Jumat, 24 Agustus 2012

Ancaman RUU Keamanan Nasional


Ancaman RUU Keamanan Nasional
Muhamad Haripin ;  Peneliti di Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
SINDO, 24 Agustus 2012


Negara tidak dapat menyelesaikan semua persoalan. Negara, bahkan dalam banyak kasus, justru menjadi sumber persoalan.

Di Indonesia kita telah melihat betapa negara telah menjadi parasit masyarakat dengan korupsi yang dilakukan elite politik maupun birokrat dan kebutuhan masyarakat pun terbengkalai akibat mesin birokrasi negara yang bobrok. Bagaimanapun, kebobrokan negara bukanlah sesuatu yang permanen. Negara demokratis, seperti yang diklaim oleh Indonesia sejak tahun 1998, pada dasarnya merupakan medan perjuangan politik yang dinamis dan, oleh karena itu, selalu ada peluang untuk perbaikan maupun penjungkirbalikan segala kebobrokan yang diidap negara.

Jika negara memiliki niat tulus untuk memperbaiki diri, masyarakat tentu akan memberikan dukungan sepenuh hati. Permasalahan yang sering muncul adalah, tidak terkecuali di Indonesia, negara tidak memiliki niat tulus untuk introspeksi diri. Dalam konteks tersebut, Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional menjadi penting untuk kembali dibahas.

Pada bulan Juni 2012 lalu, pemerintah mengajukan kembali RUU Kamnas yang pada awal tahun telah dikembalikan oleh parlemen. Pertanyaan penting yang dapat menjadi bahan refleksi bagi publik adalah: apakah RUU Kamnas merupakan wujud perilaku negara yang ingin melindungi masyarakat, ataukah agenda negara untuk menguasai masyarakat.

Ancaman

Problem awal yang mesti mendapat perhatian adalah sikap keras kepala pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertahanan karena RUU yang diajukan tersebut merupakan naskah lama yang belum direvisi dan, tidak mengherankan, mengandung substansi yang problematik bagi banyak kalangan. Pertanyaan yang muncul di benak banyak kalangan adalah kenapa pemerintah begitu bersikukuh dengan RUU Kamnas; apa kepentingan yang sesungguhnya melandasi RUU tersebut.

Dari segi substansi, terdapat beberapa poin penting yang patut dikritisi. RUU Keamanan Nasional versi Kementerian Pertahanan (draf Maret 2011) menjelaskan bahwa keamanan nasional adalah, “Komitmen bangsa atas segala macam upaya simultan, konsisten, dan komprehensif, segenap warga negara yang mengabdi pada kekuatan komponen bangsa untuk melindungi dan menjaga keberadaan, keutuhan, dan kedaulatan bangsa dan negara, secara efektif dan efisien dari segenap ancaman mencakup sifat, sumber, dimensi, dan spektrumnya”( RUU pasal 1 ayat 1).

Selanjutnya, di ayat 3 dinyatakan bahwa sistem keamanan nasional adalah, “Tatanan segenap komponen bangsa dalam menyelenggarakan dan mendayagunakan seluruh sumber daya nasional secara terpadu dan terarah bagi terciptanya keamanan nasional.”Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem keamanan nasional berupaya menciptakan “komitmen bangsa”. Semestinya, sistem keamanan nasional menciptakan sistem atau mekanisme tata kerja teknis yang memiliki fungsi koordinasi bagi lembaga negara pelaksana kebijakan di sektor keamanan.

Karena dinyatakan sebagai “sistem”, pencapaian yang bersifat intangible (komitmen bangsa) seharusnya diposisikan sebagai outcome, yaitu konsekuensi logis yang serupa efek bola salju atas implementasi kebijakan tertentu, bukan  sebagai output yang bersifat tangible serta aplikatif. UU Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan merupakan panduan yang mesti diikuti. Pasal 5 menyatakan bahwa rancangan undang-undang mesti memiliki tujuan dan rumusan yang jelas, serta aplikatif/dapat dilaksanakan. Pemerintah sudah pasti tahu mengenai UU tersebut.

Permasalahannya adalah mengapa Kementerian Pertahanan tidak mengikuti rambu-rambu tersebut. RUU Kamnas ini juga memunculkan pertanyaan tentang komitmen pemerintah dalam menjaga demokratisasi Indonesia. Di bagian penjelasan Pasal 17 ayat 2 di antaranya disebutkan tentang pengertian ancaman tidak bersenjata, yaitu ancaman terhadap keamanan publik dan keamanan insani. Poin 8, 10,dan 19 menyebutkan bahwa pemogokan massal, ideologi, serta diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi merupakan bagian dari ancaman tidak bersenjata.

Dengan konsepsi tersebut, RUU Kamnas—jika nanti disahkan menjadi UU—dapat mengkriminalisasi demonstrasi buruh dalam bentuk pemogokan massal. Namun, pada dasarnya poin ini tidak terbatas kepada buruh. Di negara demokratis mana pun, pemogokan massal merupakan salah satu bentuk “ketidakpatuhan warga” (civil disobedience) yang dihargai serta dilindungi konstitusi. Kementerian Pertahanan seharusnya menghargai hak warga tersebut. RUU Kamnas pun berpotensi mengkriminalisasi setiap “ideologi” tanpa ada kejelasan pengertian tentang apa yang disebut ideologi.

Pemerintah, atau Dewan Keamanan Nasional— menurut RUU, dapat melarang maupun membelenggu pemikiran kritis serta progresif yang dinilai bertentangan dengan falsafah Pancasila, padahal pernilaian atas “ideologi non-Pancasila” tersebut bersifat unilateral serta nirakuntabilitas— suatu tindakan yang tidak demokratis. Selanjutnya, RUU Kamnas pun dapat menilai setiap perbedaan pendapat maupun protes keras terhadap regulasi pemerintah.

Jika dimaknai secara ekstrem, upaya warga negara untuk melakukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi pun dapat dinilai sebagai ancaman keamanan nasional. Penilaian ini berpotensi untuk dimanfaatkan dengan serampangan oleh negara untuk memberangus kelompok oposisi, baik dari partai politik maupun masyarakat sipil. Atas dasar beberapa poin tersebut, alih-alih memberikan keamanan insani dan publik, RUU Kamnas justru menjadi ancaman bagi publik Indonesia.

Panitia Khusus RUU Keamanan Nasional di parlemen mesti menunda pembahasan RUU hingga pemerintah selesai memperbaiki naskahnya. Selain itu, pemerintah pun diharapkan berbesar hati mau mendengarkan keberatan publik atas substansi RUU ini, dengan serius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar