Harus Utamakan
Pendekatan Harmoni
|
Pascal S Bin Saju ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
12 Agustus 2012
Kekerasan yang menimpa warga
etnis minoritas Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, menyita perhatian
internasional. Selain menyampaikan kecaman, sejumlah kelompok dan organisasi
internasional mulai merencanakan aksi cepat tanggap untuk menyelamatkan warga
Rohingya.
Persoalan itu menjadi pokok
bahasan rapat konsultasi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Kuala Lumpur,
Malaysia, 3 Agustus lalu. Rapat
yang difasilitasi lembaga kemanusiaan Mercy Malaysia itu melibatkan sekitar 40
aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari 20 negara anggota OKI.
Rapat yang dipandu Asisten
Sekretaris Jenderal OKI Atta el-Manan Bakhit itu juga dihadiri, antara lain,
Ketua Umum Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla dan Kepala Kantor Koordinasi
Urusan Kemanusiaan (OCHA) PBB Wilayah Asia Pasifik Oliver Lacey-Hall.
Menurut Atta, kejahatan
terhadap warga Rohingya telah melampau batas kemanusiaan. Negara-negara anggota
OKI harus bahu-membahu melakukan advokasi, menggalang bantuan, dan berusaha
membuka akses masuk ke daerah konflik.
Beberapa LSM menyampaikan
tawaran solusi yang emosional, misalnya advokasi dan bantuan kemanusiaan hanya
diberikan kepada etnis Rohingya yang telah menjadi korban kekerasan dan tidak
boleh diberikan kepada kelompok lain.
Apa pula tawaran yang lebih
ekstrem, seperti memindahkan semua warga etnis Rohingya ke negara ketiga yang
siap menampung. Seorang peserta sempat mengusulkan agar warga Rohingya itu
dipindahkan ke salah satu pulau di Indonesia. ”Indonesia memiliki banyak pulau
yang kosong,” katanya.
Namun, menurut Jusuf Kalla,
pendekatan seperti itu tak akan menyelesaikan masalah. ”Itu pendekatan yang
salah. Itu bukan solusi yang tepat, itu tidak manusiawi. Mereka tidak boleh
tercabut dari tanah asalnya. Mereka harus tetap di situ karena mereka sudah
ratusan tahun menetap (di Myanmar),” kata matan Wakil Presiden RI itu.
Menurut Kalla, konflik di
Rakhine tidak bisa diadvokasi dan ditangani secara parsial atau sektarian pula.
Konflik ini tidak hanya dialami etnis Rohingya, tetapi juga etnis lokal yang
beragama Buddha. Telah terjadi disharmoni dalam bidang sosial, budaya, dan
ekonomi.
Menurut Kalla, pendekatan
yang hanya fokus pada satu sisi hanya akan menimbulkan kebencian dan bahkan
persoalan baru. Oleh karena itu, advokasi dan bantuan kemanusiaan harus netral
dan menyentuh kedua sisi, yang oleh Kalla disebut sebagai ”pendekatan harmoni”
demi mengembalikan perdamaian.
Kalla menyebut, keberhasilan
Indonesia menyelesaikan konflik bernuansa sektarian di Ambon dan Poso merupakan
hasil pembelajaran bahwa dalam pertikaian atau konflik sektarian, para pihak
telah menjadi korban. Korban jiwa dan material dialami semua pihak. Pendekatan
tidak boleh membedakan kelompok.
Dalam konteks itu, Atta
sepakat dengan usulan Kalla bahwa asistensi dalam menyelesaikan konflik
Rohingya harus lebih pada aspek kemanusiaan yang universal, tidak
terkotak-kotak, dan harus netral atau lintas etnis.
Konflik
Warga etnis Rohingya, yang
sebagian besar memeluk agama Islam, tinggal di Negara Bagian Rakhine atau
disebut juga Arakan di Myanmar barat. Awal Juni lalu terjadi konflik antara
warga Rohingya dan warga etnis mayoritas di Rakhine yang beragama Buddha.
Informasi mengenai konflik
ini pun beredar ke seluruh dunia. Foto-foto dan rekaman video yang disebut
menggambarkan kekerasan di Rakhine beredar luas.
Belakangan terbukti,
foto-foto tersebut tidak diambil di Rakhine dan merupakan bagian dari kampanye
negatif yang disebarkan ke dua kelompok etnis yang bertikai. Phil Robertson,
Wakil Direktur Asia pada Human Rights Watch, di Depok, Jawa Barat, Jumat
(10/8), menyayangkan kampanye negatif yang dilakukan kedua belah pihak untuk
saling menyalahkan.
”Mereka sama-sama
menggunakan foto atau cuplikan video untuk menguatkan tuduhan masing-masing.
Namun, setelah diperiksa, foto atau film itu berasal dari kejadian lain dan
sama sekali tidak terkait dengan kerusuhan Rakhine,” ujar Robertson. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar