Era
Ketersingkapan
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 12 Januari
2017
Kalau
Anda bilang disruption akibat
hadirnya teknologi digital hanya terjadi di dunia bisnis, salah besar. Disruption itu terjadi di mana-mana,
ya pemerintahan, ya sekolahan, kegiatan keagamaan, ya LSM. Ini beberapa
contohnya. Anda masih ingat kasus larangan beroperasinya Gojek yang
dikeluarkan regulator sekitar pertengahan Desember 2015. Larangan dikeluarkan
pagi hari, menjelang sore langsung dibatalkan. Mengapa? Itu karena berisiknya
suara netizen di media sosial. Jadi bukan karena penolakan dari anggota DPR
yang terhormat.
Maaf.
Lalu, yang paling aktual adalah aksi menyebalkan dari seorang anggota DPRD
Provinsi Jambi. Merasa berkuasa, anggota DPRD itu sembarangan saja memarkir
kendaraannya di area Bandara Sultan Thaha, Jambi. Ditegur petugas security
bandara, bukannya memindahkan mobilnya, ia malah marah-marah dan menampar
petugas tadi.
Untung
kejadian itu direkam oleh pemilik akun @yogiramadhanhb. Ia lalu mengunggah
kejadian tersebut di Instagramnya. Video tersebut langsung viral. Apa jadinya
kalau tak ada yang merekam kejadian tersebut dan mengunggahnya di media
sosial? Sama halnya dengan pemukulan seorang ajudan kepada petugas avsec di
Bandara Soetta yang kemudian berbuntut sedikit agak panjang. Berkat ramainya
protes netizen akhirnya muncul pernyataan Panglima TNI yang mengatakan dia
saja rela membuka gespernya kalau harus dilepas.
Anda
tahu, bandara dibangun dan dimodernisasi bukan hanya untuk mentransformasi
perusahaan pengelola bandaranya (Bandara Sultan Thaha di Jambi dikelola PT
Angkasa Pura 2 dan saya kebetulan menjadi komisaris utama di perusahaan itu),
tetapi juga masyarakat dan negara. Setelah bandara dimodernisasi, cobalah
lihat, masyarakat kita bisa antre jauh lebih tertib, bukan! Bandingkan dulu
ketika bandara masih kotor dan kumuh atau kalau sekarang dengan moda angkutan
lain seperti darat atau laut.
Jangan
lupa, diam-diam bandara kita sedang berubah menjadi smart airport. Segala
yang diperbuat aparat dan tamu-tamunya terekam dalam CCTV khusus. Memang ada
satu kelompok yang terus memantau dan menyebarkan hoax serta memaksa Anda
percaya pada berita palsu (yang negatif), tetapi itu hanyalah berita palsu.
Saya maklum kalau ada yang kena perangkap gravitasinya.
Zamannya
memang sedang saling memaksakan berita dan menyedot kita untuk percaya pada
hoax. Sampai kita tersadarkan tentang yang benar. Baiklah, kita bahas kasus
lain. Kali ini menimpa Dora, pegawai Mahkamah Agung (MA) yang mengamuk dan
mencakar Aiptu Sutisna. Celakanya aksi tak terpuji itu direkam dan diunggah
ke Facebook oleh Firman Perdana Putra.
Segera
video tersebut menjadi viral. Meski sudah mengaku bersalah dan Aiptu Sutisna
sudah memaafkan, MA tetap menjatuhkan sanksi. Dora dimutasi ke luar Jawa
tanpa jabatan. Satu lagi adalah peristiwa yang menimpa Dandim Lebak Letkol
Czi Ubaidillah. Ia kedapatan memberikan pelatihan kepada suatu ormas berkat
foto-foto yang tayang di Instagram.
Pelatihan
itu tanpa izin atasan. Dandim tersebut akhirnya dicopot dari jabatannya. Saya
tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi cepat atau lambat itu pun akan
terungkap. Kalau Anda sabar, dalam beberapa waktu ke depan masih akan ada
lagi sejumlah pejabat publik yang jadi viral di media sosial (meski saya
berharap itu jangan sampai terjadi).
Entah
karena perilakunya yang korup, selingkuh, mabuk-mabukan, narkoba, atau
permainan politik yang gegabah dan merusak persatuan. Mereka boleh saja
berjubah agama seperti Kanjeng Dimas, tapi semua akan terbuka. Publik bisa
tertipu, tapi mereka lama-lama belajar dan tahu juga bahwa segala yang datang
dari Tuhan pasti membawa kesejukan dan kedamaian. Adapun yang kasar, brutal,
dan menyakitkan, mungkin, dari yang sebaliknya.
Hati-hati
Mengapa
itu terjadi? Inilah era disruption.
Siapa pun kini tengah bertarung melawan hal-hal yang tak terlihat. Kalau dulu
sebelum masyarakat mengenal sains, kita sebut itu setan, roh halus atau jin.
Sekarang manusia mengejar kebenaran, kalau tak bisa juga ya diretas. Gitu
saja kok repot? Di dunia bisnis, banyak perusahaan mapan yang mengalami
kesulitan akibat hadirnya para pesaing yang bukan tidak head to head.
Perusahaan-perusahaan
itu tidak menghadapi pesaing baru karena telanjur keenakan dan masuk dalam
perangkap zona nyaman (comfort zone).
Mereka lalai dan kewalahan mengantisipasi hadirnya perusahaan- perusahaan
berbasis teknologi digital yang mengusung semangat kolaborasi, sharing, bukan owning, dengan konsep bisnis empowering
serta kesediaan untuk win-win-win.
Pengusahanya
menang, pemilik aset dapat rezeki, dan konsumen pun senang karena bisa
mendapatkan layanan dengan harga murah. Bisnis seharusnya begitu. Bukan zero sum game atau win-win, tetapi win-win-win. Di kalangan pemerintahan dan instansi layanan publik
lainnya, disruption terjadi bagi
mereka yang masih terperangkap dalam zona nyaman.
Mereka
ini belum bisa meninggalkan mindset dan perilaku-perilaku lama seperti
penyakit klasik birokrasi dengan jargonnya “kalau bisa diperlambat, mengapa
harus dipercepat”. Juga birokrat atau pejabat yang sukanya menyembunyikan
masalah di dalam laci, di lemari atau di bawah karpet. Membiarkan masalahnya
berlarut-larut tidak terpecahkan dan akhirnya terakumulasi dan menjadi
warisan berat untuk pejabat mendatang.
Atau
tokoh munafik dan serbapalsu. Di depan tampak alim, di belakang sebaliknya.
Lalu pejabat atau aparat yang belum bisa meninggalkan kebiasaan korup. Entah
meminta suap, korupsi waktu, atau memanfaatkan fasilitas negara untuk
kepentingan pribadi. Masih banyak lho pejabat tinggi kita yang kelakuannya
seperti ini. Kalau ketahuan, baru dia secara demonstratif mengganti uang atau
fasilitas negara yang dipakainya.
Hati-hati
kalau perilaku Anda, para pejabat atau aparat negara, masih seperti ini.
Perilaku Anda pasti tersingkap. Hanya soal waktu. Anda tak pernah tahu bahwa
perilaku Anda direkam oleh orang lain dan sesaat kemudian sudah tayang di
media sosial serta menjadi viral.
Dua Cara
Bagaimana
disruption di ranah publik itu terjadi? Setidak-tidaknya lewat dua cara.
Pertama,
dari atas, disruption terjadi dengan terungkapnya perilaku buruk, baik dari
para pejabat maupun aparat layanan publik.
Lihatlah
kasus Dora. Di situ yang terungkap bukan hanya perilaku buruk pegawai MA,
tetapi juga kesabaran Aiptu Sutisna menghadapi amarah seorang pelanggar lalu
lintas. Anda tahu, selama ini polisi sudah menyandang stigma negatif.
Ungkapan yang terkenal soal ini adalah “lapor kehilangan ayam, malah
kehilangan kambing”. Sikap profesional Aiptu Sutisna, saya harap, mampu
menekan stigma buruk tersebut.
Masyarakat
jadi tahu bahwa ternyata masih banyak polisi yang baik. Dan itu semua terjadi
berkat peran dari teknologi digital. Semoga saja kita tidak salah. Masyarakat
kita yang sudah letih menghadapi perilaku buruk para pemimpinnya, termasuk
aparat layanan publik, seakan menemukan kanal untuk mengungkapkan
kejengkelannya. Bahkan bukan sekadar itu, kanal tersebut ternyata bisa
berfungsi secara efektif sebagai media korektif. Buktinya kasus Dora tadi.
Kedua,
dari sisi bawah, disruption terjadi karena teknologi digital membuat
masyarakat kita menjadi semakin kritis dan cerdas.
Mereka
juga semakin mudah bersatu kalau isu-isunya sudah menyangkut kepentingan
bersama. Maka untuk para pejabat yang tak mau memperbaiki diri, masih
koruptif, tak mau meninggalkan zona nyamannya, tak mau mengubah mindset dan
perilaku dari selalu minta dilayani menjadi melayani, siap-siaplah. Anda
bakal terdisrupsi, bakal tersingkir.
Ini
era disruption, era ketersingkapan. Semua yang busuk bakal terendus, muncul
ke permukaan, dan akhirnya semua orang tahu. Anda tak punya tempat lagi untuk
sembunyi. Memang itu semua ada konsekuensinya. Sampai periode tertentu, kita
bakal semakin sering mendengar dan menyaksikan terbongkarnya perilaku busuk
para pejabat dan aparat publik. Bahkan mungkin termasuk perilaku kita
sendiri—kalau juga busuk.
Tapi,
jangan risau dan jangan cepat lelah. Sebab itu artinya disruption, mekanisme
koreksi, tengah bekerja. Jadi berterima kasihlah pada media sosial—yang kini
tengah mendapat sorotan negatif lantaran kerap disalahgunakan untuk
menyebarkan hoax, berita menyesatkan, dan menebar fitnah serta kebohongan.
Selalu ada dua sisi dari satu keping mata uang. Mari, kita melatih diri untuk
selalu melihat dari sisi positif dan menggunakannya untuk menebar kebaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar