Konservatisme
Politik Anti-Jokowi
Eko Sulistyo ; Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi
Informasi
Kantor Staf Presiden
|
MEDIA INDONESIA,
10 Januari 2017
AKHIR-AKHIR
ini, landscape dan dinamika politik di Tanah Air, terutama di jagat maya sangat
diwarnai berbagai bentuk hujatan, ujaran kebencian, kabar bohong (hoax), dan
fitnah kepada pemerintah. Dinamika ini makin kencang seiring dengan
kontestasi pilkada DKI Jakarta yang diramaikan oleh tuduhan kasus penistaan
agama atas calon petahana Basuki T Purnama (Ahok) yang mengutip Surah
Al-Maidah ayat 51.
Dalam
perspektif politik, cara-cara seperti itu tidak memiliki substansi yang
mencerdaskan, tapi lebih mengarah pada bentuk konservatisme politik yang
cenderung menghambat kemajuan bangsa. Sikap politik demikian tidak akan
mendewasakan kehidupan politik, tapi hanya akan melahirkan kemunduran dalam
berdemokrasi.
Konservatisme
menurut The Palgrave Macmillan
Dictionary of Political Thoughts (2007) adalah pandangan sosial dan
politik yang mewujudkan sebuah kehendak untuk mempertahankan hal-hal yang
telah ada, baik dalam persoalan masyarakat, ide pemerintahan, maupun praktik
politik. Dengan demikian, secara umum politik konservatif mendukung sesuatu
dianggap telah mapan. Pendukung politik konservatif umumnya puas dengan
status quo dalam pemerintahan dan menolak prinsip-prinsip liberalisme dan
demokrasi serta ide-ide progresif tentang masyarakat yang selalu berubah.
Marcus
Mietzner, pakar politik Indonesia dari Australia, dalam tulisannya Stagnasi
Demokratik Indonesia: Elite Konservatif Vs Masyarakat Sipil (2014), melihat
bahwa faksi konservatif di kalangan elite sedang berusaha keras untuk
menghentikan proses reformasi demokrasi. Elemen konservatif berusaha
mendapatkan kembali keistimewaan-keistimewaan yang pernah mereka miliki pada
masa lalu ketimbang bergandengan tangan dengan masyarakat pendukung
demokrasi.
Para
elite ini tidak hanya muncul dalam sosok aparat negara, militer, pengusaha,
operator politik, dan kekuatan yang pernah berjaya di zaman Orde Baru HM
Soeharto, tapi juga pada sosok petinggi-petinggi parpol pascaruntuhnya
pemerintahan otoritarian, birokrat di pemerintahan, dan para pemuka
organisasi keagamaan arus utama, serta militan.
Bagian
penting dari pendapat Marcus Mietzner ini ialah kaitan oligarki politik
dengan para pemuka organisasi keagamaan arus utama dan militan. Kombinasi
keduanya menjelaskan kemunculan gerakan Islam militan yang masif belakangan
ini. Namun, relasi antara elite politik oligarki dan gerakan Islam militan
yang bergerak di luar sistem politik formal, tidak lagi menjadi alat politik
oligarki lama semata, tapi sudah memberikan kepemimpinan politik dalam wacana
dan mobilisasi massa dalam parlemen jalanan.
Para
oligarki lama yang dulu tampak sebagai ‘bos’ itu kini harus mempertimbangkan
para pemimpin Islam politik yang bergerak di luar politik formal sebagai
mitra politik strategis. Pada titik inilah kesimpulan Marcus menjadi penting,
telah terjadi semacam simbiosis antara oligarki politik dan organisasi
keagamaan arus utama dan militan.
Jejak konservatisme
politik
Jejak
konservatisme politik yang sistematis, terorganisasi, dan masif antara
oligarki politik dan kelompok ormas keagamaan radikal dan politis mulai
tampak bentuknya yang nyata selama pertarungan Pilpres Juli 2014. Namun,
bentuk awal konservatifisme itu sudah mulai muncul dalam pertarungan Pilkada
DKI Jakarta 2012, ketika pasangan Fauzi Bowo-Nara atau Foke-Nara melawan
pasangan Jokowi-Ahok. Wacana SARA dimunculkan kepada Jokowi dan Ahok yang
Tiongkok dan nonmuslim.
Pilkada
DKI Jakarta 2012 menjadi penanda awal konservatifisme politik yang menyeret
isu SARA telah menjadi wacana pertarungan politik di antara para elite di RI.
Akselerasi isu SARA dan bahaya komunis/PKI menjadi semakin brutal dan terbuka
dalam pertarungan Pilpres 2014. Menurut Politicawave, situs yang menjaring
percakapan di media sosial, pasangan Jokowi-JK lebih banyak menjadi sasaran
kampanye hitam dengan persentase 94,9% dan 5,1% kampanye negatif. Sementara
kampanye hitam bagi pasangan Prabowo-Hatta lebih sedikit, yaitu 13,5%,
sementara kampanye negatifnya mencapai 86,5% (http://www.bbc.co.uk/2014/07).
Serangan
paling utama pada Jokowi bukanlah pada program-program selama menjabat
sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta. Dalam ruang pertarungan program,
Jokowi sulit dikalahkan karena hampir semua program yang ditawarkan sebagian
besar pernah dipraktikkan dan mendapatkan respons positif dari publik. Dalam
ruang ‘programatik’ Jokowi lebih unggul, serangan ke arah Jokowi diarahkan ke
isu bahaya komunis dan PKI serta sentimen SARA.
Operator-operator
politik cyber army di media sosial dan tabloid Obor Rakyat mulai memasuki
arena paling brutal dan berbahaya, yaitu perang kotor dengan menyasar pada
penghancuran sosok personal Jokowi dan rentan diprovokasi menjadi konflik
horizontal. Fondasi wacana perang kotor ini dilakukan dengan memproduksi dan
menyebarkan wacana utama meliputi: (1) histeria bahaya komunis atau PKI; (2)
sentimen anti-Tiongkok ; dan (3) sentimen anti-Islam.
Propaganda hitam
Motor
utama propaganda sistematis ini dilakukan di media sosial, situs-situs Islam
radikal, dan paling utama ialah melalui tabloid Obor Rakyat yang di duga
dicetak jutaan eksemplar. Obor Rakyat merupakan bentuk ‘propaganda hitam’
yang serius, terorganisasi, dan berbiaya besar dengan menggunakan format
jurnalistik berupa tabloid 16 halaman yang distribusikan gratis ke
masjid-masjid dan pesantren-pesantren mayoritas di Jawa.
Pada
edisi pertama, 5-11 Mei 2014, termuat laporan utama berjudul Capres Boneka, dengan
gambar Jokowi sedang mencium tangan Megawati di halaman muka. Pada edisi itu
juga hadir beragam artikel dengan judul-judul yang provokatif dan mendorong
kebencian terhadap umat Kristen. Sebut saja, judul 184 Caleg Nonmuslim PDIP
untuk Kursi DPR dan Ibu-Ibu, belum Jadi Presiden Udah Bohongin Rakyat.
Selama
pilpres, upaya adu domba dengan mengatasnamakan agama antara Jokowi dan umat
Islam juga marak. Isu ini berawal dari fitnah bahwa Jokowi ialah orang
Kristen dan didukung orang Kristen untuk melakukan kristenisasi. Fitnah ini
beredar melalui media sosial dan media online kaum ‘kanan radikal’. Namun,
isu kristenisasi ini gagal total memprovokasi konflik horizontal karena
keterlibatan ormas Islam moderat yang mendukung Jokowi dan tokoh-tokoh Islam
untuk menentang kampanye kotor tersebut.
Bahkan,
perdebatan ide Revolusi Mental Jokowi yang bermula dari artikel Jokowi di
sebuah koran nasional, tidak dilawan dengan konsep tandingan atau kritik yang
konseptual, tetapi dimasukkan propaganda hitam ‘bahaya komunis’. Isu ini
cepat digoreng di berbagai media sosial dan situs anti-Jokowi dengan
mengatakan istilah Revolusi Mental yang pertama kali dipopulerkan Bapak
Sosialis-Komunis Dunia, Karl Marx. Istilah Revolusi Mental juga dihubungkan
dengan Partai Komunis Cina (PKC) dan pimpinan PKI, DN Aidit.
Kini,
dengan makin kuatnya posisi politik Presiden Jokowi, baik di pemerintahan,
parpol, maupun DPR, membuat oposisi menjadi tidak menggigit dan lemah. Karena
itu, ‘memaksakan’ konsesi politik melalui ‘politik formal’ di parlemen dan
pemerintahan yang makin kuat, sulit dilakukan. Soliditas pemerintahan Jokowi
secara politik serta kepuasan publik yang makin meningkat, membuat
lawan-lawan politik Jokowi kembali menciptakan amunisi serangan baru melalui
isu tradisional dan kampanye hitam ala Obor Rakyat yang menemukan momentum
ketika Ahok dijadikan tersangka dalam kasus penistaan agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar