Jumat, 20 Januari 2017

Menyikapi Permintaan Perjanjian Stabilisasi Investasi Freeport

Menyikapi Permintaan
Perjanjian Stabilisasi Investasi Freeport
Hikmahanto Juwana ;  Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
                                                  DETIKNEWS, 19 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah telah mengeluarkan PP 1 Tahun 2017 (PP 1/2017) pada tanggal 11 Januari yang lalu. PP ini memungkinkan PT Freeport Indonesia (Freeport) dan pemegang Kontrak Karya (KK) lainnya untuk tetap mengekspor konsentrat sepanjang mengubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Freeport menyatakan bersedia untuk mengubah KK menjadi IUPK dengan syarat Pemerintah dan Freeport membuat perjanjian stabilisasi investasi.

Menurut Freeport perjanjian ini yang memungkinkan Freeport mendapat kepastian hukum dari pemerintah agar tidak ada aturan-aturan baru dikemudian hari yang membuat Freeport terbebani sehingga mengurangi keekonomian usaha mereka.

Pemerintah harus hati-hati dalam menyikapi syarat yang diminta Freeport. Paling tidak ada tiga alasan.

Pertama, perjanjian stabilisasi investasi merupakan perjanjian yang bersifat perdata. Ini karena pemerintah dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum perdata membuat perjanjian dengan Freeport sebagai badan hukum yang merupakan subyek hukum perdata. Namun perjanjian ini hendak membelenggu kewenangan pemerintah sebagai subyek hukum publik untuk membuat peraturan perundang-undangan.

Artinya kedaulatan suatu negara untuk membentuk hukum hendak dikekang dengan suatu perjanjian perdata. Perjanjian semacam ini tidak beda dengan KK yang selama ini dinikmati oleh Freeport.

Alasan kedua yang perlu diwaspadai oleh pemerintah adalah apakah pemerintah yang berkuasa sekarang dapat memastikan agar pemerintah yang akan datang tidak membuat aturan-aturan yang merugikan dalam kacamata Freeport?

Demokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini memposisikan pemerintah tidak berada dalam situasi yang sama seperti pemerintahan Soeharto di masa lalu.

Suara rakyat yang diartikulasikan dalam janji kampanye harus diwujudkan saat kandidat Presiden menjadi Presiden. Situasi ini tidak beda dengan perusahaan induk Freeport, Freeport McMoran, yaitu Amerika Serikat.

Ketiga, bila permintaan Freeport dikabulkan tentu banyak perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia akan meminta hal serupa. Pemerintah akan terlihat lemah di mata rakyat bila perusahaan multinasional dapat mendikte negara.

Bila tiga alasan diatas diabaikan maka akan menjadikan posisi pemerintahan Jokowi-JK seolah tidak berdaulat dibidang sumber daya alam sesuai janji kampanye.

Seharusnya Freeport menerima PP 1/2017 tanpa syarat apapun mengingat pemerintah telah memfasilitasi kepentingan Freeport dalam situasi rakyat Indonesia yang menghendaki agar tambang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar