Pro
dan Kontra Ormas Asing
Despan Heryansyah ; Mahasiswa Program Doktor
Fakultas Hukum UII Yogyakarta; Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi
(PSHK) Fakultas Hukum UII
|
KOMPAS, 11 Januari
2017
Akhir-akhir
ini publik tengah diramaikan oleh berita diperbolehkannya orang asing
mendirikan organisasi kemasyarakatan alias ormas di Indonesia. Berita ini
mencuat setelah disahkannya PP No 59/2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan
yang Didirikan oleh Warga Negara Asing yang merupakan aturan pelaksana dari
UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Jadi, sebenarnya secara
normatif, ormas yang didirikan oleh warga negara asing ini telah ada sejak
tahun 2013, tetapi baru hangat setelah dibuatkan PP-nya oleh Presiden Joko
Widodo.
Keberadaan
ormas asing ini menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang kontra setidaknya
beralasan jika ormas asing diperbolehkan, dikhawatirkan akan dimanfaatkan
untuk kegiatan-kegiatan yang mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan merugikan masyarakat. Kekhawatiran ini sejatinya tidak
perlu terjadi jika kita memahami esensi UU No 17/2013 ini secara menyeluruh.
Selain itu, baik secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, keberadaan
organisasi asing di Indonesia diakui.
Secara
filosofis, jika kita membaca sejarah perumusan sila-sila dalam Pancasila,
makna dari sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab"-dalam
istilah Soekarno disebut "Internasionalisme"-adalah bahwa sebagai
bagian dari dunia internasional, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengakui
derajat dan martabat kemanusiaan secara keseluruhan tanpa membedakan
kewarganegaraannya. Setiap manusia tidak boleh dibedakan berdasarkan suku,
ras, agama, ataupun golongannya. Mereka dipandang sebagai manusia dan
dihormati nilai-nilai kemanusiaannya.
Secara
sosiologis, keberadaan ormas asing ini dibutuhkan. Sebab, dengan menjadi
ormas yang resmi terdaftar pada negara akan lebih mudah mengendalikannya.
Jika terjadi hal-hal yang mencurigakan, dengan mudah negara dapat
menelusurinya.
Secara
yuridis, dalam beberapa huruf di Pasal 28, khususnya Pasal 28E Ayat (3)
disebutkan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat." Klausa "setiap orang" di atas
menandakan bahwa yang dimaksud bukan hanya warga negara Indonesia, melainkan
semua orang, tanpa terkecuali warga negara asing. Jika yang dimaksud adalah
hanya warga negara Indonesia, klausa yang digunakan adalah "setiap warga
negara".
Selain
itu, kalau kita membaca UU No 17/2013 secara lebih rinci, keberadaan ormas
asing ini sangat terbatas sifatnya. Misalnya dalam Pasal 52 dijelaskan dengan
detail mengenai larangan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh ormas asing,
seperti kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
mengganggu keutuhan NKRI, kegiatan intelijen, dan kegiatan politik.
Lalu,
dalam Pasal 47 Ayat (2) huruf d disebutkan pula bahwa salah satu kepengurusan
dari ormas asing ini, baik ketua, sekretaris, maupun bendahara dijabat oleh
warga negara Indonesia. Kedua ketentuan ini sesungguhnya sudah sangat
membatasi ruang gerak ormas asing agar tidak melakukan hal-hal yang
dikhawatirkan sebelumnya. Justru ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi
Pemerintah Indonesia untuk lebih meningkatkan kinerja intelijen negara.
Warga
negara asli Indonesia sendiri banyak yang berdomisili di negara asing untuk
berbagai urusan. Sebagai bentuk solidaritas sebuah bangsa, mereka tentu
membutuhkan organisasi untuk mengakomodasi aspirasi-aspirasi yang mereka miliki. Kita tentu tidak setuju jika ruang
gerak mereka dibatasi dengan begitu ketat oleh negara di mana mereka tinggal.
Dengan demikian, begitupun sebaliknya, negara kita tidak boleh membatasi hak
warga negara asing yang sejak semula sudah dijamin dalam konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar