Wakil Rakyat
Komaruddin Hidayat ; Mantan Ketua Panwaslu 2004;
Guru Besar Fakultas Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah
|
KOMPAS,
09 Desember 2015
Berasal dari bahasa
Arab, wakil artinya pribadi tepercaya tempat bersandar sehingga salah satu asma
Allah adalah al-wakil. Ketika seorang beriman telah berjuang keras untuk
meraih cita-citanya atau mengatasi problem hidupnya, dia disarankan untuk
tawakal kepada Allah. Artinya, bersandar dan memercayakan semua usahanya
kepada Allah sebagai pribadi terakhir yang tepercaya untuk menolong hidupnya.
Ketika kata wakil
dilekatkan pada rakyat, lalu menjadi wakil rakyat, yaitu mereka yang duduk di
DPR, diharapkan mereka merupakan jajaran sosok pribadi yang andal, tepercaya,
tempat rakyat bersandar dan memercayakan problemnya untuk dibantu dicarikan
solusinya. Jadi, anggota DPR adalah pejuang dan penolong rakyat dari berbagai
problem yang mereka hadapi.
Dengan demikian,
mereka yang duduk sebagai anggota DPR mesti memiliki pengetahuan luas dan
dalam tentang problem kenegaraan dan kemasyarakatan. Mereka mesti memiliki
integritas, kepedulian, dan kesiapan mental untuk berkorban demi memenuhi
harapan rakyat yang telah memilihnya serta menjaga martabat lembaga DPR.
Kembali pada
pengertian dasar serta fungsi wakil, mestinya yang duduk jadi anggota DPR
adalah sosok-sosok yang terbaik budi pekertinya dan luas ilmunya, serta
bertanggung jawab atas amanat yang diembannya. Sangat disayangkan banyak
anggota DPR yang tidak memenuhi kriteria dasar itu. Banyak kalangan intelektual
dan profesional sama sekali tidak merasa terwakili, sebaliknya memandang
rendah bahkan risi kepada mereka.
Tentu ini lelucon
politik yang tragis dan berakibat fatal dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Jika dicari siapa yang paling bertanggung jawab atas kekonyolan
ini, pertama-tama tentu partai politik karena parpollah yang menjaring dan
mengajukan anggota DPR. Mereka digaji dari uang rakyat dan negara, tetapi
sebagian justru membuat rakyat susah dan kekayaan negara dicuri dan
digerogoti.
Jabatan anggota DPR
itu sarat muatan moral dan intelektual, bukan seperti pekerja industri yang
mengandalkan keahlian teknis yang produk akhirnya dilempar ke pasar. Tugas
utama DPR adalah bersama pemerintah berjuang bagaimana mencerdaskan dan
menyejahterakan rakyat serta membangun kehidupan berbangsa yang beradab.
Tugas menyusun UU, anggaran, dan mengawasi jalannya pemerintahan, semua harus
bermuara pada peningkatan harkat hidup rakyat yang telah memberikan mandat
dan harapan kepada mereka.
Jadi, sesungguhnya posisi
anggota DPR sangat mulia karena itu mereka layak dipanggil "Yang Mulia
Wakil Rakyat". Rakyat adalah majikan dari pemerintah karena sesungguhnya
pemerintah bekerja memenuhi dan melayani kebutuhan untuk rakyat. Adapun
lembaga DPR adalah institusi jelmaan aspirasi dan kedaulatan rakyat. Untuk
bisa duduk di kursi terhormat dan tepercaya itu sungguh tidak mudah. Mesti
melalui proses seleksi panjang dan mahal mengingat tidak sembarang orang
pantas dan memenuhi kualifikasi moral-intelektual memikul keterwakilan
kedaulatan rakyat.
Pengkhianat kepada rakyat
Pertanyaannya, apakah
kualitas dan perilaku DPR sesuai dengan harapan rakyat yang telah
memercayakan dan melimpahkan kedaulatan mereka kepada anggota DPR yang mulia
itu? Mengikuti pemberitaan selama ini, justru banyak dijumpai pengkhianat
kepada rakyat.
Dulu, pada awal
kemerdekaan, banyak wakil rakyat dari daerah yang pergi ke Jakarta dibekali
uang oleh konstituennya. Rakyat percaya dan menitipkan problem agar
diperjuangkan melalui lembaga DPR sehingga mereka dengan sukarela
mengumpulkan uang untuk bekal para wakilnya. Anggota DPR kala itu dilihat
sebagai pejuang rakyat.
Namun, seiring
jalannya waktu, alih-alih demokrasi tambah matang dan dewasa, yang terjadi
justru calon wakil rakyat dengan berbagai cara yang tak terhormat membeli
suara rakyat. Rakyat dibodohi dengan iming-iming uang, bukan dengan
keunggulan moralitas dan intelektualitas.
Jadi, kalaupun setelah
duduk di kursi DPR banyak yang terlibat korupsi, itu hanya kelanjutan saja
karena sejak hulu banyak anggota DPR yang lolos semata karena mengandalkan
uang. Modus paling mutakhir adalah membeli saksi-saksi di tingkat perhitungan
suara. Soal memengaruhi saksi dengan mengucuri uang memang sebagian anggota
DPR sudah cukup pintar. Terlebih anggota DPR yang sudah berulang kali lolos.
Dia bisa jadi mentor bagi temannya bagaimana mengakali hukum dan peraturan.
Nurani dan akal sehat?
Saya khawatir pertanyaan itu tidak populer. Itu hanya retorika pemanis
wacana. Profil anggota DPR sekarang banyak yang sebelumnya pengusaha. Tentu
ini sesuatu yang logis karena untuk membeli suara rakyat hanya pengusaha yang
lincah mencari uang. Sosok aktivis-intelektual umumnya hanya kaya gagasan,
tetapi miskin uang. Akankah proses seleksi dan perekrutan anggota DPR yang
hasilnya sangat mengecewakan ini akan diteruskan? Tentu kembali kepada
anggota DPR yang mulia itu, sebab mereka yang punya kewenangan mengubah dan
menyusun UU Pemilu dan kepartaian.
Namun, jika mereka
berpikir praktik yang telah berjalan selama ini mereka pandang sudah bagus,
maka pilihan rakyat ada dua: cabut mandat yang telah mereka berikan, atau
rakyat tak akan peduli pada pemilu dan pilkada dengan segala konsekuensinya
bagi kehidupan berbangsa. Rakyat tak akan percaya lagi pada partai politik
yang tak ubahnya hanya sarana berebut kekuasaan dan uang negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar