Jumat, 24 Agustus 2012

Kembali ke Business as Usual


Kembali ke Business as Usual
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 24 Agustus 2012


KITA baru saja melewati dua peristiwa penting dalam sejarah sebagai bangsa, yaitu perayaan Hari Kemerdekaan dan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 H. Walaupun yang disebut terakhir lebih menyangkut umat Islam, perayaan oleh mayoritas penduduk negeri ini tak pelak menggerakkan dinamika hidup kita bersama, sekalipun untuk sejenak.

Apa yang dapat kita simpulkan dari dua peristiwa tersebut? Kita telah merdeka 67 tahun. Peringatan yang berlangsung satu minggu lalu mengajak kita untuk merenung, apakah orde politik yang ada sekarang mencerminkan kultur masyarakat kita secara umum? Kita tidak rela menjawab `ya'. Namun, kenyataannya kita dilanda kekalutan yang mencemaskan. Jangan-jangan kita tidak akan mampu mengatasinya. 

Saat-saat ini kita dituntut melihat isu-isu politik untuk bisa meresponsnya secara efektif. Alangkah ideal seandainya segenap partai politik menahan diri dan berpikir jernih. Jangan memaksakan keinginan untuk menang demi kemenangan itu sendiri. Persaingan berebut kekuasaan seyogianya dinomorduakan-'demi kepentingan yang lebih besar'. Itu ungkapan klise yang banyak benarnya.

Jika dikaitkan dengan Hari Raya Idul Fitri, tentu kita mengharapkan umat Islam yang baru memenangi ujian mengekang diri akan mampu meneruskan pengekangan itu terhadap keinginan-keinginan yang bisa memorak-porandakan kesatuan dan persatuan bangsa negeri ini. Sebaliknya mereka bahkan malahan memelopori untuk menciptakan keteduhan di hati segenap warga negara, tanpa memandang SARA, sebab itulah khitah umat yang berhati suci. Islam mengajarkannya.

Restorasi dan Koreksi

Presiden ke-2 kita, Soeharto, ketika sedang jaya-jayanya pada era 1980-an pernah mengatakan dalam pidato-pidatonya: “Sejarah bangsa mana pun, dari zaman dahulu sampai sekarang, selalu melahirkan akibat-akibat samping yang tidak menjadi tujuan pokok pembangunan itu sendiri. Karena itu, saya sering mengatakan bahwa dalam melanjutkan, meningkatkan, dan memperluas pembangunan, kita juga harus terus-menerus mengadakan pembaharuan, jika perlu mengadakan koreksi-koreksi.... Dalam zaman serbamaju seperti sekarang, profesionalisme harus tetap diarahkan oleh wawasan yang benar dan idealisme yang luhur. Tanpa itu, profesionalisme akan kehilangan arahnya bagi kebaikan kehidupan manusia dan dapat merendahkan martabat manusia....Kalau kesetiakawanan sosial tidak kita hayati dan tidak kita tunjukkan, persatuan dan kesatuan bangsa tidak akan kukuh. Oleh karena itu, saya mengharapkan agar peningkatan kesetiakawanan sosial ini benar-benar menjadi perhatian kita semua.“

Kata-kata yang sering penulis kutip itu mengandung pesan; kita hendaknya memiliki jajaran pemimpin yang berwawasan ke depan, merakyat, dan memiliki kemampuan profesional yang dibutuhkan. Sosok-sosok ideal seperti itu memang diharapkan rakyat mengingat tantangan masa depan yang makin berat.

Fakta Berbicara

Setelah dua peristiwa penting itu kita lalui, kita tidak bisa menghindari business as usual. Sekarang ada anggapan, yang sadar berpolitik atau bernegara hanyalah mereka yang berpartisipasi secara formal dalam organisasi politik atau urusan negara. Kearifan revolusi sejak sebelum kemerdekaan dan sesudahnya menunjukkan pendapat itu tidak benar. Seperti terbukti dengan maraknya penyelewengan di kancah politik dan pemerintahan, ternyata tidak semua elite politik sadar bernegara. Sebaliknya tidak semua elite intelektual hanya pandai berdogma-dogma.

Namun, para intelektual yang tidak memberikan sumbangan pemikiran atau tindakan konkret, yang hanya pandai menilai dan mengulas atas dasar dogma-dogma, tanpa mempertimbangkan situasi sosial, politik, dan budaya yang sedang berlaku dalam masyarakat pantas disebut memiliki kegenitan intelektual.

Orang-orang begini tidak memberi pencerahan kepada masyarakat. Begitu pula kalangan 
elite politik yang tidak memiliki selapis pun visi intelektual tidak bisa mengerti makna jargon-jargon yang mereka ucapkan. Mereka pun omong kosong; tidak memberikan pencerahan. Mereka tentu membosankan bila hanya bisa melihat sebatas kepentingan individu/ kelompok; sama membosankannya dengan orang-orang elite materi yang rakus dan buta akan lingkungan. Mereka destruktif bagi perkembangan bangsa ini.

Fakta pahit yang kita hadapi sekarang, hari demi hari kita akan melihat tontonan tentang korupsi yang marak, yang mengecilkan hati rakyat. Pembangunan pesat di masa Orde Baru telah melahirkan masyarakat dagang baru. Kalangan bisnis mendapat angin untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Selama masih ada mafia di hukum dan perpajakan, tak pelak sebagian orang kalangan bisnis memperoleh kekayaan luar biasa, di luar sewajarnya. Bandingkan dengan perolehan PNS. Padahal banyak orang bisnis itu menjadi kaya karena proyek-proyek pemerintah. Wajar bila tumbuh kecemburuan sosial.
Wajarkah kalau kemudian timbul inspirasi di kalangan tertentu di pemerintahan untuk kemudian ikut mencicipi kenikmatan orang-orang bidang bisnis yang mereka beri jalan menjadi kaya raya?

Satu catatan penting untuk perhatian ialah masyarakat masih peduli dan tidak merelakan korupsi bukanlah pertanda sikap iri. Sebaliknya, itulah ciri masyarakat sehat yang tidak buta nilai--tidak terhanyut konsep ‘mumpung’ yang dianut sebagian jajaran birokrasi atau para pemberi upeti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar