Kamis, 10 Desember 2015

Wakil Rakyat

Wakil Rakyat

Komaruddin Hidayat  ;  Mantan Ketua Panwaslu 2004;
Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
                                                      KOMPAS, 09 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berasal dari bahasa Arab, wakil artinya pribadi tepercaya tempat bersandar sehingga salah satu asma Allah adalah al-wakil. Ketika seorang beriman telah berjuang keras untuk meraih cita-citanya atau mengatasi problem hidupnya, dia disarankan untuk tawakal kepada Allah. Artinya, bersandar dan memercayakan semua usahanya kepada Allah sebagai pribadi terakhir yang tepercaya untuk menolong hidupnya.

Ketika kata wakil dilekatkan pada rakyat, lalu menjadi wakil rakyat, yaitu mereka yang duduk di DPR, diharapkan mereka merupakan jajaran sosok pribadi yang andal, tepercaya, tempat rakyat bersandar dan memercayakan problemnya untuk dibantu dicarikan solusinya. Jadi, anggota DPR adalah pejuang dan penolong rakyat dari berbagai problem yang mereka hadapi.

Dengan demikian, mereka yang duduk sebagai anggota DPR mesti memiliki pengetahuan luas dan dalam tentang problem kenegaraan dan kemasyarakatan. Mereka mesti memiliki integritas, kepedulian, dan kesiapan mental untuk berkorban demi memenuhi harapan rakyat yang telah memilihnya serta menjaga martabat lembaga DPR.

Kembali pada pengertian dasar serta fungsi wakil, mestinya yang duduk jadi anggota DPR adalah sosok-sosok yang terbaik budi pekertinya dan luas ilmunya, serta bertanggung jawab atas amanat yang diembannya. Sangat disayangkan banyak anggota DPR yang tidak memenuhi kriteria dasar itu. Banyak kalangan intelektual dan profesional sama sekali tidak merasa terwakili, sebaliknya memandang rendah bahkan risi kepada mereka.

Tentu ini lelucon politik yang tragis dan berakibat fatal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dicari siapa yang paling bertanggung jawab atas kekonyolan ini, pertama-tama tentu partai politik karena parpollah yang menjaring dan mengajukan anggota DPR. Mereka digaji dari uang rakyat dan negara, tetapi sebagian justru membuat rakyat susah dan kekayaan negara dicuri dan digerogoti.

Jabatan anggota DPR itu sarat muatan moral dan intelektual, bukan seperti pekerja industri yang mengandalkan keahlian teknis yang produk akhirnya dilempar ke pasar. Tugas utama DPR adalah bersama pemerintah berjuang bagaimana mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat serta membangun kehidupan berbangsa yang beradab. Tugas menyusun UU, anggaran, dan mengawasi jalannya pemerintahan, semua harus bermuara pada peningkatan harkat hidup rakyat yang telah memberikan mandat dan harapan kepada mereka.

Jadi, sesungguhnya posisi anggota DPR sangat mulia karena itu mereka layak dipanggil "Yang Mulia Wakil Rakyat". Rakyat adalah majikan dari pemerintah karena sesungguhnya pemerintah bekerja memenuhi dan melayani kebutuhan untuk rakyat. Adapun lembaga DPR adalah institusi jelmaan aspirasi dan kedaulatan rakyat. Untuk bisa duduk di kursi terhormat dan tepercaya itu sungguh tidak mudah. Mesti melalui proses seleksi panjang dan mahal mengingat tidak sembarang orang pantas dan memenuhi kualifikasi moral-intelektual memikul keterwakilan kedaulatan rakyat.

Pengkhianat kepada rakyat

Pertanyaannya, apakah kualitas dan perilaku DPR sesuai dengan harapan rakyat yang telah memercayakan dan melimpahkan kedaulatan mereka kepada anggota DPR yang mulia itu? Mengikuti pemberitaan selama ini, justru banyak dijumpai pengkhianat kepada rakyat.

Dulu, pada awal kemerdekaan, banyak wakil rakyat dari daerah yang pergi ke Jakarta dibekali uang oleh konstituennya. Rakyat percaya dan menitipkan problem agar diperjuangkan melalui lembaga DPR sehingga mereka dengan sukarela mengumpulkan uang untuk bekal para wakilnya. Anggota DPR kala itu dilihat sebagai pejuang rakyat.

Namun, seiring jalannya waktu, alih-alih demokrasi tambah matang dan dewasa, yang terjadi justru calon wakil rakyat dengan berbagai cara yang tak terhormat membeli suara rakyat. Rakyat dibodohi dengan iming-iming uang, bukan dengan keunggulan moralitas dan intelektualitas.

Jadi, kalaupun setelah duduk di kursi DPR banyak yang terlibat korupsi, itu hanya kelanjutan saja karena sejak hulu banyak anggota DPR yang lolos semata karena mengandalkan uang. Modus paling mutakhir adalah membeli saksi-saksi di tingkat perhitungan suara. Soal memengaruhi saksi dengan mengucuri uang memang sebagian anggota DPR sudah cukup pintar. Terlebih anggota DPR yang sudah berulang kali lolos. Dia bisa jadi mentor bagi temannya bagaimana mengakali hukum dan peraturan.

Nurani dan akal sehat? Saya khawatir pertanyaan itu tidak populer. Itu hanya retorika pemanis wacana. Profil anggota DPR sekarang banyak yang sebelumnya pengusaha. Tentu ini sesuatu yang logis karena untuk membeli suara rakyat hanya pengusaha yang lincah mencari uang. Sosok aktivis-intelektual umumnya hanya kaya gagasan, tetapi miskin uang. Akankah proses seleksi dan perekrutan anggota DPR yang hasilnya sangat mengecewakan ini akan diteruskan? Tentu kembali kepada anggota DPR yang mulia itu, sebab mereka yang punya kewenangan mengubah dan menyusun UU Pemilu dan kepartaian.

Namun, jika mereka berpikir praktik yang telah berjalan selama ini mereka pandang sudah bagus, maka pilihan rakyat ada dua: cabut mandat yang telah mereka berikan, atau rakyat tak akan peduli pada pemilu dan pilkada dengan segala konsekuensinya bagi kehidupan berbangsa. Rakyat tak akan percaya lagi pada partai politik yang tak ubahnya hanya sarana berebut kekuasaan dan uang negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar