Membangun
Peradaban Fitri
|
Abdul Mu’ti ; Sekretaris PP
Muhammadiyah, Dosen IAIN Walisongo, Semarang
|
SINDO,
16 Agustus 2012
Ibarat suatu pertandingan, Idul Fitri adalah
momen selebrasi atas kemenangan yang diraih kaum muslim yang menunaikan ibadah
puasa. Idul Fitri adalah saat kebahagiaan di mana kaum muslim berbagi
kebahagiaan dengan bersedekah, menebarkan damai dan kasih sayang dengan saling
memaafkan. Kegembiraan dirayakan dengan open house sebagai manifestasi dari
pikiran yang terbuka (open mind) dan
hati yang lapang (open heart).
Ibarat kehidupan, Idul Fitri adalah sebuah momentum kelahiran.
Kelahiran bayi adalah asa baru kehidupan masa depan yang cemerlang. Ramadan
adalah bulan pembakaran dosa dan pembersihan jiwa. Saat Idul Fitri, seorang
muslim terlahir kembali (reborn)
sebagai manusia baru.Ibarat perjalanan kehidupan, Idul Fitri adalah saat di
mana manusia melakukan mudik spiritual.
Tiga Fondasi
Sesuai konteksnya, Idul Fitri memiliki beberapa pengertian. Pertama, dalam pengertian fikih, Idul Fitri berarti kembali berbuka setelah selama bulan Ramadan kaum muslim yang berpuasa dilarang makan, minum, dan melakukan perbuatan yang membatalkan puasa. Kedua, dalam pengertian akidah dan akhlak, Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah manusia dengan sifat-sifat kemanusiaannya yang utama.
Berdasarkan pengertian ini, Idul Fitri adalah titik awal manusia membangun peradaban fitri. Peradaban fitri memiliki tiga fondasi. Pertama, tauhid yang murni. Menurut ajaran Islam, manusia terlahir ke dunia sebagai makhluk yang beriman kepada Allah. Keimanan ini sudah diikrarkan manusia sejak masih dalam alam arwah (Qs 7, Al-A’raf: 172). Beriman kepada Allah adalah fitrah Allah yang ditetapkan untuk manusia sehingga selamat dan teguh di jalan hidup yang lurus (Qs 30, Al-Rum: 30).
Tauhid yang murni adalah akar yang menumbuhkan pengabdian yang tulus, optimisme, kemerdekaan, keterbukaan, keberanian, dan keteguhan. Tauhid yang murni menuntut manusia untuk menyembah hanya kepada Allah. Prinsip ini mengandung tiga konsekuensi. Pertama, penghambaan yang tulus akan membentuk manusia yang patuh dan taat kepada hukum baik hukum agama (syariah) maupun hukum positif.
Kedua, dengan menyembah hanya kepada Allah, semua selain Allah adalah makhluk. Prinsip ini menghilangkan feodalisme dan melahirkan masyarakat yang egalitarian yang ditandai oleh adanya kesamaan kedudukan dan kesempatan bagi setiap manusia untuk mengembangkan diri dan meraih prestasi. Egalitarianisme merupakan spirit kemajuan (Wolkinson dan Pickett, 2010) yang meniscayakan adanya kompetisi yang sehat di antara sesama warga negara.
Menurut Nial Ferguson (2011), kompetisi adalah kunci yang membawa bangsa Barat unggul dan memimpin peradaban lainnya. Konsekuensi ketiga, karena semua manusia adalah hamba Allah, mereka harus senantiasa mengasihi, menyayangi, dan menolong sesama. Tauhid yang murni adalah pangkal kebajikan (amal al-shalih) sebagai kunci meraih kemenangan dan kesuksesan. Fondasi kedua adalah jiwa yang bersih. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna baik secara fisik, psikologis maupun spiritual.
Manusia memiliki akal, kalbu,dan nafsu yang memungkinkannya melakukan aktivitas positif-konstruktif. Selain itu,manusia juga memiliki potensi yang jahat. Menurut Muhiuddin Hairi Shirazi (1997: 14), fitrah adalah sifat-sifat positif yang mendorong manusia berbuat kebajikan, sedangkan tabiat adalah sifat-sifat kebinatangan yang mendorong manusia berbuat kejahatan.
Martabat manusia ditentukanolehkemampuannya dalam mempertahankan dan mengaktualkan sifat-sifat kemanusiaannya yang mulia.”Sungguh beruntung manusia yang membersihkan jiwanya. Sebaliknya, sungguh merugi manusia yang mengotori jiwanya.” (Qs As- Syam: 9-10).Di dalam jiwa yang bersih terdapat pikiran dan hati yang jernih sebagai pangkal dari segala kemuliaan.
Jiwa yang bersih akan mendorong kehidupan yang bersih, baik secara fisik, sosial maupun moral. Secara bahasa, fitrah berarti bersih. Kata fitrah dipergunakan untuk menunjukkan perilaku yang bersih seperti memotong kuku, khitan, membersihkan bulu ketiak. Fitrah juga berarti suci. Alquran memerintahkan manusia untuk senantiasa menjaga kebersihan diri, lingkungan, dan moralitasnya.
Dengan fitrahnya, manusia senantiasa menjaga kebersihan lingkungannya dari polusi, berlaku penuh kesopanan dan kelembutan, serta bekerja keras memperoleh rezeki yang halal dan bersih dari korupsi. Fitrah adalah fondasi bagi terbentuknya peradaban yang bersih. Fondasi peradaban fitrah yang ketiga adalah kreativitas. Kata ”fitrah” berasal dari akar kata ”fathara” yang berarti menciptakan sesuatu yang otentik.
Allah adalah Al-Fathir: Dzat Yang Maka Kreatif, Kreator Agung yang menciptakan alam semesta dengan sempurna, menciptakan manusia berpasang- pasangan dan memberikan rezeki kepada semua makhluknya. Fitrah adalah hasil kreasi sempurna, makakarya Allah. Sebagai khalifah dan hamba Allah, manusia adalah makhluk yang kreatif. Manusia berkewajiban untuk berusaha meniru kreativitas Tuhan.
Manifestasinya adalah ketekunan, produktivitas, dan kreativitas untuk melahirkan karya-karya kreatif yang bermanfaat dan bermartabat. Manusia tidak boleh duduk berpangku tangan, konsumtif, dan eksploitatif. Dengan fitrahnya, manusia menciptakan karya seni, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta artifak kebudayaan yang lainnya. Takbir yang berkumandang di hari Idul Fitri semoga tidak sekadar tradisi dan ritual semata.
Gema takbir adalah gegap-gempita bangsa Indonesia dalam membangun tata kehidupan masyarakat yang egalitarian, berakhlak mulia, dan unggul dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Semoga peradaban fitri segera terwujud di negeri ini. ●
Tiga Fondasi
Sesuai konteksnya, Idul Fitri memiliki beberapa pengertian. Pertama, dalam pengertian fikih, Idul Fitri berarti kembali berbuka setelah selama bulan Ramadan kaum muslim yang berpuasa dilarang makan, minum, dan melakukan perbuatan yang membatalkan puasa. Kedua, dalam pengertian akidah dan akhlak, Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah manusia dengan sifat-sifat kemanusiaannya yang utama.
Berdasarkan pengertian ini, Idul Fitri adalah titik awal manusia membangun peradaban fitri. Peradaban fitri memiliki tiga fondasi. Pertama, tauhid yang murni. Menurut ajaran Islam, manusia terlahir ke dunia sebagai makhluk yang beriman kepada Allah. Keimanan ini sudah diikrarkan manusia sejak masih dalam alam arwah (Qs 7, Al-A’raf: 172). Beriman kepada Allah adalah fitrah Allah yang ditetapkan untuk manusia sehingga selamat dan teguh di jalan hidup yang lurus (Qs 30, Al-Rum: 30).
Tauhid yang murni adalah akar yang menumbuhkan pengabdian yang tulus, optimisme, kemerdekaan, keterbukaan, keberanian, dan keteguhan. Tauhid yang murni menuntut manusia untuk menyembah hanya kepada Allah. Prinsip ini mengandung tiga konsekuensi. Pertama, penghambaan yang tulus akan membentuk manusia yang patuh dan taat kepada hukum baik hukum agama (syariah) maupun hukum positif.
Kedua, dengan menyembah hanya kepada Allah, semua selain Allah adalah makhluk. Prinsip ini menghilangkan feodalisme dan melahirkan masyarakat yang egalitarian yang ditandai oleh adanya kesamaan kedudukan dan kesempatan bagi setiap manusia untuk mengembangkan diri dan meraih prestasi. Egalitarianisme merupakan spirit kemajuan (Wolkinson dan Pickett, 2010) yang meniscayakan adanya kompetisi yang sehat di antara sesama warga negara.
Menurut Nial Ferguson (2011), kompetisi adalah kunci yang membawa bangsa Barat unggul dan memimpin peradaban lainnya. Konsekuensi ketiga, karena semua manusia adalah hamba Allah, mereka harus senantiasa mengasihi, menyayangi, dan menolong sesama. Tauhid yang murni adalah pangkal kebajikan (amal al-shalih) sebagai kunci meraih kemenangan dan kesuksesan. Fondasi kedua adalah jiwa yang bersih. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna baik secara fisik, psikologis maupun spiritual.
Manusia memiliki akal, kalbu,dan nafsu yang memungkinkannya melakukan aktivitas positif-konstruktif. Selain itu,manusia juga memiliki potensi yang jahat. Menurut Muhiuddin Hairi Shirazi (1997: 14), fitrah adalah sifat-sifat positif yang mendorong manusia berbuat kebajikan, sedangkan tabiat adalah sifat-sifat kebinatangan yang mendorong manusia berbuat kejahatan.
Martabat manusia ditentukanolehkemampuannya dalam mempertahankan dan mengaktualkan sifat-sifat kemanusiaannya yang mulia.”Sungguh beruntung manusia yang membersihkan jiwanya. Sebaliknya, sungguh merugi manusia yang mengotori jiwanya.” (Qs As- Syam: 9-10).Di dalam jiwa yang bersih terdapat pikiran dan hati yang jernih sebagai pangkal dari segala kemuliaan.
Jiwa yang bersih akan mendorong kehidupan yang bersih, baik secara fisik, sosial maupun moral. Secara bahasa, fitrah berarti bersih. Kata fitrah dipergunakan untuk menunjukkan perilaku yang bersih seperti memotong kuku, khitan, membersihkan bulu ketiak. Fitrah juga berarti suci. Alquran memerintahkan manusia untuk senantiasa menjaga kebersihan diri, lingkungan, dan moralitasnya.
Dengan fitrahnya, manusia senantiasa menjaga kebersihan lingkungannya dari polusi, berlaku penuh kesopanan dan kelembutan, serta bekerja keras memperoleh rezeki yang halal dan bersih dari korupsi. Fitrah adalah fondasi bagi terbentuknya peradaban yang bersih. Fondasi peradaban fitrah yang ketiga adalah kreativitas. Kata ”fitrah” berasal dari akar kata ”fathara” yang berarti menciptakan sesuatu yang otentik.
Allah adalah Al-Fathir: Dzat Yang Maka Kreatif, Kreator Agung yang menciptakan alam semesta dengan sempurna, menciptakan manusia berpasang- pasangan dan memberikan rezeki kepada semua makhluknya. Fitrah adalah hasil kreasi sempurna, makakarya Allah. Sebagai khalifah dan hamba Allah, manusia adalah makhluk yang kreatif. Manusia berkewajiban untuk berusaha meniru kreativitas Tuhan.
Manifestasinya adalah ketekunan, produktivitas, dan kreativitas untuk melahirkan karya-karya kreatif yang bermanfaat dan bermartabat. Manusia tidak boleh duduk berpangku tangan, konsumtif, dan eksploitatif. Dengan fitrahnya, manusia menciptakan karya seni, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta artifak kebudayaan yang lainnya. Takbir yang berkumandang di hari Idul Fitri semoga tidak sekadar tradisi dan ritual semata.
Gema takbir adalah gegap-gempita bangsa Indonesia dalam membangun tata kehidupan masyarakat yang egalitarian, berakhlak mulia, dan unggul dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Semoga peradaban fitri segera terwujud di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar