Rabu, 15 Agustus 2012

Kemerdekaan dan Kontemplasi Kebangsaan


Kemerdekaan dan Kontemplasi Kebangsaan
Eriko Sotarduga ; Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
MEDIA INDONESIA,  15 Agustus 2012


Dengan mengeksplorasi beragam problem mendasar, kita termotivasi untuk memosisikan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari keluarga besar bangsa dan rumah besar kita: Indonesia."

TANGGAL 17 Agustus ini kita merayakan Hari Ulang Tahun ke-67 Kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk itu, penting kiranya kita, bangsa Indonesia, melakukan kontemplasi sikap dan pola pikir tentang substansi nilai kemerdekaan. Hal itu difungsikan untuk merevitalisasi semangat kebangsaan sebagai landasan membangun Indonesia menuju cita-cita ‘merdeka, berdaulat, adil, dan makmur’ secara nyata.

Kemerdekaan bukanlah sesuatu yang taken for granted. Ia tidak secara tiba-tiba jatuh dari langit. Kemerdekaan merupakan hasil perjuangan panjang selama lebih dari tiga abad. Jiwa dan raga dipertaruhkan para pahlawan pendiri bangsa. Tak ada kata lelah untuk sebuah cita-cita ‘merdeka’.

Ironi Rakyat

Besarnya pengorbanan itu, jika dikisahkan dalam sebuah cerita besar sejarah negara bangsa, tak cukup dituangkan dalam ribuan jilid buku. Ada banyak kisah perjuangan melawan penjajahan dari pelbagai pelosok negeri ini yang tak terekspos dan tak terkatakan (unspeakable). Betapa jutaan veteran di perkampungan mempunyai kekayaan kisah perjuangan melewati pelbagai halang rintang medan juang yang tak sempat dikenang. Mayoritas dari mereka bahkan kini hidup di bawah garis kemiskinan dan ketidakjelasan nasib.

Bangsa ini telah bersepakat bahwa substansi kemerdekaan yaitu ‘terlepas dan bebas dari’ belenggu penjajahan (kolonialisme dan imperialisme) dalam segala bentuknya, baik dalam arti perampasan wilayah (fisik), dominasi ilmu pengetahuan, kooptasi budaya, maupun penjajahan secara ekonomi. Sayangnya, masih terlampau banyak nuansa penjajahan yang kini dirasakan rakyat Indonesia.

Angka kemiskinan masih tetap tinggi. Di antara warga bangsa, bahkan ada yang tidak mempunyai sejengkal tanah pun. Mereka lantas mendirikan rumah-rumah kumuh di bantaran sungai, di samping rel-rel kereta api, dan bahkan di kuburan tua. Namun, keinginan menikmati kemerdekaan tanah, air, dan udara di negeri mereka secara ala kadarnya itu justru harus terusir oleh bangsa sendiri. Hampir tiap hari pengusiran para pedagang kaki lima dan masyarakat urban dipertontonkan petugas keamanan daerah. 
Mereka menjerit dan menangis, tapi tak dihiraukan. Serak suara mereka telah tergerus oleh kepongahan kebijakan penguasa. Suka atau tidak, itulah wajah lain dari kemerdekaan bangsa Indonesia.

Krisis Kebangsaan

Gambaran tadi hanya serpihan fakta akibat kompleksitas permasalahan yang diidap bangsa ini. Di situ tidaklah signifikan mempersalahkan pihak-pihak tertentu terkait dengan problem berlapis yang hingga kini menjadi `pekerjaan rumah' semua elemen, utamanya para elite pemimpin. Namun, apa sesungguhnya sumber permasalahan yang melilit bangsa yang hingga usia ke-67 ini belum mampu meningkatkan pemerataan derajat kesejahteraan bersama secara luas patut diurai.

Pertama, pengikisan nilai nasionalisme. Menurut hemat penulis, problem mendasar bangsa ini bersarang pada ranah afektif dan psikologis, yaitu adanya pengikisan nilai dan semangat nasionalisme, utamanya di level elite.

Idealisme pencapaian cita-cita untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur serta warisan spirit para pejuang dan bapak bangsa kini hanya menjadi simbol dan slogan semata. Nilai nasionalisme itu telah luntur. Hal tersebut tampak dari peragaan akrobatik para elite yang asyik berkompetisi memperebutkan jabatan dan pelbagai upaya pelanggengan kekuasaan. Contohnya, tarik ulur kepentingan dalam dua perhelatan pesta demokrasi nasional yang telah dihelat pada 2009, yaitu pemilu legislatif dan pilpres. Termasuk dalam pemilu kada DKI Jakarta saat ini, yang masih membawa-bawa isu SARA untuk menyudutkan lawan politik.

Meski dalam pelaksanaannya terbilang berhasil, masih terlampau banyak cacat yang mesti dikoreksi dan diapresiasi secara mendalam. Banyak kalangan menilai keberhasilan pelaksanaan kedua pesta demokrasi itu tak lain karena rakyat sudah dewasa. Betapa rakyat dengan beragam pilihan berbeda memberi pelajaran berharga bagi para elite. Di bilik suara mereka boleh berbeda, tetapi di luar itu mereka saling menyapa dan berinteraksi seolah tak terpengaruh oleh apa pun pilihan mereka.

Sebaliknya, saling serang dan saling hujat antarkelompok politik elite menjadi sajian di koran harian dan layar kaca. Pertarungan politik elite itu telah melupakan sisi fundamental berbangsa dan bernegara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Karena itu, kita berharap pada 2014 nanti, para elite politik kian menundukkan pikiran dan mental untuk bersama-sama berbicara tentang kepentingan Indonesia, bukan kepentingan golongan.

Kedua, negasi fondasi persatuan. Pancasila sebagai fondasi berdirinya NKRI merupakan ideologi final. Kefinalan ideologi Pancasila itu mengamanatkan pengarusutamaan kepentingan bersama dan persatuan di tengah realitas pluralisme bangsa Indonesia di atas kepentingan pribadi maupun golongan, sebagaimana slogan yang diambil dari bahasa Sanskerta, ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Itu bukan sekadar slogan, melainkan intisari dari Pancasila yang mesti dipratikkan, dirawat, dan dijaga secara seimbang. Sayangnya, semangat unity of diversity kian jauh dari realitas kebangsaan kita.

Ketiga, maraknya disintegrasi sosial. Masalah tersebut memang klasik, tetapi masih menjadi warna dominan implementasi kebijakan publik. Salah satu bentuknya ialah pemekaran wilayah dan otonomi daerah. Terjadi kesalahpahaman, otonomi menjadi tujuan. Padahal, otonomi hanyalah cara untuk pemerataan kesejahteraan di atas persatuan negara Indonesia. Meluasnya disintegrasi bangsa hanyalah sebuah akibat.

Bangsa ini lupa tentang mani festo Soekarno, sebagaimana termaktub dalam masterpiecenya. Di bawah bendera revolusi, sang proklamator menasihati kita, generasi penerusnya, “Kemerdekaan memerlukan beberapa syarat dan salah satu syarat terpenting adalah persatuan.”

Rapuhnya fondasi persatuan sekaligus dapat diteropong dari menipisnya rasa kebersamaan (sense of togetherness) yang tergeser oleh semangat individualisme. Gotong royong, tepa selira (toleransi), rame ing gawe sepi ing pandum (beramai-ramai bekerja tanpa berharap imbalan), dan beragam nilai turunan dari makna persatuan yang dahulu pernah menjadi kenyataan harian segenap lapisan masyarakat kini hilang entah ke mana.

Kontemplasi kemerdekaan tentu tak berhenti di situ. Masih terlampau banyak problem bangsa yang perlu diurai benah kusutnya, dicarikan solusi dan formula penyembuhnya. Paling tidak, dengan mengeksplorasi beragam problem mendasar, kita termotivasi untuk memosisikan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari keluarga besar bangsa dan rumah besar kita: Indonesia. Merdeka! Dirgahayu ke-67 RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar