Kembali ke
Business as Usual
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Agustus 2012
KITA baru saja melewati dua peristiwa penting dalam sejarah sebagai
bangsa, yaitu perayaan Hari Kemerdekaan dan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1433
H. Walaupun yang disebut terakhir lebih menyangkut umat Islam, perayaan oleh
mayoritas penduduk negeri ini tak pelak menggerakkan dinamika hidup kita
bersama, sekalipun untuk sejenak.
Apa yang dapat kita simpulkan dari dua peristiwa tersebut? Kita
telah merdeka 67 tahun. Peringatan yang berlangsung satu minggu lalu mengajak
kita untuk merenung, apakah orde politik yang ada sekarang mencerminkan kultur
masyarakat kita secara umum? Kita tidak rela menjawab `ya'. Namun, kenyataannya
kita dilanda kekalutan yang mencemaskan. Jangan-jangan kita tidak akan mampu
mengatasinya.
Saat-saat ini kita dituntut melihat isu-isu politik untuk bisa
meresponsnya secara efektif. Alangkah ideal seandainya segenap partai politik
menahan diri dan berpikir jernih. Jangan memaksakan keinginan untuk menang demi
kemenangan itu sendiri. Persaingan berebut kekuasaan seyogianya
dinomorduakan-'demi kepentingan yang lebih besar'. Itu ungkapan klise yang
banyak benarnya.
Jika dikaitkan dengan Hari Raya Idul Fitri, tentu kita
mengharapkan umat Islam yang baru memenangi ujian mengekang diri akan mampu
meneruskan pengekangan itu terhadap keinginan-keinginan yang bisa
memorak-porandakan kesatuan dan persatuan bangsa negeri ini. Sebaliknya mereka
bahkan malahan memelopori untuk menciptakan keteduhan di hati segenap warga
negara, tanpa memandang SARA, sebab itulah khitah umat yang berhati suci. Islam mengajarkannya.
Restorasi dan Koreksi
Presiden ke-2 kita, Soeharto, ketika sedang jaya-jayanya pada era
1980-an pernah mengatakan dalam pidato-pidatonya: “Sejarah bangsa mana pun, dari zaman dahulu sampai sekarang, selalu
melahirkan akibat-akibat samping yang tidak menjadi tujuan pokok pembangunan
itu sendiri. Karena itu, saya sering mengatakan bahwa dalam melanjutkan,
meningkatkan, dan memperluas pembangunan, kita juga harus terus-menerus
mengadakan pembaharuan, jika perlu mengadakan koreksi-koreksi.... Dalam zaman
serbamaju seperti sekarang, profesionalisme harus tetap diarahkan oleh wawasan
yang benar dan idealisme yang luhur. Tanpa itu, profesionalisme akan kehilangan
arahnya bagi kebaikan kehidupan manusia dan dapat merendahkan martabat
manusia....Kalau kesetiakawanan sosial tidak kita hayati dan tidak kita tunjukkan,
persatuan dan kesatuan bangsa tidak akan kukuh. Oleh karena itu, saya
mengharapkan agar peningkatan kesetiakawanan sosial ini benar-benar menjadi
perhatian kita semua.“
Kata-kata yang sering penulis kutip itu mengandung pesan; kita
hendaknya memiliki jajaran pemimpin yang berwawasan ke depan, merakyat, dan
memiliki kemampuan profesional yang dibutuhkan. Sosok-sosok ideal seperti itu
memang diharapkan rakyat mengingat tantangan masa depan yang makin berat.
Fakta Berbicara
Setelah dua peristiwa penting itu kita lalui, kita tidak bisa
menghindari business as usual. Sekarang ada anggapan,
yang sadar berpolitik atau bernegara hanyalah mereka yang berpartisipasi secara
formal dalam organisasi politik atau urusan negara. Kearifan revolusi
sejak sebelum kemerdekaan dan sesudahnya menunjukkan pendapat itu tidak
benar. Seperti terbukti
dengan maraknya penyelewengan di kancah politik dan pemerintahan, ternyata
tidak semua elite politik sadar bernegara. Sebaliknya tidak semua elite
intelektual hanya pandai berdogma-dogma.
Namun, para intelektual yang tidak memberikan sumbangan pemikiran atau
tindakan konkret, yang hanya pandai menilai dan mengulas atas dasar
dogma-dogma, tanpa mempertimbangkan situasi sosial, politik, dan budaya yang
sedang berlaku dalam masyarakat pantas disebut memiliki kegenitan intelektual.
Orang-orang begini tidak memberi pencerahan kepada masyarakat.
Begitu pula kalangan
elite politik yang tidak memiliki selapis pun visi
intelektual tidak bisa mengerti makna jargon-jargon yang mereka ucapkan. Mereka
pun omong kosong; tidak memberikan pencerahan. Mereka tentu membosankan bila
hanya bisa melihat sebatas kepentingan individu/ kelompok; sama membosankannya
dengan orang-orang elite materi yang rakus dan buta akan lingkungan. Mereka
destruktif bagi perkembangan bangsa ini.
Fakta pahit yang kita hadapi sekarang, hari demi hari kita akan
melihat tontonan tentang korupsi yang marak, yang mengecilkan hati rakyat.
Pembangunan pesat di masa Orde Baru telah melahirkan masyarakat dagang baru.
Kalangan bisnis mendapat angin untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Selama
masih ada mafia di hukum dan perpajakan, tak pelak sebagian orang kalangan
bisnis memperoleh kekayaan luar biasa, di luar sewajarnya. Bandingkan dengan
perolehan PNS. Padahal banyak orang bisnis itu menjadi kaya karena proyek-proyek
pemerintah. Wajar bila tumbuh kecemburuan sosial.
Wajarkah kalau kemudian timbul
inspirasi di kalangan tertentu di pemerintahan untuk kemudian ikut mencicipi
kenikmatan orang-orang bidang bisnis yang mereka beri jalan menjadi kaya raya?
Satu catatan penting untuk
perhatian ialah masyarakat masih peduli dan tidak merelakan korupsi bukanlah
pertanda sikap iri. Sebaliknya, itulah ciri masyarakat sehat yang tidak buta
nilai--tidak terhanyut konsep ‘mumpung’ yang dianut sebagian jajaran birokrasi
atau para pemberi upeti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar