Sabtu, 21 Januari 2017

Menangkis Isu ”Rush Money”

Menangkis Isu ”Rush Money”
Paul Sutaryono  ;  Pengamat Perbankan;  Mantan Assistant Vice President BNI
                                                      KOMPAS, 21 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada minggu ketiga November 2016, industri perbankan nasional digegerkan oleh isu (kabar burung) suatu ajakan agar mengambil uang di bank secara besar-besaran (rush money) pada 25 November 2016. Isu itu beredar luas di media sosial.

Bagaimana menangkis isu yang merupakan potensi risiko bagi perbankan itu?

Isu itu sempat menyentak. Tak kurang dari Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bergegas memberikan penjelasan bahwa isu tersebut tidak benar sama sekali. Penjelasan itu amat penting dan mendesak untuk mencegah potensi risiko yang lebih luas lagi.

Sejatinya, teknologi informasi (TI)—mengingat isu itu disebarkan melalui media sosial (medsos)—bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, TI sangat bermanfaat untuk meningkatkan nilai tambah produk dan jasa perbankan. Misalnya, internet banking, SMS banking, mobile banking,dan phone banking yang berguna untuk memanjakan nasabah bank dalam melakukan transaksi perbankan tanpa pergi ke kantor bank terdekat.

Akan tetapi, di sisi lain, TI juga bisa dimanfaatkan untuk tujuan negatif yang bisa merugikan masyarakat umum, bahkan negara. Sungguh, isu itu hanya nebeng rencana demo jilid dua pada 25 November 2016, menyusul demo 4 November 2016.

Memang benar otoritas moneter (BI) dan otoritas fiskal (Kementerian Keuangan) serta penjaga gawang lembaga keuangan perbankan dan non-perbankan (OJK) sudah berhasil menepis isu busuk tersebut. Namun, isu semacam itu dikawatirkan akan kembali merebak dengan menunggangi hiruk-pikuk politik yang tensinya sedang meninggi menjelang pilkada serentak pada Februari 2017.

Aneka langkah strategis

Lantas, apa saja langkah strategis yang layak diambil oleh otoritas?

Pertama, untuk mencegah potensi risiko rush, otoritas moneter telah menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai level 5 persen, sementara negara lain di bawah itu. Laju inflasi terjaga di level 3 persen. Selain itu, defisit transaksi berjalan menurun ke level 4,5 miliar dollar AS dan neraca pembayaran surplus 9,6 miliar dollar AS. Cadangan devisa mencapai 115,7 miliar dollar AS, cukup untuk membiayai 8,3 kali impor dan pembayaran utang luar negeri.

Apakah penjelasan seperti itu tepat sasaran untuk melakukan mitigasi potensi risiko rush? Bagi masyarakat yang sudah melek keuangan atau literasi keuangan, penjelasan itu dapat dimengerti bahwa isu itu tak beralasan sama sekali. Tapi, masalahnya, sasaran isu adalah masyarakat yang tidak atau belum melek keuangan.

Akan lebih jitu ketika pemerintah, otoritas, atau regulator menjelaskan indikator ekonomi itu dengan membandingkan dengan indikator saat krisis ekonomi Indonesia pada 1997/1998. Terlebih menyangkut indikator perbankan, mengingat isu itu jelas ditujukan kepada perbankan.

Katakanlah, inflasi saat ini 3,31 persen per akhir Oktober 2016 jauh lebih rendah 11,05 persen pada 1997 dan 77,54 persen pada 1998. Pertumbuhan ekonomi 5,02 persen per kuartal III/2016 jauh lebih tinggi 4,8 persen (1997) dan bahkan minus 13,3 persen (1998). Suku bunga rata- rata deposito (rupiah) 6,76-8,89 persen pada September 2016 jauh lebih rendah 27 persen (1997) dan 60 persen (1998). Semakin tinggi suku bunga deposito, kian menyiratkan bahwa bank mengalami kekurangan likuiditas.

Apalagi waktu itu ada 16 bank dilikuidasi per 1 November 1997, yang bertujuan untuk menyehatkan sistem perbankan. Sebaliknya, saat ini tidak ada bank yang bernasib demikian. Perbandingan indikator disertai penjelasan secukupnya seperti itu akan lebih memberikan gambaran terang benderang: ekonomi, terutama sektor perbankan, dalam kondisi sehat walafiat.

Sejauh mana tingkat literasi keuangan penduduk Indonesia? Ternyata tingkat literasi keuangan dalam sektor perbankan baru mencapai 21,84 persen. Bandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing telah mencapai 80,67 persen dan 78,13 persen. Dengan bahasa lebih bening, tingkat literasi keuangan Indonesia masih terbilang rendah; untuk tidak menyebut ketinggalan jauh.

Oleh karena itu, inilah tugas OJK untuk menaikkan tingkat literasi keuangan dengan mengadakan sosialisasi sekaligus edukasi. Dalam praktiknya, hal itu bukan hanya tugas OJK, melainkan juga bank, melalui media elektronik dan cetak, temu wicara (talk show) langsung di televisi dan radio. Akan lebih jitu jika sosialisasi dan edukasi itu diadakan pula di kampus dan sekolah sebagai pelaku transaksi perbankan, termasuk investasi. Upaya tersebut sekaligus bertujuan mencegah maraknya investasi bodong atau abal-abal yang terus mencuat di permukaan.

Sebagai pengingat, inilah deretan investasi bodong mulai 2007 yang berpotensi merugikan masyarakat miliaran hingga triliunan rupiah. Wahana Bersama Globalindo (WBG) (valas, Rp 3,5 triliun, 2007), Gama Smart Karya Utama (valas, Rp 12 triliun, 2007), Sarana Perdana Indoglobal (valas, Rp 2,1 triliun, 2007), PT Gradasi Anak Negeri (MLM, Rp 390 miliar, 2012), Koperasi Langit Biru (bisnis daging, Rp 6 triliun, 2012), dan PT Gemilang Reksa Jaya (MLM, ratusan miliar rupiah, 2012). Lalu kasus Koperasi Cipaganti dengan potensi kerugian Rp 3,2 triliun pada 2014 (Kontan, 25 Juli 2012).

Kedua, jangan lupa bahwa kini medsos sudah menjadi wahana yang begitu bebas seolah-olah tanpa batas. Di medsos terjadi dikotomi antara lovers dan haters yang begitu kental, bagai tiada lagi toleransi.

Menurut pemikir sosial dan kebudayaan Yasraf Amir Piliang, informasi di medsos mengalir sangat cepat dalam jumlah melimpah dan masif. Kecepatan itu membuat orang tidak lagi sampai berpikir atau merenung karena mereka akan ketinggalan. Karena akal sehat tidak bekerja, yang bekerja kemudian emosi, sentimen, motivasi kepentingan, keyakinan, dan ideologi. Itu yang kemudian menyulut kebencian. Sebab, kebencian itu disulut emosi, bukan akal sehat (Kompas 20 November 2016).

Akibatnya, isu rush semacam itu bisa dianggap sebagai kebenaran. Karena itu, pemerintah (Kementerian Komunikasi dan Informatika) dituntut mampu mengawal medsos secara jeli dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Jangan sampai otoritas justru kalah sigap dalam bertindak.

Risiko reputasi dan risiko sistemik

Ketiga, sekali lagi, isu seperti itu bisa muncul kembali. Akan lebih berisiko tatkala isu itu kemudian menunjuk ke bank tertentu. Hal itu dapat membuat bank tersebut menderita risiko reputasi.

Apa itu risiko reputasi? Risiko reputasi adalah risiko sebagai akibat dari penurunan tingkat kepercayaan pemangku kepentingan yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank bersangkutan. Pada awalnya, risiko reputasi itu tidak terkait langsung dengan kerugian finansial. Akan tetapi, dalam jangka panjang risiko reputasi itu bisa berubah menjadi kerugian finansial. Bahkan, risiko reputasi dapat merembet menjadi risiko sistemik bagi bank lainnya.

Apalagi tatkala bank yang terkena isu itu sudah go public sehingga hampir semua mata bisnis akan menatapnya, termasuk ratusan bank koresponden luar negeri. Risiko reputasi dapat melanda bank apa pun dan di mana pun, terlebih bank yang sebelumnya pernah terkena deraan kasus perbankan. Jangan sampai konsumen (nasabah dan investor) jasa perbankan menjadi korban yang tak berdaya.

Itu semua meneguhkan betapa penting perlindungan konsumen. Untuk itu, OJK perlu segera mewujudkan Masterplan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI) untuk menggantikan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API yang terbit 9 Januari 2004 dengan tujuan memperkuat fundamental perbankan itu merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk 5-10 tahun ke depan.

Pilar keenam API menitahkan ”mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan”. Oleh karena itu, setiap aturan sudah sepatutnya memprioritaskan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan.

Potensi risiko sistemik sebagai akibat isu itu pulalah yang patut diwaspadai lebih lanjut oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), sebagaimana dititahkan oleh UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). KSSK terdiri atas Menteri Keuangan sebagai koordinator, sedangkan Gubernur BI dan Ketua Dewan Komisioner OJK sebagai anggota. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya memiliki hak bicara, bukan hak suara. KSSK memiliki tugas untuk memberikan rekomendasi kepada presiden mengenai penetapan kondisi krisis.

UU PPKSK itu bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis. Berbeda dari konsep UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), UU PPKSK itu lebih mengutamakan bail in daripada bail out (talangan oleh pemerintah). Tegasnya, bail in merupakan tata cara baru penanganan dan pencegahan krisis keuangan. Sarinya, pemegang saham bank diharapkan lebih berperan dalam menangani ancaman krisis.

Tengok saja, Pemerintah Jerman tidak memberikan talangan kepada Deutsche Bank yang harus membayar denda Departemen Kehakiman AS senilai 14 miliar dollar AS (Rp 189,35 triliun dengan kurs Rp 13.525 pada 25 November 2016). Namun, kemungkinan besar Kanselir Jerman Angela Merkel akan menalangi bank terbesar di Eropa itu. Mengapa? Lantaran kasus itu bisa menyetrum lahirnya risiko sistemik perbankan global. Lebih dari itu, talangan itu sebagai bentuk kampanye awal karena Merkel mencalonkan kembali sebagai kanselir untuk periode berikutnya.

Berbekal aneka langkah strategis demikian, isu rush money yang lebih lazim disebut bank run itu dapat ditangkis dengan efektif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar