Mengungkit
Pendidikan Mengatasi Kemiskinan
Ali Khomsan ;
Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB
|
MEDIA INDONESIA,
13 Januari 2017
KEMISKINAN
di Indonesia masih cukup mengerikan. Meskipun setiap tahun jumlah orang
miskin semakin berkurang, jumlah keseluruhan masih sangat banyak, yakni 28
juta orang. Karakteristik orang miskin ialah kurang berpendidikan, lingkungan
hidupnya buruk, derajat kesehatannya rendah, dan anak balitanya kurang gizi.
Busung lapar akibat kemiskinan yang menyeruak secara sporadis pada waktu
tertentu dan lokasi tertentu akan mengakibatkan generasi-generasi muda yang
berotak kosong. Kemiskinan tidak hanya dialami petani, buruh, atau pekerja
informal. Pegawai negeri golongan rendahan setiap hari juga harus berakrobat
mencari tambahan penghasilan.
Terima
kasih kepada pemerintah yang telah memprogramkan gaji ke-13 dan 14 bagi PNS.
Lumayan untuk tambahan biaya pendidikan anak. Program andalan pemerintah
untuk mendongkrak kesejahteraan ialah pemberantasan kemiskinan, pemerataan
pendidikan, perbaikan kesehatan dengan menurunkan angka kematian anak,
perbaikan infrastruktur, dll. Ada dua langkah besar yang bisa diambil untuk
mengatasi kemiskinan. Pertama, penyediaan fasilitas umum dan sosial kepada
masyarakat kurang mampu. Misalnya, pendidikan dasar gratis, pelayanan
kesehatan gratis, meningkatkan ketersediaan fasilitas air bersih, penetapan
tarif listrik dan harga BBM yang murah.
Kedua,
upaya pemerintah untuk mendorong terbukanya lapangan kerja yang lebih luas.
Pertumbuhan ekonomi makro harus mampu menggerakkan sektor riil yang dapat
mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pendidikan
merupakan pintu masuk (entry point) utama untuk mengatasi kemiskinan.
Pendidikan akan membuat seluruh rakyat melek huruf, cerdas, dan kreatif
mengatasi persoalan hidup, serta mampu bersaing dengan tenaga-tenaga kerja
dari mancanegara. Sistem pendidikan yang membuka kesempatan bagi orang miskin
untuk bersekolah di tempat yang baik akan berperan penting untuk mengangkat
derajat hidup siswa miskin kelak di kemudian hari.
Saya
mendukung bila birokrat dan para tokoh pendidikan melakukan studi banding ke
negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, atau Australia sekadar untuk
mengintip serta mempelajari bagaimana proses pendidikan dari tingkat dasar
sampai tinggi diselenggarakan. Apakah selama ini kebijakan kita di bidang
pendidikan sudah pada jalur yang benar? Kalau pemerintah ingin membuat
kebijakan pendidikan yang baik, yang pertama harus diperhatikan ialah
kesejahteraan guru. Guru adalah profesi yang harus dibedakan dengan profesi
PNS lainnya. Guru adalah penentu kualitas SDM di masa depan. Kebijakan yang
tidak memihak guru atau sekadar menyamakan guru dengan PNS lainnya akan
berdampak buruk bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Sertifikasi
pendidik kini sudah dinikmati para guru. Hanya, mengapa dana sertifikasi guru
tidak bisa turun rutin setiap bulan seperti yang sudah bisa dirasakan para
dosen di perguruan tinggi? Rapel penerimaan dana sertifikasi tiga bulan
sekali atau bahkan enam bulan sekali menyebabkan guru dalam kehidupan
kesehariannya masih merasakan tekanan ekonomi yang berat. Kurikulum
pendidikan dasar di Indonesia ternyata cukup berat. Kesibukan siswa Indonesia
ternyata mengalahkan kesibukan para birokrat di Tanah Air. Waktu anak-anak
kita habis untuk belajar di sekolah dan mengikuti berbagai les penunjang
pelajaran. Seolah siswa tidak akan lulus kalau tidak mengikuti bimbingan
belajar (bimbel). Di negara-negara maju mungkin tidak kita temukan keberadaan
bimbel yang menjamur seperti di Indonesia.
Bimbel
juga menyedot ekonomi orangtua siswa karena biaya per bulan ternyata jauh
lebih mahal bila dibandingkan dengan SPP di sekolah swasta yang baik. Bimbel
bisa mempunyai siswa bimbingan sampai 600 orang yang setara dengan jumlah
murid satu SMP. Terlalu banyak mata pelajaran dan dengan tingkat kedalaman
yang luar biasa membuat anak-anak Indonesia bergelut dengan stres setiap
harinya. Jangan-jangan kita saat ini sedang mengarah ke pembentukan generasi
stres. Untunglah Bupati Purwakarta mempunyai kebijakan yang berani, tidak
boleh ada PR untuk siswa sekolah karena anak-anak sudah terlalu overload di
sekolah. Saya pernah mencermati mata pelajaran IPA kelas 3 SD, para siswanya
sudah harus memahami berbagai jenis tanah seperti tanah aluvial, litosol,
organosol, dan andosol.
Mereka
juga harus dapat membedakan bebatuan seperti batu granit, obsidian, basal,
dan breksi. Apakah pendidikan kita akan mengarahkan anak-anak kelas 3 SD
menjadi seorang geolog? Jangan berpikiran bahwa mumpung otak anak-anak sedang
berkembang, perlu diisi sepadat-padatnya dengan aneka ragam iptek. Tidak
pernah terpikirkan bahwa informasi yang berlebihan akhirnya akan luber dan
tumpah sehingga tidak ada gunanya. Materi pelajaran yang terlalu dalam dan
sangat beragam tidak akan menghasilkan anak-anak super. Dengan sistem
pendidikan seperti sekarang ini, mungkin hanya sebagian kecil di antara siswa
yang dapat menyerap pelajaran dengan baik. Sementara itu, yang kemampuannya
pas-pasan, apalagi di bawah rata-rata, lebih banyak bengong.
Iptek
di negara kita belum terlalu maju, bahkan ada yang mengatakan tidak ada yang
mau mencuri iptek di Indonesia karena ipteknya sudah basi. Akan tetapi,
mengapa kita membebani anak-anak kita dengan materi pelajaran melebihi dari
apa yang diterima anak-anak di negara maju? Di negara maju, sekolah menjadi
tempat atau arena yang mengasyikkan bagi siswa-siswa karena kurikulum yang
tidak terlalu padat. Tidak bersekolah berarti kehilangan kesempatan untuk
bersosialisasi dengan teman-teman dan gurunya yang menyenangkan. Marilah kita
berharap bahwa pendidikan di Indonesia benar-benar dapat dipakai untuk
menyongsong masa depan generasi muda agar bangsa ini dapat segera membebaskan
diri dari belenggu kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar