Pluralitas
Itu Sunatullah
(Wawancara)
Haedar Nashir ; Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020
|
DETIKNEWS, 02 September
2015
Cuma
butuh 10 menit bagi 13 anggota formatur untuk memilih Haedar Nashir sebagai
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020. Sekitar 2.000
peserta muktamar Muhammadiyah di Makassar pada 5 Agustus lalu secara aklamasi
menyetujui pilihan tersebut. Proses pemilihan berjalan tertib, lancar, tanpa
gejolak.
Di
lingkungan Muhammadiyah, pria kelahiran Bandung, 25 Februari 1958, itu memang
bukan orang baru. Kariernya merangkak dari bawah, sejak menjadi Ketua I
Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada 1983 hingga Ketua PP
Muhammadiyah selama dua periode, 2005-2015.
Tak
cuma aktif berorganisasi, Haedar Nashir juga giat menulis buku dan artikel di
surat kabar. Sedikitnya 10 buku tentang Muhammadiyah telah dirilisnya.
"Ensiklopedi berjalan Muhammadiyah", begitu ia pernah dijuluki
Hajriyanto Y. Thohari, mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Perpaduan
antara tertib organisasi, intelektualitas, dan gaya komunikasinya yang santun
menjadi modal kuat bagi pengembangan Muhammadiyah ke depan.
Bagaimana
dia akan mewujudkan konsep Muhammadiyah yang berkemajuan seperti amanat
muktamar, bagaimana pula pandangannya tentang berbagai isu kebangsaan? Simak
petikan perbincangan dengan Haedar Nashir, yang berlangsung pada Kamis, 20
Agustus lalu, di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, berikut ini:
Perserikatan
Muhammadiyah mengusung konsep Islam berkemajuan. Bagaimana Anda menjelaskan
konsep tersebut?
Islam
yang berkemajuan, pertama, secara teologi, kita merujuk pada esensi ajaran
Islam, yakni dinul hadharah sebagai agama yang membangun peradaban. Banyak
sekali ayat-ayat dalam Al-Quran maupun hadis nabi yang merujuk pada
pesan-pesan Islam yang berkemajuan, misalkan surat al-Hashr ayat 18. Atau
surat ar-Ra'd ayat ke-11, yang mengajarkan Tuhan tidak akan mengubah nasib
sebuah kaum sehingga kaum itu yang mengubah dirinya sendiri. Ayat pertama
dalam Al-Quran, "Iqra", sesungguhnya menjadi napas utama orang
untuk membaca, mengkaji, memikirkan. Itu bukan hanya tentang teks kitab suci,
tapi juga alam semesta.
Kedua,
dalam konteks sejarah, Islam berkemajuan itu digoreskan dalam tinta perjalanan
nabi selama 23 tahun di Mekah dan Madinah. Atau dikenal dari masyarakat
jahiliah menjadi tamadun atau masyarakat yang beradab. Sejarah Islam setelah
itu selama 6 abad lamanya mengukir sejarah kemajuan, sehingga disebut era
kejayaan Islam.
Dari
semua itulah yang dikonstruksi ulang menjadi pandangan Muhammadiyah sebagai
Islam berkemajuan. Itu menerjemahkan nilai-nilai Islam berkemajuan dalam
aksi-aksi perubahan yang membawa reformisme dalam alam pikiran masyarakat dan
tradisional menjadi masyarakat yang maju dalam bidang pendidikan, dari
tradisional menjadi pendidikan Islam modern. Begitu juga di bidang kesehatan
dan pelayanan sosial serta mempelopori gerakan perempuan Islam yang
berkemajuan, yakni Aisyiyah.
Seperti
apa Anda menerjemahkan konsep tersebut dalam program Muhammadiyah lima tahun
mendatang?
Pertama,
kita ingin melihat problem apa sekarang yang paling krusial di tubuh umat
Islam. Kita lihat ekonomi dan kultur. Ekonomi umat Islam, walaupun mayoritas
secara jumlah, tapi lemah. Muhammadiyah mendorong lima tahun ke depan menjadi
kekuatan ekonomi yang relatif bisa dinamis dan menjadi kekuatan mandiri.
Kedua, secara kultur, kita harus memperkuat basis perubahan sosial dengan
gerakan dakwah komunitas dengan nilai Islam yang dinamis dan membawa
kemajuan.
Tantangan
untuk mewujudkan konsep tersebut?
Kerja
membangun komunitas akan berhadapan dengan kendala struktural, misalkan
politik. Politik itu melahirkan orientasi hidup yang pragmatis, seperti
misalnya pilkada. Ini akan melatih masyarakat yang menerabas, apa saja
diterima, tidak perlu dipedulikan bahwa itu benar, baik, dan patut seperti
transaksi politik uang. Kemudian masyarakat orientasinya menang-kalah. Dalam
konteks ekonomi, tidak mudah bagi kekuatan agama untuk hadir menjadi seperti
yang terjadi di Eropa Barat dengan spirit kapitalisme yang berbasis pada
etika Protestan. Karena, pada saat yang sama, masyarakat dihadapkan pada
orientasi struktural, lebih suka menjadi pegawai negeri ketimbang jadi
wirausahawan. Kami punya perangkat institusional yang relatif kuat, yakni
amal-amal usaha, lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan sosial, dan mulai
langkah-langkah bisnis yang mulai dibangun di beberapa daerah.
Anda
juga mewanti-wanti agar kader Muhammadiyah mengedepankan toleransi pada pihak
yang tak sepaham?
Jadi
salah satu ciri dari pandangan Islam yang berkemajuan (adalah) membangun
relasi sosial yang damai tanpa kekerasan, mengedepankan kesamaan tanpa
diskriminasi, dan hubungan-hubungan sosial yang harmonis, di mana nilai
ketuhanan juga menjadi landasan pada nilai kemanusiaan. Bagaimana mengedepankan
nilai-nilai Islam yang substantif, kemudian penuh toleransi, perdamaian,
menghargai perbedaan, bahkan ada dialog Sunni dan Syiah, semuanya menjadi
komitmen Muhammadiyah. Kami yakin di tubuh bangsa ini, termasuk di kalangan
umat Islam yang beragam, sesungguhnya orientasi untuk harmoni, damai, dan
menghargai perbedaan itu modal dasarnya kuat.
Usaha
untuk membendung kelompok takfiri masuk rekomendasi muktamar. Anda melihat
ada kecenderungan kelompok ini membesar?
Kita
ingin mengajak kekuatan-kekuatan agama untuk tidak memproduksi
pandangan-pandangan yang sifatnya takfiri, yang cenderung sesat-menyesatkan.
Sekali takfiri itu dikembangluaskan, ruang publik keagamaan akan semakin
pengap. Akhirnya mungkin bukan hanya faktor agama yang bisa jadi pemicu, tapi
ketika terjadi pemicu, yang lain akan meledak. Di sini kita harus mendorong
paham dan pandangan keagamaan yang sifatnya esensi. Hal-hal yang rukun
syariah tetap menjadi khazanah bagi tiap orang untuk yakin pada tiap
agamanya.
Mengapa
kelompok ini muncul?
Mungkin
karena ingin pandangan keagamaannya yang serbapuritan itu menjadi alam
pikiran banyak orang. Karena semangatnya seperti itu, toleransi menjadi
rendah. Yakin terhadap keyakinan agama itu mutlak bagi siapa pun karena agama
itu menanamkan keyakinan yang mutlak. Tetapi, pada saat yang sama, ketika
menyangkut perbedaan paham, dia harus puya prinsip lagi yang kedua bahwa
toleransi itu menjadi penting. Jangan sampai keyakinan yang mutlak kepada
diri sendiri lalu mempersempit toleransi. Dia perlu menerjemahkan ulang
tafsir-tafsir keagamaannya yang berlaku pada dirinya, juga relasi dalam
kehidupan dengan orang lain perlu diperkokoh toleransi.
Kedua,
menciptakan habitat. Orang yang hidup dalam suatu lingkungan homogen biasanya
tingkat toleransinya rendah. Kultur heterogen ini harus diciptakan dalam
ruang kehidupan berbangsa, antaragama, dengan memperkaya dialog dan belajar
saling silaturahmi.
Sikap
senang menyesatkan ini bertentangan dengan watak Islam yang menurut Anda
toleran, penuh kasih sayang, dan santun....
Betul.
Jadi banyak sekali dalam Al-Quran prinsip-prinsip yang, di satu pihak, dalam
hal akidah, beribadah itu orang Islam harus kokoh. Tapi, secara bersamaan,
dalam hubungan muamalah duniawi, dia harus longgar, jembar, terbuka banyak
jalan dan jendela untuk melihat realitas kehidupan yang berpelangi.
Muhammadiyah punya institusi edukasi untuk mendewasakan umat belajar toleran,
damai, cinta kasih, dan saling berbagi bahkan dengan mereka yang berbeda
agama sekalipun. Kita kan satu turunan dari Nabi Adam. Satu nasab ini tidak
boleh menghilangkan rasa kebersamaan biarpun berbeda pandangan keagamaan
bahkan berbeda agama.
Anda
tak khawatir dituding liberal dengan pemikiran-pemikiran semacam itu?
Insya
Allah tidak, karena itu keputusan organisasi. Dalam muktamar satu abad yang
lalu tentang pluralitas keagamaan, Muhammadiyah sudah mengeluarkan pandangan
bahwa Muhammadiyah mengakui pluralitas keagamaan sebagai sunatullah, dan
siapa yang menolaknya, berlawanan dengan sunatullah. Tapi Muhammadiyah
menolak pandangan pluralitas keagamaan yang mengarah pada pluralisme yang
sifatnya sinkretis, sintetisme, dan merelatifkan kebenaran agama.
Jihad
konstitusi masih akan berlanjut di bawah kepemimpinan Anda?
Itu
sudah menjadi keputusan organisasi juga, sudah ada bukunya yang didasarkan
pada Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa dan Indonesia
Berkemajuan--Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna.
Sempat
muncul wacana agar Muhammadiyah mendirikan partai politik?
Memang
muncul, ada dua pengusul yang mengarah bahwa pentingnya Muhammadiyah berpikir
tentang partai politik. Tetapi, di ujung pleno terakhir, itu tidak jadi
keputusan. Muhammadiyah tetap di garis khitah Ujung Pandang tahun 1971, yang
menegaskan tidak ada hubungan organisatoris dan afiliasi dengan partai
politik mana pun, termasuk mendirikan partai politik. Khitah Denpasar 2002
juga berisi pentingnya partai politik yang ada untuk menjalankan fungsi
politiknya yang demokratis dan berperadaban dalam kehidupan politik.
Anda
pribadi dalam buku Perilaku Politik Elite Muhammadiyah Tahun 2000 memang
tidak bersepakat mendekatkan Muhammadiyah dengan parpol, ya?
Saya
hanya menerjemahkan pikiran-pikiran khitah itu dalam aktualisasi
Muhammadiyah. Jika Muhammadiyah dekat dengan partai A, nanti partai B, C, dan
D menjauh. Lalu, ketika partai yang didukung berbenturan politik dengan
partai lain dan kelompok lain, Muhammadiyah akan terbawa dampaknya. Pada saat
yang sama, kader politik Muhammadiyah ada di berbagai tempat sehingga, jika
menjurus ke satu partai, terjadi kader Muhammadiyah di partai lain tidak
terayomi. Tapi kita memandang perjuangan politik itu tetap penting.
Bagaimana
Anda menyikapi usulan dari kalangan muda Muhammadiyah agar jenazah koruptor
tidak disalatkan?
Di
muktamar itu Muhammadiyah memang tidak memasukkan agenda fatwa. Karena, ada
institusi khusus yang membahas masalah keagamaan, itu disebut munas tarjih,
satu level di bawah muktamar. Menyangkut hukumnya, kita akan bawa ke sidang
tarjih. Tetapi dimensi yang harus dibaca dari usulan tersebut adalah tindakan
korupsi harus menjadi musuh bersama. Bahkan harus menjadi dosa sosial yang
setiap orang lalu menjadi terkutuk karena itu. Ini sebenarnya pesan sosialnya
supaya ada rasa benci dari setiap orang pada korupsi dan koruptor.
Oh
ya, istri Anda juga kembali memimpin PP Aisyiyah. Duet ini sebuah keuntungan
atau beban tersendiri?
Kata
istri saya, itu muktamar takdir. Kita tidak pernah berpikir, tetapi Allah
menakdirkan begitu dan muktamirun juga tanpa direkayasa memberi mandat dan
amanat seperti itu. Selalu ada beban saat mengemban amanah, itu manusiawi.
Lebih baik kita berbeban-beban tetapi dengan sesuatu yang bermakna. Siapa
tahu kami berdua dengan tetap dalam koridor sistem bisa menunaikan amanah
dengan baik. Perjalanan hidup kami yang penting ketulusan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar