Delusi
Penegak Hukum Kasus Ahok
Syamsuddin Radjab ; Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar;
Direktur Jenggala Center
|
KORAN SINDO, 12 Januari
2017
Secara
beruntun pada Senin dan Selasa (5-6/12/ 2016) Komisi III DPR RI melakukan
raker dengan mitranya, yaitu Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung.
Raker
disiarkan secara live beberapa stasiun televisi sehingga kita bisa
mendengarkan langsung apa jawaban pejabat dua institusi penegak hukum itu.
Kasus Ahok mendominasi jalannya dialog selama dua hari itu.
Terkait
dengan kasus Ahok, saya menuliskan dengan pendekatan analisis wacana kritis
ala Teun Van Dijk dengan penekanan pada tingkah laku, ucapan, dan teks
(kalimat) para penegak hukum; kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus
dugaan penistaan agama yang disangkakan ke Saudara Basuki Tjahaya Purnama
alias Ahok. Dalam tahap penyelidikan dan penyidikan;
Pertama,
saksi ahli, kepolisian memanggil puluhan saksi ahli, terutama ahli agama,
bahasa, dan pidana.
Yang
menarik, status ahli agama dari Mesir, Syaikh Mushthofa Amr Wardani. Menurut
penyidik, pihak Ahok yang mengundangnya sebagai saksi yang meringankan
(14/11/2016), tetapi kemudian dibantah Ahok sendiri bahwa dia tidak merasa
mendatangkan saksi tersebut. Lalu, siapa? Penyidikkah? Dubes kah ? Atau,
hantukah? Cara-cara manipulasi dan menjebak agar seseorang bersaksi tidak
dapat dibenarkan secara hukum dan merendahkan martabat penegak hukum sendiri.
Kedua,
penentuan status tersangka berdasarkan voting.
Seseorang
ditetapkan sebagai tersangka harus sesuai ketentuan KUHAP dan KUHAP tidak
menyatakan bahwa dalam penetapan status tersangka berdasarkan voting, tetapi
bukti permulaan (Pasal 1 angka [14] KUHAP). Kata ”voting” tidak saja sesuai
hukum, tetapi berdiksi politik dan penuh tolak-tarikkepentinganorang per
orang atau kelompok. Seolah para penyidik merupakan kelompok kepentingan
politik dalam penetapan status tersangka Ahok.
Ketiga,
klaim hanya kepolisian yang bisa menetapkan status tersangka Ahok.
Pernyataan
tersebut disampaikan langsung oleh Kapolri Tito Karnavian dalam orasi aksi
damai III (2/12/ 2016) di Monas, Jakarta. Pernyataan Kapolri ini tidak etis
dan menihilkan peran penegak hukum lain seperti kejaksaan dan KPK. Secara
nyata bahkan disampaikan KPK tidak dapat menetapkan Ahok sebagai tersangka
dan hanya bisa dilakukan oleh kepolisian. Ini menandakan sikap rivalitas
sesama penegak hukum dan bahayanya jika hanya mengejar prestasi kuantitas
tanpa menimbang bukti-bukti hukum.
Keempat,
provokasi Kapolda DKI Jakarta.
Dalam
raker Kapolri dan Komisi III DPR ditayangkan video provokasi Kapolda DKI
Jakarta agar FPI menyerang HMI pada aksi 411. Pernyataan kapolda dalam
tayangan tersebut merupakan perbuatan tercela dan hina karena tidak
mencerminkan aparatur negara sebagai pengayom dan pengendali ketertiban
masyarakat. Polisi seharusnya menghadirkan rasa aman pun dapat berperilaku
menjadi teror bagi masyarakat dan hilangnya rasa aman bagi warga negara.
Hingga
raker selesai, pertanyaan anggota Komisi III DPR Desmond J Mahesa tidak
mendapatkan penjelasan baik dari kapolri maupun kapolda sendiri. Sikap
ketidakadilan dalam penegakan hukum merupakan ladang subur tumbuhnya
radikalisme dan terorisme serta meruntuhkan wibawa institusi penegak hukum.
Kasus Ahok di tangan kejaksaan sebagai penuntut umum.
Jaksa
penuntut umum (JPU) mewakili kepentingan publik dan bukan tersangka,
kepentingan publik siapa? Kepentingan para pelapor yang terdiri atas 13
elemen umat Islam. Dari beberapa pernyataan petinggi Kejaksaan Agung ada yang
harus dikritisi.
Pertama,terkait
desakan penahanan Ahok.
Salah
satu dalih tidak ditahan Ahok sebagaimana disampaikan Kapuspenkum Kejagung M
Rum (1/12/2016) dan Jaksa Agung Prasetyo dalam raker Komisi III DPR
(6/12/2016) bahwa Ahok tidak ditahan karena penyidik Polri juga tak menahan
tersangka sesuai SOP. Penyidik dan penuntut memiliki fungsi, tugas, dan
kewenangan masingmasing sesuai KUHAP kendatipun penahanan tersangka dapat
saja ditangguhkan atau dialihkan penahanannya.
Pelbagai
kasus pidana membuktikan, penyidik menahan tersangka kejaksaan menangguhkan
atau sebaliknya. Jadi, dalih kejaksaan tidak menahan Ahok karena kepolisian
juga tidak menahan yang bersangkutan merupakan langkah cari aman dan
mengada-ada. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-036/A/JA/09/2011 tentang SOP
Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, alasan di atas tidak ditemukan.
Kedua,
penggantian JPU Ahok.
Penunjukan
jaksa Iriene R Korengkeng sebagai JPU tersangka Ahok oleh Jaksa Agung dalam
raker tersebut diganti karena merespons aspirasi masyarakat melalui sosial
media. Selain itu, dinilai tidak objektif karena Iriene beragama Kristen
seagama dengan tersangka Ahok dan perempuan (6/12/ 2016). Argumen penggantian
Iriene di atas tidak logis dan bertentangan dengan independensi kejaksaan.
Jika
penggantian jaksa Ahok karena ada desakan masyarakat melalui sosial media,
kenapa sikap Jaksa Agung beda atas desakan penahanan Ahok juga melalui sosial
media? Jika karena tersangka beragama Kristen dan tidak boleh dihadapi dengan
jaksa beragama Kristen KUHAP, apa yang dipakai? Jika karena Ireine berjenis
kelamin perempuan dan tidak boleh menjadi JPU Ahok, bukankah itu perlakuan
diskriminatif dan bias gender dalam tubuh kejaksaan? Meragukan kompetensi dan
kapasitas bawahan sendiri sangatlah tidak bijak sebagai Jaksa Agung.
Cara
berpikir Jaksa Agung seperti ini telah menempatkan proses penegakan hukum
berdasarkan tekanan publik atau trial by the press. Kasus Ahok mulai
disidangkan pada 13/12/2016 oleh Pengadilan Jakarta Utara sesuai dengan locus
delicti peristiwa, di mana Kepulauan Seribu masuk dalam wilayah administratif
Jakarta Utara.
Tempat
persidangan di kawasan Harmoni Jalan Hayam Wuruk kemudian dipindahkan lagi ke
Auditorium Gedung Departemen Pertanian kawasan Ragunan Jakarta Selatan
berdasarkan Keputusan Ketua MA No 22/ KMA/SK/2016 (22/12/2016) atas
permintaan Kapolda Metro Jaya dengan pertimbangan kondisi sidang yang
dipenuhi massa kedua kubu, pendukung Ahok, dan massa pelapor.
Dengan
situasi sidang kasus Ahok seperti itu tentu saja sangat mengganggu aktivitas
keseharian masyarakat dan karyawan sekitar serta menyebabkan kondisi jalan
makin macet. Dalam sidang keempat, Selasa (3/1), diwarnai dengan bentrokan
dua massa pendukung dan kemungkinan masa sidang berikutnya makin menaikkan
tensi dua kubu dan memakan waktu panjang hingga selesainya pemungutan suara
pilkada Jakarta.
Dua
kubu menekan pengadilan dalam orasi-orasi yang disampaikan dengan tuntutan
agar Ahok dipenjara dan massa lainnya menuntut Ahok dibebaskan. Masalah kita
bukan hanya utang negara yang kian tinggi atau kenaikan tarif STNK/BPKB, BBM,
dan listrik, tapi juga Ahok sudah menjadi bagian dari masalah nasional dan
Jokowi. Yang menarik, soal kasus Ahok juga diperdebatkan di kalangan media
massa, apakah disiarkan langsung atau tidak.
Oleh
Dewan Pers melalui rapatnya (9/12/2016) memutuskan agar tidak disiarkan
langsung untuk menghormati asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence)dan trial by the press. Alasan Dewan Pers ini, menurut saya, tidak
relevan karena asas praduga tidak bersalah hanya boleh dipakai dalam proses
projustisia tidak terkait dengan soal siaran langsung dan tidak langsung,
warga berhak untuk tahu (right to know) sebagai bagian dari penerapan asas
transparansi pengadilan maupun pemerintahan.
Akan
lebih baik jika Dewan Pers dan Media merumuskan bersama dalam hal apa media
massa boleh menyiarkan langsung atau tidak dalam regulasi yang mengikat tanpa
mengebiri hakhak dasar warga negara sehingga tidak bergantung pada
kasus-kasus tertentu.
Bagi
saya, menilai independensi dan objektivitas para penegak hukum baik polisi,
jaksa, dan hakim dalam sidang kasus Ahok cukup menilai kalimat dan diksi
materi BAP, dakwaan, dan putusan hakim serta mengamati pernyataan dan
perilakunya. Jika materi BAP, dakwaan, dan putusannya lemah dengan
menggunakan kata, prasa, dan kalimat tidak tegas (multitafsir), tentu saja
para penegak hukum itu memihak terdakwa. Inilah pentingnya menggunakan
pendekatan wacana kritis dalam kasus Ahok. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar