Utopia
Pendidikan Ramah Anak
Nanang Martono ; Dosen Sosiologi Pendidikan Universitas
Jenderal Soedirman; Doktor Sosiologi Pendidikan Universite de Lyon 2, Prancis
|
MEDIA INDONESIA,
10 Januari 2017
MASALAH
anak sampai saat ini masih menjadi pusat perhatian masyarakat dunia. Dalam
upaya pemenuhan hak anak akan pendidikan layak, mereka masih mengalami
diskriminasi dan marginalisasi. Posisi anak dalam praktik pendidikan di
masyarakat lebih sering diposisikan sebagai objek daripada subjek pendidikan
yang aktif. Mereka masih sering menjadi korban.
Ada
banyak hal yang menjadi perhatian dunia terkait dengan masalah anak.
Kehidupan sosial di masyarakat seolah belum menjadi tempat yang ramah bagi
mereka. Bahkan, keluarga sebagai lingkungan pertama bagi mereka juga
berpotensi menjadikan anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.
Faktor ekonomi sering dituding sebagai biang keladi terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga. Anak ialah pihak yang sangat lemah sehingga mereka rentan
diposisikan sebagai korban amarah orangtua.
Sekolah sebagai benteng
Sekolah
sebagai lingkungan sekunder dalam proses sosialisasi anak diharapkan mampu
menjadi tempat yang memberikan kebahagiaan dan kenyamanan bagi mereka.
Sekolah seharusnya menjadi tempat berlangsungnya proses pendidikan yang ramah
anak. Di sekolah, anak harus bebas dari tindakan kekerasan, dan mampu
menjadikan mereka sebagai individu yang otonom dan mandiri.
Pada
awal 2015, Mendikbud Anies Baswedan pernah mencanangkan program Sahabat
Kemendikbud. Dengan meluncurkan program ini, Mendikbud ingin mengurangi
berbagai risiko kecelakaan yang dihadapi setiap pelajar ketika menuntut ilmu,
dengan mengajak warga masyarakat memberikan laporan ketika menemui hal-hal
yang membahayakan. Untuk memfasilitasi ini, Kemendikbud pun membuka situs
pelaporan bernama http://sahabat.kemdikbud.go.id./.
Beberapa
waktu kemudian, bertepatan dengan Hari Ibu 2015, Kemendikbud di bawah kendali
Anies Baswedan meluncurkan laman Sahabat Keluarga, dengan alamat
http://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id./. Laman tersebut berisi dongeng, lagu
wajib, lagu daerah, profil keluarga hebat, dan profil sekolah-sekolah
inspiratif. Selain itu, laman tersebut juga menyediakan forum diskusi bagi
masyarakat untuk berdiskusi mengenai problem pendidikan anak dalam keluarga.
Kemudian
pada akhir Januari 2016, Kemendikbud kembali membuat gebrakan positif dengan
meluncurkan Program Sekolah Aman. Program ini diikuti dengan peluncuran laman
http://sekolahaman.kemdikbud.go.id./. Melalui program sekolah aman, Mendikbud
berusaha mewujudkan suasana sekolah yang aman, bebas dari tindak kekerasan,
pelecehan, perpeloncoan, atau berbagai bentuk kekerasan lain yang terjadi di
sekolah.
Kebijakan
Mendikbud Anies Baswedan cenderung memaknai pencegahan kekerasan terhadap
anak secara fisik semata. Padahal, kita tidak dapat menghindarkan diri dari
fakta bahwa dalam kenyataannya anak juga menjadi korban ‘kekerasan
nonfisik’. Contoh sederhana, anak bodoh dipandang sebagai aib. Alih-alih
menjadikan si anak menjadi anak genius, banyak orangtua memaksanya mengikuti
les ini dan itu setiap hari tanpa memedulikan kebutuhan, keinginan, serta
kapasitas anak. Ini ialah bentuk keegoisan orangtua (Martono, 2015).
‘Pemaksaan’
ini tidak hanya dilakukan keluarga. Secara tidak langsung, negara juga
melakukan hal yang sama. Negara menggunakan kurikulum sekolah untuk
mewujudkan ambisinya terhadap anak. Kurikulum tidak dirancang dengan
memperhatikan kemampuan, keberagaman kondisi sosial, dan kebutuhan anak.
Anak
usia SD kelas 1 dipaksa mempelajari banyak mata pelajaran. Jumlah mata
pelajaran berbanding lurus dengan beban buku pelajaran yang harus mereka bawa
dan baca. Akibatnya, hampir setiap hari mereka harus ‘memanggul’ tas sekolah
yang penuh dengan buku-buku pelajaran.
Objektivikasi
anak dalam relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan juga dapat ditemukan dalam
muatan atau substansi mata pelajaran. Banyak buku pelajaran disusun dengan
tidak memperhatikan kemampuan anak: menggunakan bahasa dan kata-kata yang
sulit dipahami anak atau tidak sesuai dengan daya nalar anak, yakni
memaparkan materi yang sangat padat, serta menggunakan tulisan yang sangat
kecil.
Secara
tidak langsung, sistem pendidikan di sekolah ini juga telah merampas waktu
bermain anak. Bermain, sejatinya ialah sarana mereka melakukan sosialisasi
secara intensif dengan teman sebaya. Akan tetapi, sekolah justru memaksa anak
berlama-lama fokus pada pelajaran yang melelahkan.
Pendidikan kapitalistik
Inilah
sebuah cermin bahwa praktik pendidikan yang terjadi di sekolah ialah praktik pendidikan
yang kapitalistik. Marx (Anyon, 2011), sosiolog Jerman, menyebutkan bahwa
pendidikan di sekolah sebenarnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan para
kapitalis. Kondisi sekolah-sekolah tidak ramah anak sebenarnya ialah imbas
pendidikan yang kapitalistik. Anak harus menguasai banyak pengetahuan yang
dibutuhkan dunia kerja.
Nilai-nilai
yang dianut kapitalis juga disosialisasikan di lingkungan sekolah. Sebut saja
nilai ‘kompetisi’ yang selalu menjadi jargon di banyak sekolah. Ideologi
liberal menggunakan kompetisi sebagai mekanisme yang mampu memotivasi setiap
sekolah untuk maju menjadi sekolah berkualitas. Alhasil, semua sekolah
berusaha memenangi kompetisi dengan menggunakan anak atau siswa sebagai alat
utamanya.
Keberhasilan
anak diklaim sebagai keberhasilan sekolah yang mampu menaikkan pamor atau
kredibilitasnya. Sementara, semua siswa dipaksa saling berkompetisi, yakni
mereka dituntut memiliki kemampuan yang sama tanpa memedulikan kondisi sosial
ekonomi siswa yang beragam. Prestasi siswa ‘dijual’ sebagai alat promosi
sekolah. Kita dapat menebak siapa yang mampu memenangi kompetisi tersebut.
Bourdieu & Passeron (1977) meyakini bahwa hanya siswa kelas atas yang
mampu memenanginya, sedangkan siswa kelas bawah sulit mewujudkan impian
mereka memenangi kompetisi tersebut. Ini disebabkan anak kelas atas memiliki
banyak modal ekonomi, budaya, serta sosial, yang sulit dimiliki anak dari
kelas bawah.
Anak
kehilangan otonominya sehingga tidak dapat berkembang sesuai dengan potensi
atau kemampuannya. Mereka harus ‘bermain peran’ sesuai skenario sekolah dan
negara. Keunikan yang dimiliki anak pun tercerabut. Sekolah tidak lagi
menjadi lembaga yang mengakomodasi keunikan dan keberagaman potensi setiap
individu. Anak pun menjadi objek kekuasaan orangtua dan sekolah.
Praktik
pendidikan yang mengedepankan ideologi kapitalisme cenderung merugikan
kelompok tertentu yang tidak memiliki ‘modal’ dan lemah. Mereka terus menjadi
objek kekuasaan yang menghapus otonominya sebagai individu. Itulah beberapa
hal yang perlu menjadi perhatian ketika pemerintah ingin mewujudkan
pendidikan ramah anak. Anak bukan hanya korban kekerasan fisik. Mereka juga
menjadi korban kekerasan simbolis (meminjam istilah Bourdieu) yang dilakukan
secara tidak sadar, dan mereka ‘secara sukarela’ memosisikan diri sebagai
korban. Mereka tidak menyadari bahwa dirinya ialah korban sistem sosial yang
tidak berpihak pada mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar