Rabu, 11 Januari 2017

Utopia Pendidikan Ramah Anak

Utopia Pendidikan Ramah Anak
Nanang Martono ;  Dosen Sosiologi Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman; Doktor Sosiologi Pendidikan Universite de Lyon 2, Prancis
                                           MEDIA INDONESIA, 10 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MASALAH anak sampai saat ini masih menjadi pusat perhatian masyarakat dunia. Dalam upaya pemenuhan hak anak akan pendidikan layak, mereka masih mengalami diskriminasi dan marginalisasi. Posisi anak dalam praktik pendidikan di masyarakat lebih sering diposisikan sebagai objek daripada subjek pendidikan yang aktif. Mereka masih sering menjadi korban.

Ada banyak hal yang menjadi perhatian dunia terkait dengan masalah anak. Kehidupan sosial di masyarakat seolah belum menjadi tempat yang ramah bagi mereka. Bahkan, keluarga sebagai lingkungan pertama bagi mereka juga berpotensi menjadikan anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Faktor ekonomi sering dituding sebagai biang keladi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Anak ialah pihak yang sangat lemah sehingga mereka rentan diposisikan sebagai korban amarah orangtua.

Sekolah sebagai benteng

Sekolah sebagai lingkungan sekunder dalam proses sosialisasi anak diharapkan mampu menjadi tempat yang memberikan kebahagiaan dan kenyamanan bagi mereka. Sekolah seharusnya menjadi tempat berlangsungnya proses pendidikan yang ramah anak. Di sekolah, anak harus bebas dari tindakan kekerasan, dan mampu menjadikan mereka sebagai individu yang otonom dan mandiri.

Pada awal 2015, Mendikbud Anies Baswedan pernah mencanangkan program Sahabat Kemendikbud. Dengan meluncurkan program ini, Mendikbud ingin mengurangi berbagai risiko kecelakaan yang dihadapi setiap pelajar ketika menuntut ilmu, dengan mengajak warga masyarakat memberikan laporan ketika menemui hal-hal yang membahayakan. Untuk memfasilitasi ini, Kemendikbud pun membuka situs pelaporan bernama http://sahabat.kemdikbud.go.id./.

Beberapa waktu kemudian, bertepatan dengan Hari Ibu 2015, Kemendikbud di bawah kendali Anies Baswedan meluncurkan laman Sahabat Keluarga, dengan alamat http://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id./. Laman tersebut berisi dongeng, lagu wajib, lagu daerah, profil keluarga hebat, dan profil sekolah-sekolah inspiratif. Selain itu, laman tersebut juga menyediakan forum diskusi bagi masyarakat untuk berdiskusi mengenai problem pendidikan anak dalam keluarga.

Kemudian pada akhir Januari 2016, Kemendikbud kembali membuat gebrakan positif dengan meluncurkan Program Sekolah Aman. Program ini diikuti dengan peluncuran laman http://sekolahaman.kemdikbud.go.id./. Melalui program sekolah aman, Mendikbud berusaha mewujudkan suasana sekolah yang aman, bebas dari tindak kekerasan, pelecehan, perpeloncoan, atau berbagai bentuk kekerasan lain yang terjadi di sekolah.

Kebijakan Mendikbud Anies Baswedan cenderung memaknai pencegahan kekerasan terhadap anak secara fisik semata. Padahal, kita tidak dapat menghindarkan diri dari fakta bahwa dalam kenyataannya anak juga menjadi korban ‘keke­rasan nonfisik’. Contoh sederhana, anak bodoh dipandang sebagai aib. Alih-alih menjadikan si anak menjadi anak genius, banyak orangtua memaksanya mengikuti les ini dan itu setiap hari tanpa memedulikan kebutuhan, keinginan, serta kapasitas anak. Ini ialah bentuk keegoisan orangtua (Martono, 2015).

‘Pemaksaan’ ini tidak hanya dilakukan keluarga. Secara tidak langsung, negara juga melakukan hal yang sama. Negara menggunakan kurikulum sekolah untuk mewujudkan ambisinya terhadap anak. Kurikulum tidak dirancang dengan memperhatikan kemampuan, keberagaman kondisi sosial, dan kebutuhan anak.

Anak usia SD kelas 1 dipaksa mempelajari banyak mata pelajaran. Jumlah mata pelajaran berbanding lurus dengan beban buku pelajaran yang harus mereka bawa dan baca. Akibatnya, hampir setiap hari mereka harus ‘memanggul’ tas sekolah yang penuh dengan buku-buku pelajaran.

Objektivikasi anak dalam relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan juga dapat ditemukan dalam muatan atau substansi mata pelajaran. Banyak buku pelajaran disusun dengan tidak memperhatikan kemampuan anak: menggunakan bahasa dan kata-kata yang sulit dipahami anak atau tidak sesuai dengan daya nalar anak, yakni memaparkan materi yang sangat padat, serta menggunakan tulisan yang sangat kecil.

Secara tidak langsung, sistem pendidikan di sekolah ini juga telah merampas waktu bermain anak. Bermain, sejatinya ialah sarana mereka melakukan sosialisasi secara intensif dengan teman sebaya. Akan tetapi, sekolah justru memaksa anak berlama-lama fokus pada pelajaran yang melelahkan.

Pendidikan kapitalistik

Inilah sebuah cermin bahwa praktik pendidikan yang terjadi di sekolah ialah praktik pendidikan yang kapitalistik. Marx (Anyon, 2011), sosiolog Jerman, menyebutkan bahwa pendidikan di sekolah sebenarnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan para kapitalis. Kondisi sekolah-sekolah tidak ramah anak sebenarnya ialah imbas pendidikan yang kapitalistik. Anak harus me­nguasai banyak pengetahuan yang dibutuhkan dunia kerja.

Nilai-nilai yang dianut kapitalis juga disosialisasikan di lingkungan sekolah. Sebut saja nilai ‘kompetisi’ yang selalu menjadi jargon di banyak sekolah. Ideologi liberal menggunakan kompetisi sebagai mekanisme yang mampu memotivasi setiap sekolah untuk maju menjadi sekolah berkualitas. Alhasil, semua sekolah berusaha memenangi kompetisi dengan menggunakan anak atau siswa sebagai alat utamanya.

Keberhasilan anak diklaim sebagai keberhasilan sekolah yang mampu menaikkan pamor atau kredibilitasnya. Sementara, semua siswa dipaksa saling berkompetisi, yakni mereka dituntut memiliki kemampuan yang sama tanpa memedulikan kondisi sosial ekonomi siswa yang beragam. Prestasi siswa ‘dijual’ sebagai alat promosi sekolah. Kita dapat menebak siapa yang mampu memenangi kompetisi tersebut. Bourdieu & Passeron (1977) meyakini bahwa hanya siswa kelas atas yang mampu memenanginya, sedangkan siswa kelas bawah sulit mewujudkan impian mereka memenangi kompetisi tersebut. Ini disebabkan anak kelas atas memiliki banyak modal ekonomi, budaya, serta sosial, yang sulit dimiliki anak dari kelas bawah.

Anak kehilangan otonominya sehingga tidak dapat berkembang sesuai dengan potensi atau kemampuannya. Mereka harus ‘bermain peran’ sesuai skenario sekolah dan negara. Keunikan yang dimiliki anak pun tercerabut. Sekolah tidak lagi menjadi lembaga yang mengakomodasi keunikan dan keberagaman potensi setiap individu. Anak pun menjadi objek kekuasaan orangtua dan sekolah.

Praktik pendidikan yang mengedepankan ideologi kapitalisme cenderung merugikan kelompok tertentu yang tidak memiliki ‘modal’ dan lemah. Mereka terus menjadi objek kekuasaan yang menghapus otonominya sebagai individu. Itulah beberapa hal yang perlu menjadi perhatian ketika pemerintah ingin mewujudkan pendidikan ramah anak. Anak bukan hanya korban kekerasan fisik. Mereka juga menjadi korban kekerasan simbolis (meminjam istilah Bourdieu) yang dilakukan secara tidak sadar, dan mereka ‘secara sukarela’ memosisikan diri sebagai korban. Mereka tidak menyadari bahwa dirinya ialah korban sistem sosial yang tidak berpihak pada mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar