammad Hatta terhadap meluasnya
praktik korupsi. Dalam tulisannya, Hatta mengatakan, korupsi pada masa tersebut
telah meresap ke segenap lapisan masyarakat, menjangkiti berbagai departemen
pemerintah. Salah satu akibatnya, ulas Hatta, semakin melemahnya kemauan untuk
melawan korupsi.
Pada buku yang sama, Sri
Margana dalam tulisan ”Akar Korupsi di
Indonesia” (2009: 417-8)
mengemukakan kekhawatiran Hatta lebih dalam. Dengan kapasitas sebagai penasihat
presiden dalam upaya pemberantasan korupsi, Hatta mengatakan bahwa korupsi
telah membudaya di Indonesia. Pendapat Hatta itu, ditambahkan oleh Margana,
membuktikan Indonesia telah memiliki reputasi sebagai bangsa korup jauh sebelum
Transparency International
menempatkan negeri ini sebagai salah satu negara terkorup di Asia pada 1998.
Merujuk hitungan waktu,
pendapat itu menggambarkan bagaimana kegelisahan Hatta melihat praktik korupsi.
Untuk waktu yang hanya berjarak sekitar lima tahun dari awal kemerdekaan, praktik
korupsi telah merasuk jauh ke masyarakat, termasuk lembaga-lembaga negara.
Hampir dapat dipastikan, saat mengatakan korupsi telah membudaya, Hatta
tentunya melihat peningkatan pesat praktik korupsi. Karena itu, kegelisahan
Hatta tak hanya melihat praktik sebelum 1970, sekaligus melihat betapa gurita
korupsi jadi ancaman nyata masa depan Indonesia.
Sekiranya masih hidup sampai
1990-an, Hatta akan melihat dan merasakan langsung bagaimana kekhawatirannya
dengan cepat berubah jadi fakta tak terbantahkan. Boleh jadi, dari fakta yang
ada, Hatta tak hanya akan mengulangi kegelisahannya, juga akan muncul dengan
pernyataan baru: korupsi telah menjadi
darah yang mengalir di tubuh sebagian manusia Indonesia, terutama mereka yang
berada di jajaran pemerintahan. Bahkan melihat masifnya korupsi, hampir
dapat dipastikan Hatta akan kehabisan kata-kata menjelaskan bagaimana perilaku
koruptif mengeroposkan dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara.
Terlepas dari kegelisahan
itu, meluasnya praktik korupsi yang terjadi dalam hampir sepanjang sejarah
Indonesia merdeka menjelaskan bagaimana perilaku koruptif mereduksi makna
hakiki kemerdekaan. Tujuan kemerdekaan seperti sengaja dibelokkan untuk
memenuhi nafsu serakah guna memperkaya diri sendiri dengan cara melawan hukum.
Bahkan, melihat gejala yang berkembang, kemerdekaan semakin bergeser menjadi
instrumen untuk merdeka (bebas) melakukan korupsi.
Merdeka dari Korupsi
Suatu ketika, Wakil Presiden
M Jusuf Kalla (2004-2009) mengemukakan bahwa selama bangsa masih mempunyai
optimisme, korupsi pasti dapat diberantas. Pernyataan Jusuf Kalla itu tentunya
harus dipandang dan ditempatkan sebagai modal untuk tidak pernah menyerah dalam
memberantas korupsi.
Namun, melihat praktik
korupsi yang kian masif, optimisme kian sulit dipertahankan. Dalam situasi itu,
jalan terbaik untuk tetap memelihara optimisme terbentangnya jalan yang
menumbuhkan harapan untuk merdeka (bebas) dari korupsi.
Banyak kalangan percaya,
peta jalan merdeka dari korupsi tidak cukup hanya dengan melakukan penindakan.
Apalagi langkah penindakan yang merupakan faktor kunci tidak berada dalam
pemahaman yang sama di antara semua lembaga penegak hukum. Tidak hanya
persoalan pemahaman, lebih parah lagi komitmen di antara lembaga penegak hukum
tidak pula seragam.
Ambil saja contoh kasus
dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi yang melibatkan kepolisian dan
KPK. Dalam kasus ini, apabila kepolisian memiliki komitmen kuat untuk
memerdekakan institusinya dari praktik korupsi, mestinya KPK tidak perlu
dipersulit.
Jalan menuju merdeka dari
korupsi kian berat karena langkah pencegahan (preventif) tidak dilakukan dengan
serius. Sejauh ini, langkah pencegahan lebih banyak terjebak dalam program
pencitraan guna menunjukkan seolah-olah sebuah lembaga negara serius melakukan
pembaruan. Seharusnya, sekiranya memang serius, tentu tak akan muncul rentetan
skandal suap, misalnya, di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Atau, kasus
dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas Polri tidak perlu ada.
Demi menjaga dan membangun
optimisme kita dalam melawan korupsi, sebagaimana diingatkan Jusuf Kalla di
atas, peringatan hari ulang tahun kemerdekaan tahun
ini harus dijadikan sebagai momentum untuk menegaskan merdeka dari korupsi.
Hanya dengan itulah cita-cita luhur kemerdekaan—memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa— dapat digapai. Tanpa
itu, kemerdekaan hanya akan mempertontonkan merdeka untuk melakukan korupsi.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar