Sabtu, 18 Agustus 2012

Kesendirian dan Kebersamaan

Kesendirian dan Kebersamaan
Benni Setiawan ; Peneliti Dan Alumnus Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta
JAWA POS, 18 Agustus 2012


LEBARAN identik dengan mudik (pulang kampung). Perantau yang tinggal di kota berbondong-bondong menuju desa tempat kelahirannya. Mereka ingin melepas kepenatan setelah sekian lama tinggal di kota. Mudik pun menjadi ajang silaturahmi yang tidak bisa diganti dengan sepucuk surat pos, e-mail, catatan di dinding jejaring sosial (Facebook/Twitter), pesan singkat (sms), telepon, video skype, dan seterusnya. 

Kehadiran fisik seperti menjadi sebuah keniscayaan. Walaupun mereka harus berdesak-desakan antre mendapat tiket dan membayarnya dengan harga yang lebih mahal. Belum lagi persoalan macet dan banyaknya jalan rusak yang mengiringi perjalanan menuju desa.

Bersamaan dengan datangnya peratau, kini desa menjadi ramai. Desa dipenuhi atribut kekotaan yang sering tidak sesuai dengan kebudayaan setempat. Batas-batas masyarakat agraris (desa) telah melebur dengan budaya urban (kota).

Perantau membawa identitas urban yang sering menegasikan dirinya menjadi "masyarakat baru". Tanda-tanda kesuksesan (baca: konsumtivisme) tergambar lekat dalam atribut keseharian mereka. Seperti handphone berbasis android (telepon pintar), komputer canggih dalam bentuk sabak, dan baju-baju yang konon menjadi penanda kekotaan. 

Namun, berbaur dan berkumpulnya masyarakat secara fisik ternyata menyisakan persoalan mendasar. Yaitu, mereka semua berkumpul, namun sendiri. Mengapa demikian? Hal ini karena saat Lebaran tiba, masyarakat hanya hadir dalam kondisi fisik. Psikisnya selalu memikirkan beban kerja yang berat di perantauan.

Lebih lanjut, menurut Saifur Rohman (2010), ketika Lebaran tiba, baik buruh, majikan, pekerja informal, dan pe­ngangguran sudah bertemu keluarga, tetapi pikiran masing-masing tertuju pada beban kerja dan tanggung jawab setelah Lebaran. 

Karena itu, kendati Lebaran menjadikan masing-masing individu berkumpul secara fisik di rumah orang tua, secara psikis mereka terhubung dengan urusan masing-masing. Mereka bersalaman dengan tangan kanan, sementara tangan kiri mengetik pesan singkat, sambil sesekali mengangkat telepon dari kenalan di kota. Bertegur sapa sebetulnya selingan di antara dering telepon dan percakapan jarak jauh.

Jiwa masing-masing tidak merasakan kebersamaan di sebuah rumah, tetapi tetap sibuk dengan kesendirian dan pekerjaan. Betapa riuh Lebaran di koran, televisi, dan radio, tetapi betapa sepi di rumah meskipun telah berkumpul bersama-sama saat Lebaran.

Pantulan Kepemimpinan 

Inilah realitas bangsa Indonesia. Ketidakhadiran sepenuhnya diri manusia juga tecermin dari perilaku pemimpin bangsa. Pemimpin bangsa sibuk bersolek dan memperbaiki citra dan terus berjibaku dengan data dan angka-angka yang selalu menguntungkan (baca: sesuai dengan selera penguasa). Seperti semakin menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran karena anggaran dalam APBN semakin tambun dan konon berpihak kepada golongan menengah ke bawah (masyarakat miskin). 

Padahal di luar data itu, masyarakat dengan susah payah mengantre dan berdesakan hanya untuk mendapatkan receh. Sebagaimana potret pembagian zakat yang dilakukan di berbagai daerah. Mereka rela antre lebih dari sepuluh jam, guna mendapatkan bagian uang yang tidak besar, namun dengan risiko hilangnya nyawa. 

Lebih dari itu, pemimpin bangsa ini wujud atau tampak ada dan nyata. Namun, kiprahnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa belum mewujud. Adapun yang mewujud hanya omongan atau pidato yang dikemas secara menarik dan meyakinkan. Kesejahteraan hanyalah milik pejabat dan penguasa di negeri ini. Sedangkan rakyatnya tetap saja dalam banyak yang berkondisi papa, miskin.

Ironisnya, di tengah kondisi seperti itu dengan bangga mereka mengadakan open house saat Lebaran. Konon, mereka ingin mendekatkan diri secara langsung kepada rakyat. Namun, semua itu hanya lips service (pemanis) yang semuanya segera hilang setelah acara usai. Semua itu hanya ritual tahunan yang kian miskin makna.

Lebaran yang dinanti jutaan umat muslim ternyata menyisakan persoalan akut kebangsaan. Artinya, jika momentum kehadiran secara fisik saja tidak mampu mengisyaratkan kebersamaan yang mampu mendorong kerja sama dan kebangkitan, inilah potret kebangsaan yang rapuh. Kebangsaan tanpa kerja sama dan persatuan. Sebuah realitas yang jauh dari semangat falsafah dan kesepakatan foundhing fathers and mothers.

Pada akhirnya, Lebaran bukanlah peristiwa menghadirkan diri secara fisik saja. Namun, kebersamaan secara psikis menjadi nilai plus sebagai salah satu bukti kemenangan. Kemenangan setelah sebulan penuh berjuang mengalahkan hawa nafsu.

Bersalamanlah dengan membarengkan tangan kanan dan kiri, serta dengan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar