Kemerdekaan dan
Kontemplasi Kebangsaan
|
Eriko Sotarduga ; Anggota DPR RI
Fraksi PDI Perjuangan
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Agustus 2012
“Dengan
mengeksplorasi beragam problem mendasar, kita termotivasi untuk memosisikan
diri sebagai bagian tak terpisahkan dari keluarga besar bangsa dan rumah besar
kita: Indonesia."
TANGGAL 17 Agustus ini kita merayakan Hari Ulang Tahun ke-67
Kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk itu, penting kiranya kita, bangsa
Indonesia, melakukan kontemplasi sikap dan pola pikir tentang substansi nilai kemerdekaan.
Hal itu difungsikan untuk merevitalisasi semangat kebangsaan sebagai landasan
membangun Indonesia menuju cita-cita ‘merdeka, berdaulat, adil, dan makmur’
secara nyata.
Kemerdekaan bukanlah sesuatu yang taken for granted. Ia tidak secara tiba-tiba jatuh dari langit.
Kemerdekaan merupakan hasil perjuangan panjang selama lebih dari tiga abad. Jiwa
dan raga dipertaruhkan para pahlawan pendiri bangsa. Tak ada kata lelah untuk
sebuah cita-cita ‘merdeka’.
Ironi Rakyat
Besarnya pengorbanan itu, jika dikisahkan dalam sebuah cerita
besar sejarah negara bangsa, tak cukup dituangkan dalam ribuan jilid buku. Ada banyak
kisah perjuangan melawan penjajahan dari pelbagai pelosok negeri ini yang tak
terekspos dan tak terkatakan (unspeakable).
Betapa jutaan veteran di perkampungan mempunyai kekayaan kisah perjuangan
melewati pelbagai halang rintang medan juang yang tak sempat dikenang. Mayoritas
dari mereka bahkan kini hidup di bawah garis kemiskinan dan ketidakjelasan
nasib.
Bangsa ini telah bersepakat bahwa substansi kemerdekaan yaitu
‘terlepas dan bebas dari’ belenggu penjajahan (kolonialisme dan imperialisme)
dalam segala bentuknya, baik dalam arti perampasan wilayah (fisik), dominasi
ilmu pengetahuan, kooptasi budaya, maupun penjajahan secara ekonomi. Sayangnya,
masih terlampau banyak nuansa penjajahan yang kini dirasakan rakyat Indonesia.
Angka kemiskinan masih tetap tinggi. Di antara warga bangsa,
bahkan ada yang tidak mempunyai sejengkal tanah pun. Mereka lantas mendirikan
rumah-rumah kumuh di bantaran sungai, di samping rel-rel kereta api, dan bahkan
di kuburan tua. Namun, keinginan menikmati kemerdekaan tanah, air, dan udara di
negeri mereka secara ala kadarnya itu justru harus terusir oleh bangsa sendiri.
Hampir tiap hari pengusiran para pedagang kaki lima dan masyarakat urban
dipertontonkan petugas keamanan daerah.
Mereka menjerit dan menangis, tapi tak
dihiraukan. Serak suara mereka telah tergerus oleh kepongahan kebijakan
penguasa. Suka atau tidak, itulah wajah lain dari kemerdekaan bangsa Indonesia.
Krisis Kebangsaan
Gambaran tadi hanya serpihan fakta akibat kompleksitas
permasalahan yang diidap bangsa ini. Di situ tidaklah signifikan mempersalahkan
pihak-pihak tertentu terkait dengan problem berlapis yang hingga kini menjadi
`pekerjaan rumah' semua elemen, utamanya para elite pemimpin. Namun, apa
sesungguhnya sumber permasalahan yang melilit bangsa yang hingga usia ke-67 ini
belum mampu meningkatkan pemerataan derajat kesejahteraan bersama secara luas
patut diurai.
Pertama, pengikisan nilai nasionalisme. Menurut hemat penulis,
problem mendasar bangsa ini bersarang pada ranah afektif dan psikologis, yaitu
adanya pengikisan nilai dan semangat nasionalisme, utamanya di level elite.
Idealisme pencapaian cita-cita untuk merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur serta warisan spirit para pejuang dan bapak bangsa kini hanya
menjadi simbol dan slogan semata. Nilai nasionalisme itu telah luntur. Hal
tersebut tampak dari peragaan akrobatik para elite yang asyik berkompetisi
memperebutkan jabatan dan pelbagai upaya pelanggengan kekuasaan. Contohnya,
tarik ulur kepentingan dalam dua perhelatan pesta demokrasi nasional yang telah
dihelat pada 2009, yaitu pemilu legislatif dan pilpres. Termasuk dalam pemilu
kada DKI Jakarta saat ini, yang masih membawa-bawa isu SARA untuk menyudutkan
lawan politik.
Meski dalam pelaksanaannya terbilang berhasil, masih terlampau
banyak cacat yang mesti dikoreksi dan diapresiasi secara mendalam. Banyak
kalangan menilai keberhasilan pelaksanaan kedua pesta demokrasi itu tak lain
karena rakyat sudah dewasa. Betapa rakyat dengan beragam pilihan berbeda
memberi pelajaran berharga bagi para elite. Di bilik suara mereka boleh
berbeda, tetapi di luar itu mereka saling menyapa dan berinteraksi seolah tak
terpengaruh oleh apa pun pilihan mereka.
Sebaliknya, saling serang dan saling hujat antarkelompok politik
elite menjadi sajian di koran harian dan layar kaca. Pertarungan politik elite
itu telah melupakan sisi fundamental berbangsa dan bernegara, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan
kesejahteraan umum berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Karena itu, kita berharap pada 2014 nanti, para elite politik kian
menundukkan pikiran dan mental untuk bersama-sama berbicara tentang kepentingan
Indonesia, bukan kepentingan golongan.
Kedua, negasi fondasi persatuan. Pancasila sebagai fondasi
berdirinya NKRI merupakan ideologi final. Kefinalan ideologi Pancasila itu
mengamanatkan pengarusutamaan kepentingan bersama dan persatuan di tengah
realitas pluralisme bangsa Indonesia di atas kepentingan pribadi maupun
golongan, sebagaimana slogan yang diambil dari bahasa Sanskerta, ‘Bhinneka
Tunggal Ika’. Itu bukan sekadar slogan, melainkan intisari dari Pancasila yang
mesti dipratikkan, dirawat, dan dijaga secara seimbang. Sayangnya, semangat
unity of diversity kian jauh dari realitas kebangsaan kita.
Ketiga, maraknya disintegrasi sosial. Masalah tersebut memang
klasik, tetapi masih menjadi warna dominan implementasi kebijakan publik. Salah
satu bentuknya ialah pemekaran wilayah dan otonomi daerah. Terjadi
kesalahpahaman, otonomi menjadi tujuan. Padahal, otonomi hanyalah cara untuk
pemerataan kesejahteraan di atas persatuan negara Indonesia. Meluasnya
disintegrasi bangsa hanyalah sebuah akibat.
Bangsa ini lupa tentang mani festo Soekarno, sebagaimana termaktub
dalam masterpiecenya. Di bawah bendera revolusi, sang proklamator menasihati
kita, generasi penerusnya, “Kemerdekaan
memerlukan beberapa syarat dan salah satu syarat terpenting adalah persatuan.”
Rapuhnya fondasi persatuan sekaligus dapat diteropong dari
menipisnya rasa kebersamaan (sense of
togetherness) yang tergeser oleh semangat individualisme. Gotong royong, tepa selira (toleransi), rame ing gawe sepi ing pandum
(beramai-ramai bekerja tanpa berharap imbalan), dan beragam nilai turunan dari
makna persatuan yang dahulu pernah menjadi kenyataan harian segenap lapisan
masyarakat kini hilang entah ke mana.
Kontemplasi kemerdekaan tentu tak berhenti di situ. Masih
terlampau banyak problem bangsa yang perlu diurai benah kusutnya, dicarikan
solusi dan formula penyembuhnya. Paling tidak, dengan mengeksplorasi beragam
problem mendasar, kita termotivasi untuk memosisikan diri sebagai bagian tak
terpisahkan dari keluarga besar bangsa dan rumah besar kita: Indonesia. Merdeka! Dirgahayu ke-67 RI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar