Inkonstitusionalisme
Kekerasan Negara
|
Novri Susan ; Sosiolog
Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
22 Agustus 2012
Reproduksi kekerasan negara
terhadap rakyat kecil, yang sering kali melibatkan kepentingan modal besar,
menjadi keprihatinan publik nasional.
Fakta reproduksi kekerasan
ini menegaskan, sesungguhnya negara lagi-lagi gagal mengelola konflik secara
demokratis. Sebaliknya malah sukses menyalakan bara kekerasan. Ironisnya,
reproduksi kekerasan negara itu
dijustifikasi slogan: demi kepentingan pembangunan nasional.
Seperti pada kasus 27 Juli
lalu, pasukan Brimob dari Polda Sumatera Selatan merangsek ke Desa Limbang
Jaya, Kabupaten Ogan Ilir. Aparat keamanan melakukan
penyisiran terhadap masyarakat yang sedang dalam konflik pertanahan dengan PTPN
II Cinta Manis atas dasar tuduhan mencuri berton-ton pupuk milik perusahaan.
Akibatnya, seorang anak usia 12 tahun meninggal tertembak peluru pasukan Brimob
dan tiga warga luka-luka.
Sebelumnya, pada bulan yang sama, praktik kekerasan
negara juga terjadi di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, dalam kasus
penolakan warga terhadap perusahaan pertambangan.
Mekanisme Konstitusional
Negara, melalui kepolisian,
berargumentasi bahwa penggunaan kekerasan pada konteks konflik sumber daya yang
melibatkan pemodal besar adalah demi melindungi keamanan pembangunan nasional.
Padahal, pada mekanisme konstitusional pengelolaan pembangunan, negara memiliki
keharusan melindungi kesetaraan partisipasi publik, mendorong keterbukaan
politik, menjaga akuntabilitas proyek, menjaga prinsip keadilan hukum, dan
penguatan posisi rakyat kecil dalam negosiasi dengan kelompok-kelompok dominan.
Jika mekanisme
konstitusional tersebut jadi roh dari praktik kekuasaan, kekerasan negara
melalui aparat keamanan tidak digunakan untuk melukai dan membunuhi rakyat
kecil. Karena kekerasan negara hanya dilakukan ketika terjadi ancaman pada
mekanisme konstitusional pengelolaan pembangunan nasional.
Masalahnya, negara lewat
para elite kekuasaan selama ini terbiasa melihat rakyat kecil sebagai ancaman
bagi proses pembangunan nasional. Rakyat kecil, seperti petani gurem, komunitas
adat pedalaman, atau para buruh kontrak, dipersepsi sebagai gangguan terhadap
konsep dan implementasi pembangunan.
Perilaku kekuasaan ini
tecermin dari praktik blokade mekanisme konstitusional dalam pengelolaan
pembangunan. Kasus protes masyarakat Bima (NTB) pada Januari 2012 yang membakar
gedung pemerintahan dan perlawanan para petani Mesuji (Lampung, Sumsel) adalah
konsekuensi dari pemblokadean mekanisme konstitusional pembangunan oleh
kekuasaan negara. Selanjutnya, karena rakyat kecil dipandang sebagai ancaman
bagi pembangunan, kekuasaan menginstrumentasi hukum untuk menghakimi mereka
menjadi pelaku kriminal yang bersalah.
Sebaliknya,
kelompok-kelompok modal besar sering mendapatkan perlakuan istimewa dari
kekuasaan negara. Padahal, seperti riset Andrew Sanchez tentang kapitalisme di
India (Capitalism, Violence, and the State, 2010), ancaman terhadap pembangunan
sebenarnya lebih mungkin diciptakan oleh kelompok-kelompok modal raksasa.
Mereka mampu menciptakan permainan kotor lewat praktik suap kepada birokrasi
negara, membeli aparat keamanan sebagai centeng bisnis, dan adu domba akar
rumput.
Di Indonesia, watak
kelompok-kelompok modal besar pun tidak jauh berbeda. Mereka suka mengemplang
pajak, menyogok para pejabat negara, memerintah aparat kepolisian dan militer
mengamankan eksploitasi alam di tanah rakyat, dan menciptakan kelompok sipil
bersenjata untuk mengadu domba rakyat.
Namun, sayangnya, para elite
kekuasaan dan lembaga negara tak tampak bekerja menghentikan permainan kotor
tersebut, bahkan ikut jadi aktor utama di dalamnya. Maka, sesungguhnya
kekerasan negara terhadap rakyat kecil merupakan praktik melindungi permainan
kotor antara elite negara dan kelompok modal besar, bukan melindungi
kepentingan pembangunan nasional.
Kepemimpinan Kerdil
Negara hanya bisa
melaksanakan mekanisme konstitusional pengelolaan pembangunan ketika ada
kepemimpinan responsif yang sensitif pada fakta relasi kuasa yang didominasi
oleh kelompok modal besar terhadap rakyat kecil. Tugas pemimpin responsif ini
melakukan pemihakan secara politis terhadap rakyat kecil agar memiliki posisi
tawar dalam setiap dinamika konflik dengan pemodal besar.
Salah satu contoh konkret
dilakukan oleh Wali Kota Solo Joko Widodo, yang berani menolak pembangunan
mal-mal baru atas dasar pembelaan terhadap pedagang kecil di pasar tradisional.
Kepemimpinan responsif model ini sadar bahwa kekuasaan dari rakyat seharusnya
bekerja untuk rakyat. Tanpa pembelaan dari kekuasaan negara, rakyat kecil sudah
pasti termarjinalisasi dan kalah.
Akan tetapi, di tubuh
republik ini masih dikuasai oleh model kepemimpinan kerdil, yang memaknai
kekuasaan sebatas garis kepentingan sempit pribadi dan kelompok. Oleh karena
itu, inkonstitusionalisme kekerasan negara yang bermisi melindungi permainan
kotor elite kekuasaan dan kelompok modal besar masih akan direproduksi.
Sementara mekanisme konstitusional pengelolaan pembangunan yang secara esensial
mengarusutamakan dialog dan keadilan hukum akan terus dikhianati.
Inkonstitusionalisme
kekerasan negara bisa jadi narasi brutal yang merapuhkan proses pembangunan
nasional. Jika demikian, cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan untuk seluruh
tumpah darah Indonesia akan seperti si pungguk merindukan bulan.
Karena itu, rakyat tidak sekadar menanti kelahiran pemimpin
responsif, tetapi harus ikut aktif menciptakannya melalui mekanisme demokrasi.
Tanpa adanya upaya ini, para pemimpin kerdil dalam negara akan tetap berkuasa
dan terus menyalakan bara kekerasan terhadap rakyat kecil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar