Selasa, 21 Agustus 2012

Merdeka dari Angkara Murka


Merdeka dari Angkara Murka
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 21 Agustus 2012


Pelajaran sangat penting dari sejarah perjuangan merebut kemerdekaan adalah bilamana pikiran pemimpin dan rakyat dipersatukan mencapai tujuan yang jelas dan mulia. Ternyata, alasan terlalu miskin, lemah, menderita, dan ancaman kematian bukan hambatan keberhasilan perjuangan asalkan tujuan yang hendak diraih lebih berharga daripada nyawa itu sendiri. Dengan tekad seperti itu, kematian bukan jalan keluar kenestapaan, melainkan kepahlawanan yang menyuburkan tanah air Indonesia.

Manifestasi kecintaan dan intimitas pemimpin bangsa dan rakyat Indonesia masa itu terhadap tanah air mungkin mirip dengan cinta dan erotisme pemimpin dan rakyat Athena terhadap demokrasi sekitar abad keempat dan kelima. Ideologi eros yang menyusup dalam pemikiran dan doktrin para filsuf mengajarkan agar warga cinta pada tanah air. 

Sedemikian mendalamnya makna cinta mereka pada demokrasi diibaratkan hubungan mereka sangat intim dan kopulatif, laiknya suami dan istri (Victoria Wohl, Love Among The Ruins, The Erotic of Democracy in Classical Athens, 2002).

Ilustrasi tersebut tidak berlebihan karena para pemimpin bangsa pada era perjuangan kemerdekaan tidak hanya membakar semangat cinta tanah air dengan pidato, orasi, dan demagogi, tetapi juga memberikan teladan dalam kehidupan keseharian dan praktik bernegara. Interaksi mereka sangat berkualitas karena dasar dan landasan berpijak mereka adalah memperjuangkan gagasan, bukan transaksi kepentingan kekuasaan semata. Perilaku santun mereka merupakan ekspresi dan pancaran dari rasa cinta terhadap bangsa dan negaranya, bukan kemunafikan untuk menyembunyikan perilaku korup. Komitmen mereka terhadap cita-cita juga tetap dipegang teguh meskipun mereka harus merasakan dinginnya sel penjara, kesendirian, dan rasa sepi yang mencekam serta ancaman pembunuhan.

Keberhasilan rakyat merebut kemerdekaan dari keangkaramurkaan penjajah dalam konteks kekinian paralel dengan kemenangan umat Islam di Indonesia selama bulan puasa telah berhasil mengendalikan nafsu manusia. Semangat ini merupakan momentum dan kesempatan emas bangkitnya kekuatan masyarakat Indonesia untuk siuman dari sergapan polusi serbuk opium, berupa politik pencitraan yang ditaburkan para penikmat kekuasaan. Kekuatan yang sangat diperlukan agar rakyat benar-benar menjadi sais (kusir) yang mampu mengendalikan kereta yang bernama negara sehingga nafsu liar kuda-kuda yang menghelanya menuju tujuan yang sebenarnya.

Perjalanan bangsa Indonesia dewasa ini mengalami rute yang rumit, berliku, penuh tikungan, dan jebakan yang tidak hanya akan menyebabkan perjalanan mewujudkan cita-cita bangsa semakin jauh dari jangkauan. Namun, perjalanan bangsa juga dapat tersesat menuju jalan buntu. Prima kausanya adalah politik imaji yang sarat kepalsuan. 

Akibatnya, rakyat kehilangan orientasi nilai-nilai. Panduan hidup kabur. Politik yang seharusnya mulia menjadi praktik penyalahgunaan yang masif dan bertingkat-tingkat. Perilaku korup secara habis-habisan ditutupi dengan memanipulasi simbol-simbol semiotik mulai dari menebarkan foto, mengumbar janji palsu, sampai retorika yang meniupkan angin surga. Kebohongan publik semakin menguras amal publik para pemegang kekuasaan.

Politik kepurapuraan telah memangsa reformasi, demokrasi justru mengembangbiakkan korupsi. Perilaku korup telah membuat rute yang menakutkan karena menaburkan hiper-realitas dalam wujud kepalsuan berbaur dengan orisinalitas, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, gelagat dan ikon meluluh dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kedurhakaan berjalan seiring dengan kesantunan, masa lalu berhimpun dengan kekinian. Akibatnya, ingatan menjadi pendek. Publik merindukan kekuasaan masa lalu yang represif dengan berimajinasi munculnya pemimpin yang dianggap berani dan tegas meskipun mereka sekadar menjajakan janji dan semboyan melalui rekayasa semiotika dan hiper-realitas. Dengan begitu, tidak mengherankan para koruptor sangat percaya diri menghadiri pertemuan korps diplomatik, nampang di depan kamera TV, bahkan pakaian seragam KPK dijadikan mode.

Namun, yang lebih menyedihkan, prinsip- prinsip kebenaran, kepalsuan, keaslian, kenyataan menjadi rancu dan membaur menjadi satu sehingga sebagian masyarakat, terutama generasi muda, bingung membedakan perilaku mulia dan laknat. Karena itu, tragedi contek massal dan perjokian dalam UMPT harus dicegah dengan sungguh-sungguh karena ini bibit berbiaknya perilaku korup.

Dalam merenungi kemerdekaan di bulan yang penuh berkah ini, bangsa Indonesia telah membuktikan sebagai bangsa yang tangguh. Syaratnya, mempunyai pemimpin yang dapat menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan untuk mencapai tujuan yang jelas. Karena itu, bangsa Indonesia tidak boleh surut memperjuangkan kekuasaan yang beradab.

Bangsa Indonesia harus berjuang meluruskan rute reformasi. Agenda jangka pendek, tahun 2014 harus dijadikan ”tahun rakyat memilih”. Rakyat harus mampu memilih pemimpin negara, presiden, bukan hanya kandidat yang disodorkan partai politik. Agenda jangka panjang, menggembleng kader-kader partai politik sebagai calon pemegang kekuasaan. Tanpa pendidikan yang benar, partai politik dapat dipastikan tidak akan memproduksi negarawan, tetapi hanya akan menjadi pemasok kezaliman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar