Indonesia
Siapa Punya?
Haedar Nashir ; Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020
|
REPUBLIKA, 27 November
2016
Siapa
sesungguhnya pemilik Indonesia? Di negeri ini, tentu tak satu pihak mana pun
berhak menepuk dada sebagai paling berdarah Merah Putih. Mengklaim diri
sebagai pewaris dan penjaga utama Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945. Indonesia milik semua untuk
semua.
Sangat
gegabah jika ada orang menyatakan, bahwa Indonesia belum teruji kebinekaannya
jika minoritas belum menjadi seorang Presiden. Lebih-lebih ketika ujaran itu
diungkapkan dengan nada angkuh, seolah ukuran keindonesiaan ialah kedigdayaan
diri dalam singgasana kuasa. Sebuah kesombongan yang dapat menjadi duri tajam
di tubuh negeri ini.
Manakala
ada segelintir orang ingin menguasai Indonesia dengan hasrat kuasa berlebih.
Ingatlah pesan Bung Karno, "Negara Republik Indonesia ini bukan milik
sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan
milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang
sampai Merauke!". Jangan ada pihak yang ambisius untuk memiliki
Indonesia dengan nafsu chauvisnis.
Bercerminlah
pada jiwa kenegarwan para pendiri bangsa. Tatkala Ki Bagus Hadikusumo,
menyampaikan gagasan Islam sebagai dasar negara pada sisang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Peraiapan Kemerdekaan (BPUPK), Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
ini dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah "seorang bangsa
Indonesia tulen" dan "sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita
Indonesia Raya dan merdeka".
Pengorbanan umat
Umat
Islam meski mayoritas dan kuat keyakinan keagamaaanya, sungguh mencitai dan
menjadi tonggak penyangga keindonesiaan yang setia. Umat juga sangat toleran
dan menjunjungtinggi kebhinekaan. Keislamannya tidak opisisi biner dengan
keindonesiaan dan kemajemukan bangsa, bahkan menjadi perekat utama. Islam
menjadi kekuatan integrasi nasional, ujar Prof Koentjaraningrat.
Merupakan
suatu ironi dan melukai hati manakala umat Islam dianggap sebagai golongan
ekslusif, yang hanya mementingkan urusannya sendiri. Keislaman juga bukan
tidak berseberangan dengan keindonesiaan. Jika ada yang berlogika, "Tak
perlulah bicara Islam, sebutlah Indonesia". Pandangan itu justru
beraroma ekslusif, karena mengandung makna penegasian Islam di negerinya
sendiri.
Tak
perlu ada Islamofobia di negeri muslim terbesar ini, karena watak umatnya
juga toleran dan menjadi penyangga utama Indonesia. Ketika terdapat arus
aspirasi umat Islam untuk memperoleh hak dan keadilan, sungguh bukankah
primordialisme. Aspirasi itu ekspresi yang wajar, lebih-lebih salurannya
demokratis dan konstitusional. Jangan pandang Islam di negeri ini sebagai
ancaman keindonesiaan dengan segenap pilarnya.
Pandangan
negatif itu tentu sangat tidak beralasan. Perjuangan umat Islam melawan
penjajah beratus tahun sarat heroisme. Islam dan umat Ialam sangat ditakuti
Penjajah, hingga memggunakan berbagai muslihat yang licik. Para tokoh seperti
Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol harus menyerah karena ditipu. Snouck
Hurgronje bahkan harus mengaku Muslim untuk dapat masuk ke Saudi Arabia guna
mempelajari Islam untuk menaklukkan perlawanan umat Islam.
Ketika
pergerakan nasional awal abad keduapuluh menggunakan cara-cara modern, umat
Islam pun berdiri di garda depan. Adalah Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang
memelopori pergerakan Islam modern untuk melawan penjajah dan mengubah nasib
rakyat Indonesia yang terbelakang menuju gerbang kemerdekaan dan kemajuan.
Lahirnya Hizbul Wathan atau Pasukan Tanah Air tahun 1918 salah satu contoh
kepeloporan bela bangsa kala itu, sebagai wujud jihad fisabilillah.
Tatkala
Indonesia diambang retak satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dalam
peristiwa Piagam Jakarta, umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus Hadikusumo
dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar, meski harus
berkorban luar biasa. Padahal Piagam Jakarta kala itu merupakan Gentlement
Agreement semua golongan, yang pelopor utamanya ialah Soekarno.
Para
tokoh Islam yaitu Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso,
dan Abdul Wahid Hasyim, sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut
mewakili golongan Islam harus merelakan tujuh kata "Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti
menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pengorbanan keyakinan Islam itu,
meski ada unsur siasat tidak fair, dilakukan para wakil umat Islam demi
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kurang
apalagi sebenarnya pengorbanan dan komitmen umat Islam Indonesia untuk bangsa
dan negaranya. Jika mau memaksakan kehendak sebagai mayoritas pasti terjadi.
Lebih-lebih tokoh sentral seperti Sukarno menjadi pemrakarsa dan sangat
mendukung Piagam Jakarta itu, hingga pada 5 Juli 1959 dalam Dekrit Presiden,
konsisten menjadikan Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD 1945. Itulah hadiah
terbesar umat Islam untuk Indonesia, ujar Menteri Agama Alamsjah Ratu
Perwiranegara.
Namun
ibarat ibu yang melahirkan anak, kasih sayangnya melampaui luasnya samudra.
Meski laksana anak gemuk yang memperoleh baju sempit karena semua diberi
pakaian berukuran sama, umat Islam tetap selalu memberi tak pernah meminta
lebih. Apalagi tatkala ada segolongan kecil menguasai kue nasional yang
melampaui takaran, umat Islam tetap tak marah meski hatinya terluka dan
dirinya marjinal dari pusaran utama Indonesia.
Urat
sabar umat Islam juga cukup lebar dan tidak putus. Tatkala hak-hak dasarnya
kurang terpenuhi, karena satu dan banyak sebab, yang menjadikan dirinya
terpinggir dalam sejumlah hal, pengkhidmatannya untuk negara tak kenal
lekang. Bahkan ketika denyut nadi keagamaannya tersakiti dan menunut
keadilan, malah dipandang sebagai ancaman bagi kebhinekaan. Kebhinekaan
terkesan milik sekelompok orang yang bersuara lantang di ruang publik.
Nilai luhur utama
Keindonesiaan
itu luhur dan bercita-cita. Bung Hatta berkata: "Indonesia merdeka tidak
ada gunanya bagi kita, apabila kita tidak sanggup untuk mempergunakannya
memenuhi cita-cita rakyat kita, yakni hidup bahagia dan makmur dalam
pengertian jasmani maupun rohani". Hatta menarik keindonesiaan pada
cita-cita dan perwujudannya dalam dunia nyata. Manakala ada segolongan kecil
yang bahagia dan berkemakmuran, sementara mayoritas nestapa maka kondisi
timpang ini harus diluruskan dan dipecahkan secara kolektif. Negara atau
pemerintah wajib hadir dan tidak boleh abai atas disparitas nasional ini.
Pemilik
Indonesia juga bukan mereka yang setiap hari lantang memekikkan kata merdeka.
Bukan pula karena sering merayakan segala kegiatan simbolik berlabel
Indonesia, kebhinekaan, dan jargon-jargon bernuansa merah-putih lainnya.
Semua baju luar itu sekadar atribut dan verbalisme, belum membuktikan
keindonesiaan yang esesni dan sejati. Keindonesiaan itu harus bersemi dalam
jiwa, alam pikiran, sikap, dan tindakan yang luhur dan utama sebagaimana
disemaikan oleh para pendiri bangsa tahun 1945 secara otentik. Keindonesiaan
yang membumi.
Maka
dalam keindonesiaan, termasuk di dalamnya kebhinekaan, sesungguhnya ada
nilai-nilai utama yang mesti dijadikan pedoman dan ditegakkan oleh seluruh
komponen bangsa. Tumpuannya pada nilai-nilai fundamental yang hidup subur
dalam bumi rakyat Indonesia, sebutlah Agama dan Pancasila. Agama di negeri
ini bahkan telah menjadi jiwa kebangsaan dan mendapat tempat konstitusional
sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang-tubuhnya pasal 29.
Ingatlah kemerdekaan Indonesia itu berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Agama
juga telah hidup mendarahdaging dalam jatidiri bangsa jauh sebelum negara
Indonesia terbentuk.
Agama
harus memperoleh tempat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Agama apapun tidak boleh disepelekan, diabaikan, dan dipinggirkan
dari denyut nadi kehidupan bangsa dan negara. Sekali agama dan perasaan
beragama dicederai, dinodai, dan dinista oleh perangai yang semberono maka
keindonesiaan dan kebhinekaan pun terlukai. Ada niat atau tidak diniati,
tindakan yang berakibat pada pencederaan keyakinan dan rasa keberagamaan
tetaplah bermasalah dan muaranya menodai keberagamaan.
Namun
bagi umat beragama, tentu agama pun harus menjadi nilai luhur transendental
yang mencerahkan jiwa, hati, pikiran, sikap, dan tindakan bagi para
pemeluknya. Sehingga dengan agama para umatnya hidup berketuhanan,
berperikemanusiaan, dan berkeadaban mulia. Setiap insan beragama menjadi shaleh
secara individual dan sosial, serta melahirkan sosok-sosok teladan yang
otentik. Jujur dan tidak menjualbelikan urusan agama. Beragama dan
menyuarakan ajaran damai pun bukanlah retorika di pentas forum dan wacana
megah, tetapi harus dalam perbuatan otentik. Para tokohnya pun lurus hati dan
tidak seperti burung merak. Agama harus benar-benar menjadi rahmat bagi
semesta.
Nilai
luhur lain dalam hidup berbangsa ialah kebersamaan yang otentik atau genuin
sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan kebudayaan bangsa. Tidak boleh
segelintir orang menguasai Indonesia, yang menyebabkan hilangnya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat. Tidak boleh seseorang atau sekelompok orang
karena merasa digdaya lantas berbuat sekehendak dirinya, yang menyebkan
kehidupan berbangsa secara kolektif menjadi retak berantakan. Apalagi
manakala perangai ugal-ugalan itu mengatasnamakan keindonesiaan, kebhinekaan,
dan Pancasila.
Jika
semua merasa memiliki Indonesia maka belajarlah hidup dalam kebersamaan yang
otentik dan tidak egoistik. Perlu saling membangun keadaban luhur dalam
berbangsa dan bernegara. Mereka yang besar jangan menguasai, yang kecil pun
tidak anarki. Semua harus saling berbagi, saling memahami, serta menjamin hak
hidup yang damai dan saling memajukan dengan jiwa tulus tanpa pura-pura.
"Mayoritas melindungi minoritas, minoritas menghormati dan menghargai
mayoritas," tutur Presiden Joko Widodo. Lalu, untuk apa menguasai
Indonesia dengan hasrat angkara? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar