Strategi
Baru untuk Pancasila
Subkhi Ridho ; Aktivis
Muda Muhammadiyah; Mengajar Civic Education dan Komunikasi Politik di Jurusan
Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Ia juga pegiat
pluralisme, multikulturalisme, dan demokrasi;
Ketua Lembaga Studi Islam &
Politik (LSIP), Yogyakarta
|
KOMPAS.COM, 07 Januari
2017
Setiap
bangsa memiliki jalan ideologi yang menjadi acuan fundamental dan falsafah
moral kebangsaan dalam menjalani hidup bernegara. Indonesia beruntung memiliki
Pancasila.
Pancasila
adalah sebuah kesepakatan bersama para pendiri bangsa. Terdiri dari prinsip
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyarawah, dan Keadilan Sosial kemudian
menjadi panduan negara-bangsa kita yang sangat beragam secara agama, kepercayaan,
politik maupun etnis, bahasa, ras dan status sosial.
Sayangnya,
kebhinekaan masih berhenti menjadi jargon yang indah diucapkan, atau malah
kerap dipolitisasi untuk dijadikan komoditas konflik untuk kepentingan
ekonomi-politik tertentu.
Padahal
sesungguhnya kekuatan kita sebagai bangsa justru terletak pada kebhinekaan
dan cara mengelola kebhinekaan ini.
Lupa Pancasila
Sejak
era reformasi muncul serentetan kasus bom yang dilakukan oleh kelompok
radikal yang terjadi dalam kurun awal tahun 2000-an hingga akhir 2016. Di
saat yang sama kesenjangan antara kelompok masyarakat elite dan masyarakat
kecil semakin tinggi. Solidaritas sosial melemah.
Globalisasi
mengantarkan tak hanya intensifikasi dan massifikasi barang-barang impor,
tapi juga pemikiran serta gaya hidup baru yang datang menggunakan teknologi
informasi era internet.
Kebijakan
ekonomi terbuka pro investasi kerap meminggirkan masyarakat lokal jika tidak
dibarengi dengan penguatan komitmen dan regulasi negara untuk terus berpihak
pada ekonomi rakyat kecil.
Persoalan-persoalan
sosial-ekonomi dan sosial-politik baru bermunculan dan tentunya telah
menyedot perhatian publik.
Tak
sedikit yang mampu mengubah pandangan dan perilaku masyarakat menjadi sebuah
gegar budaya yang jika tidak diantisipasi dapat berdampak pada semakin
menurunnya ikatan-ikatan sosial kebangsaan dan akibatnya memunculkan konflik.
Dalam
hal ini maka peran dan kapasitas negara harus ditingkatkan untuk mewujudkan
perlindungan, keadilan, persatuan dan kesejahteraan rakyat.
Negara
sebagaimana di atas bekerja harus berdasarkan fondasi yang kokoh yang akan
menjadi sebuah kerangka yang legitimate untuk mereka (rezim pemerintah) dalam
bekerja.
Fondasi
itu tentunya adalah Pancasila. Negara bertanggung jawab untuk menjalankan,
mensosialisasikan dan memastikan Pancasila bisa terlaksana secara konsisten
dan kreatif dalam masyarakat yang dinamis.
Baru-baru
ini Presiden Joko Widodo berencana untuk membentuk Unit Kerja Presiden
Pemantapan Ideologi Pancasila (UKPPIP).
Disebutkan,
tugas UKPPIP adalah “membantu Presiden dalam mengoordinasikan,
mensinkronisasikan, dan mengendalikan pelaksanaan pembinaan ideologi
Pancasila, termasuk pembinaan mental yang diselenggarakan oleh penyelenggara
negara secara menyeluruh dan berkelanjutan”.
Hal
itu disampaikan oleh penggagasnya, Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar
Pandjaitan, yang juga Menteri Koordinator Bidang Maritim, dan seorang pemikir
kebangsaan, Dr Yudi Latif.
Luhut
sebelumnya pernah menginisiasi sejumlah pelatihan kebangsaan bagi anak-anak
muda, bernama Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP), bersama dengan tokoh
Muhammadiyah almarhum Dr Muslim Abdurrahman dan Ketua Muslimat NU, Khofifah
Indar Parawansa.
Sementara
Yudi Latif seorang pemikir Islam dan kebangsaan alumni Gontor dan ANU
Australia yang dianggap mewarisi pemikiran-pemikiran intelektual Islam
modernis, almarhum Nurcholis Madjid.
Soft power
Bangsa
ini perlu belajar banyak kepada bangsa-bangsa lain dalam konteks penanaman
ideologi bangsa. Negara se-demokratis dan liberal seperti Amerika Serikat pun
harus berupaya keras menjalankan strategi khusus untuk menanamkan ideologi
dan cita-cita kebangsaan yang menopang keberadaan negara-bangsa tersebut.
Untuk
mewujudkan itu semua, kita dapat melihat melalui strategi budaya dalam hal
ini adalah industri film yang mereka majukan sebagai sebuah ‘soft power’.
Hollywood
membuat industri perfilman senantiasa dengan menghadirkan kebanggaan sebagai
warga Amerika yang demokratis, toleran, namun juga heroik dan patriotis.
Bendera
Amerika kerap dimunculkan, kepatuhan terhadap regulasi dan aparat kepolisian
ataupun alat negara. Posisi presiden kerap menjadi subjek yang dimuliakan dan
menjadi teladan.
Film
telah menyatukan dan melambungkan Amerika serta menjadi sebuah alat hegemoni
tersendiri yang efektif melebihi batas-batas wilayah Amerika sendiri.
India
dan Tiongkok pun menggunakan strategi budaya untuk menyatukan bangsanya yang
juga sangat plural. Mereka menggunakan strategi visual dan industri film
serta seni pertunjukan.
Indonesia
bisa mencontoh strategi tersebut. Artinya, kemajemukan bukan diatasi dengan
cara-cara represif ataupun konfliktual. Namun bisa dilakukan dengan strategi
budaya.
Dalam
soal budaya ini kita semua tentunya sepakat bahwa bangsa ini sangat kaya
dengan kebudayaan dan berbagai ragamnya.
UKPPIP
Ide
pembentukan UKPPIP merupakan pengejawantahan dari penanaman ideologi
Pancasila yang merupakan konsensus nasional negara-bangsa Indonesia.
Terlalu
gegabah jika memandang ide tersebut itu seperti mengembalikan ke zaman Orde
Baru melalui model penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila).
Sosialisasi
Pancasila kala itu dijalankan oleh Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila disingkat BP-7.
Hemat
saya apa yang hendak dilakukan oleh
UKPPIP ini bagian dari respons sejarah kita secara kreatif dan dewasa dalam
menjawab kegelisahan sebagai bangsa terkait memudarnya nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yudi
Latif selaku Tim Perumus UKPPIP pernah menyatakan bahwa: “di dalam proses
pengembangan Pancasila dalam gaya baru ini, kita ingin supaya lebih
inklusif”.
Dikatakan,
unit kerja ini akan mengajak keikutsertaan semua elemen bangsa termasuk
budayawan, tokoh agama, seniman, wartawan, tokoh adat, dan semua komunitas
agar Pancasila bisa menjadi titik temu nilai bersama.
Sangat
berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada saat berlaku Penataran P4 maupun
adanya BP-7 yang sangat sentralistik, militeristik dan kaku. Peran dan suara
masyarakat sipil yang kritis hampir dipastikan diabaikan bahkan diposisikan
sebagai ‘musuh Pancasila’.
Saya
yakin, UKPPIP yang lahir di era pemerintahan Presiden Joko Widodo ini akan
memainkan peran dan strategi yang berbeda.
Penggunaan
pendekatan yang lebih demokratis, partisipatoris, solutif dan kreatif melalui
berbagai metode, seperti strategi kebudayaan dan sosial-ekonomi, akan menjadi
upaya kunci untuk mengawal dan memperkuat Pancasila kita.
Sesungguhya,
target sosialiasi, pertama-tama bukan hanya masyarakat. Tapi secara lebih
khusus adalah para elite kelas atas dan kelas menengah dalam masyarakat yang
sesungguhnya perilaku politik dan sosial-ekonominya kerap berlawanan secara
nyata-nyata dengan nilai-nilai Pancasila.
Sejarah
kita mengajarkan, rakyat sesungguhnya tidak pernah berdosa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar