Kamis, 10 Desember 2015

Dekonstruksi Penutur Kasus Freeport

Dekonstruksi Penutur Kasus Freeport

Stanislaus Sandarupa  ;  Guru Besar Antropolinguistik;
KPS Linguistik S-3 Universitas Hasanuddin
                                                      KOMPAS, 09 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Selain kriteria undang-undang yang dipakai Mahkamah Kehormatan Dewan dalam persoalan etika yang melilit Ketua DPR Setya Novanto, menarik membahas masalah pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden serta soal saham untuk kelancaran perpanjangan kontrak PT Freeport dari sudut partisipasi dalam interaksi permainan peran-peran yang terbaca dalam teks artefak rekaman dan di persidangan.

Sejak abad ke-19, ilmu-ilmu sosial menekankan pentingnya melihat interaksi manusia dari sudut partisipasi. Konsep ini membantu kita menghubungkan aspek-aspek bahasa dengan pengalaman manusia, sumber-sumber bahan sekitar dan institusi sosial yang dibangun oleh praktik-praktik kebahasaan.

Partisipasi

E Goffman (1981) mengibaratkan kehidupan sebagai sebuah panggung. Dalam metafor dramaturgis ia mengidentifikasi penutur sebagai auktor yang memainkan peran persona sosial dan sudut pandang yang berbeda. Keberadaan kita sebagai makhluk sosial terbangun lewat berbicara, di mana kita mengasumsikan tipe status berbeda sehubungan dengan kata-kata kita dan kata-kata orang lain.

Untuk memperjelas peran-peran yang bermain, Goffman mendekonstruksi sisi penutur dan sisi pendengar. Yang pertama biasa disebut format produksi ujaran. Penutur tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya yang berbicara, tetapi kategori atau status yang di dalamnya terdapat tiga peran yang bermain. Peran animator, yaitu orang yang mengujarkan kata-kata untuk menyampaikan pesan; pengarang (author) yang bertanggung jawab atas seleksi kata-kata dan nada bicara; dan akhirnya prinsipal, yaitu orang atau institusi yang bertanggung jawab atas pesan dan kata-kata yang diucapkan (Goffman, 1981).

Dengan memakai teori ini mari kita membahas beberapa segmen teks berikut sebagai contoh (Kompas, 3/12). Format produksi ujaran dalam status penutur punya tiga animator: SN, MS, dan MR. MR yang menganimasi pembagian saham. MR: Kalau gua, gua bakal ngomong ke Pak Luhut, janganlah ambil 20%, ambillah 11% [untuk Presiden?], kasihlah JK 9%. Harus adil. Kalau ngak, ribut. Di sini MR dan bukan SN animator ujaran. Tetapi, SN menyambung: Iya. Sambil menunggu persidangan berikut, dalam hal ini ada dua kemungkinan: MR yang berperan sebagai pengarang dan prinsipal atau juga SN karena dia Ketua DPR?

Apalagi, dalam interaksi segi tiga, SN dan MR menyatu, seperti tampak di sini. SN: sekarang sudah digarap sama Bung Reza.... Saya tahu pak. Di sini SN memainkan peran animator dan pengarang, sedang MR prinsipal. Selanjutnya, SN: Kita happy, Pak, kalau Bung Reza yang mengatur. SN berperan sebagai animator sekaligus prinsipal. Sementara MR berperan sebagai pengarang. Dengan demikian, menyangkut pembagian saham, MR berperan sebagai animator sedangkan SN pengarang dan prinsipal.

Pembicaraan melampaui dunia luar interaksi dalam rekaman ketika terjadi pembahasan kekuasaan yang mendasari format produksi ujaran. Seperti kata SN: Saya sudah yakin itu karena Presiden sendiri kasih kode begitu dan itu berkali-kali. Yang urusan kita di DPR, itu kita ketemu segitiga. Pak Luhut, saya, dan Presiden. Akhirnya setuju.. Dalam segmen teks ini, SN hanya animator dan mungkin pengarang, tetapi yang jadi prinsipal adalah Presiden dan Pak Luhut.

Perkembangan

Sejak dua sidang MKD tampak adanya dua kubu yang berseteru tentang Freeport. Ada dua kategori status yang bermain, yaitu pelapor dan terlapor. Keduanya punya hubungan khusus dengan pembicaraan dalam rekaman yang sudah beredar. Dalam sidang terjadi perubahan dari status pelapor menjadi "pengadu".

Ahli sosiolinguistik, Yayah Bachria Mugnisjah, membolehkan setiap orang membuat pengaduan ke MKD. Katanya, "dapat" berarti tak dilarang. Sebagai tambahan, dengan diterimanya Sudirman Said dalam status pengadu, MKD memosisikan dia sebagai masyarakat biasa atau elite yang memainkan peran animator. Jadi, walau laporan itu berkop surat kementerian, dia berstatus bukan menteri, tetapi pengadu dengan peran animator masyarakat biasa. Ia jadi animator sekaligus pengarang dan kelompoknya, sedangkan prinsipal ialah institusi Kementerian ESDM, bahkan institusi kepresidenan.

Lebih dari itu muncul kelompok masyarakat yang turut mendukung dan memainkan peran prinsipal. Terpenuhilah syarat, misalnya, dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 Bab IV, Pasal 5, poin (1), Ayat c, yang memuat subyek masyarakat secara perseorangan atau kelompok sebagai status pengadu yang memainkan tiga peran sekaligus: animator, pengarang, dan prinsipal.

Dalam sidang MKD kedua, MS diterima sebagai saksi yang memainkan peran animator. Dialah yang merekam pembicaraan dan yang jadi prinsipalnya adalah PT Freeport, Jim Bob, dan Menteri ESDM. Seperti yang dikatakannya, dia tegak lurus dengan penanggung jawab sektor.

Yang jadi teradu adalah SN. Seperti yang sudah ditunjukkan di atas, SN memainkan berbagai peran. Sambil menunggu persidangan berikut, ada perkembangan menarik. Koalisi Merah Putih (KMP) dalam pertemuan di rumah Ketua Umum DPP Gerindra pada 20 November 2015 tetap konsisten mendukung dan berada di belakang Novanto. Golkar atau KMP berperan sebagai prinsipal. Dalam sidang MKD tercium aroma adanya dua kubu yang memainkan peran prinsipal. Pertanyaan prinsipal yang mendukung SN cenderung sangat kritis, tetapi sering keluar dari masalah substansi.

Dari contoh di atas, beberapa poin berikut perlu dipertimbangkan. Pertama, tidak perlu terlalu mempersoalkan apakah percakapan dalam rekaman itu biasa atau tidak. MS dalam sidang MKD sudah mengatakan bahwa percakapan itu biasa saja. Sifatnya tidak resmi, seperti rapat formal. Austin (1962) pernah mengontraskan penggunaan tuturan normal atau serius dengan yang dia sebut etiolated speech atau penggunaan tuturan parasit tidak serius. Namun, filsuf lain seperti Strawson membantahnya karena beda di antara keduanya sangat bisa dipersoalkan (Strawson, 1979). Bukankah keputusan formal didahului pembicaraan informal?

Kedua, kalau benar adanya kode-kode dari Presiden dan Menkopolhukam, seperti yang dianimasi SN, maka ini penanda terjadinya kekacauan dalam pembagian kekuasaan menyangkut format produksi ujaran. Artinya, ini perlu pembenahan.

Ketiga, keliru melihat orang-orang yang terlibat pembicaraan secara individualistis. Penutur, pelapor, pengadu, saksi, terlapor, dan teradu merupakan kategori-kategori yang melibatkan tiga peran yang dimainkan berbagai kelompok. Sanksi pelanggaran kode etik berkorelasi dengan format produksi ujaran. Bila seseorang hanya animator tentu sanksinya lebih ringan ketimbang animator dan pengarang. Sanksi terberat apabila seseorang animator, pengarang, dan sekaligus prinsipal, terutama menyangkut ujaran tentang saham dan pencatutan nama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar