Dekonstruksi Penutur Kasus Freeport
Stanislaus Sandarupa ; Guru Besar Antropolinguistik;
KPS Linguistik S-3 Universitas
Hasanuddin
|
KOMPAS,
09 Desember 2015
Selain kriteria
undang-undang yang dipakai Mahkamah Kehormatan Dewan dalam persoalan etika
yang melilit Ketua DPR Setya Novanto, menarik membahas masalah pencatutan
nama Presiden dan Wakil Presiden serta soal saham untuk kelancaran
perpanjangan kontrak PT Freeport dari sudut partisipasi dalam interaksi
permainan peran-peran yang terbaca dalam teks artefak rekaman dan di
persidangan.
Sejak abad ke-19,
ilmu-ilmu sosial menekankan pentingnya melihat interaksi manusia dari sudut
partisipasi. Konsep ini membantu kita menghubungkan aspek-aspek bahasa dengan
pengalaman manusia, sumber-sumber bahan sekitar dan institusi sosial yang
dibangun oleh praktik-praktik kebahasaan.
Partisipasi
E Goffman (1981)
mengibaratkan kehidupan sebagai sebuah panggung. Dalam metafor dramaturgis ia
mengidentifikasi penutur sebagai auktor yang memainkan peran persona sosial
dan sudut pandang yang berbeda. Keberadaan kita sebagai makhluk sosial
terbangun lewat berbicara, di mana kita mengasumsikan tipe status berbeda
sehubungan dengan kata-kata kita dan kata-kata orang lain.
Untuk memperjelas
peran-peran yang bermain, Goffman mendekonstruksi sisi penutur dan sisi
pendengar. Yang pertama biasa disebut format produksi ujaran. Penutur tidak
lagi dilihat sebagai satu-satunya yang berbicara, tetapi kategori atau status
yang di dalamnya terdapat tiga peran yang bermain. Peran animator, yaitu
orang yang mengujarkan kata-kata untuk menyampaikan pesan; pengarang (author) yang bertanggung jawab atas
seleksi kata-kata dan nada bicara; dan akhirnya prinsipal, yaitu orang atau
institusi yang bertanggung jawab atas pesan dan kata-kata yang diucapkan (Goffman, 1981).
Dengan memakai teori
ini mari kita membahas beberapa segmen teks berikut sebagai contoh (Kompas,
3/12). Format produksi ujaran dalam status penutur punya tiga animator: SN,
MS, dan MR. MR yang menganimasi pembagian saham. MR: Kalau gua, gua bakal
ngomong ke Pak Luhut, janganlah ambil 20%, ambillah 11% [untuk Presiden?],
kasihlah JK 9%. Harus adil. Kalau ngak, ribut. Di sini MR dan bukan SN
animator ujaran. Tetapi, SN menyambung: Iya. Sambil menunggu persidangan berikut,
dalam hal ini ada dua kemungkinan: MR yang berperan sebagai pengarang dan
prinsipal atau juga SN karena dia Ketua DPR?
Apalagi, dalam
interaksi segi tiga, SN dan MR menyatu, seperti tampak di sini. SN: sekarang
sudah digarap sama Bung Reza.... Saya tahu pak. Di sini SN memainkan peran
animator dan pengarang, sedang MR prinsipal. Selanjutnya, SN: Kita happy,
Pak, kalau Bung Reza yang mengatur. SN berperan sebagai animator sekaligus
prinsipal. Sementara MR berperan sebagai pengarang. Dengan demikian, menyangkut
pembagian saham, MR berperan sebagai animator sedangkan SN pengarang dan
prinsipal.
Pembicaraan melampaui
dunia luar interaksi dalam rekaman ketika terjadi pembahasan kekuasaan yang
mendasari format produksi ujaran. Seperti kata SN: Saya sudah yakin itu
karena Presiden sendiri kasih kode begitu dan itu berkali-kali. Yang urusan
kita di DPR, itu kita ketemu segitiga. Pak Luhut, saya, dan Presiden.
Akhirnya setuju.. Dalam segmen teks ini, SN hanya animator dan mungkin
pengarang, tetapi yang jadi prinsipal adalah Presiden dan Pak Luhut.
Perkembangan
Sejak dua sidang MKD
tampak adanya dua kubu yang berseteru tentang Freeport. Ada dua kategori
status yang bermain, yaitu pelapor dan terlapor. Keduanya punya hubungan
khusus dengan pembicaraan dalam rekaman yang sudah beredar. Dalam sidang
terjadi perubahan dari status pelapor menjadi "pengadu".
Ahli sosiolinguistik,
Yayah Bachria Mugnisjah, membolehkan setiap orang membuat pengaduan ke MKD.
Katanya, "dapat" berarti tak dilarang. Sebagai tambahan, dengan
diterimanya Sudirman Said dalam status pengadu, MKD memosisikan dia sebagai
masyarakat biasa atau elite yang memainkan peran animator. Jadi, walau
laporan itu berkop surat kementerian, dia berstatus bukan menteri, tetapi
pengadu dengan peran animator masyarakat biasa. Ia jadi animator sekaligus
pengarang dan kelompoknya, sedangkan prinsipal ialah institusi Kementerian
ESDM, bahkan institusi kepresidenan.
Lebih dari itu muncul
kelompok masyarakat yang turut mendukung dan memainkan peran prinsipal. Terpenuhilah
syarat, misalnya, dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 Bab IV, Pasal 5,
poin (1), Ayat c, yang memuat subyek masyarakat secara perseorangan atau
kelompok sebagai status pengadu yang memainkan tiga peran sekaligus:
animator, pengarang, dan prinsipal.
Dalam sidang MKD
kedua, MS diterima sebagai saksi yang memainkan peran animator. Dialah yang
merekam pembicaraan dan yang jadi prinsipalnya adalah PT Freeport, Jim Bob,
dan Menteri ESDM. Seperti yang dikatakannya, dia tegak lurus dengan
penanggung jawab sektor.
Yang jadi teradu
adalah SN. Seperti yang sudah ditunjukkan di atas, SN memainkan berbagai
peran. Sambil menunggu persidangan berikut, ada perkembangan menarik. Koalisi
Merah Putih (KMP) dalam pertemuan di rumah Ketua Umum DPP Gerindra pada 20
November 2015 tetap konsisten mendukung dan berada di belakang Novanto.
Golkar atau KMP berperan sebagai prinsipal. Dalam sidang MKD tercium aroma
adanya dua kubu yang memainkan peran prinsipal. Pertanyaan prinsipal yang
mendukung SN cenderung sangat kritis, tetapi sering keluar dari masalah
substansi.
Dari contoh di atas,
beberapa poin berikut perlu dipertimbangkan. Pertama, tidak perlu terlalu
mempersoalkan apakah percakapan dalam rekaman itu biasa atau tidak. MS dalam
sidang MKD sudah mengatakan bahwa percakapan itu biasa saja. Sifatnya tidak
resmi, seperti rapat formal. Austin (1962) pernah mengontraskan penggunaan
tuturan normal atau serius dengan yang dia sebut etiolated speech atau
penggunaan tuturan parasit tidak serius. Namun, filsuf lain seperti Strawson
membantahnya karena beda di antara keduanya sangat bisa dipersoalkan
(Strawson, 1979). Bukankah keputusan formal didahului pembicaraan informal?
Kedua, kalau benar
adanya kode-kode dari Presiden dan Menkopolhukam, seperti yang dianimasi SN,
maka ini penanda terjadinya kekacauan dalam pembagian kekuasaan menyangkut
format produksi ujaran. Artinya, ini perlu pembenahan.
Ketiga, keliru melihat
orang-orang yang terlibat pembicaraan secara individualistis. Penutur,
pelapor, pengadu, saksi, terlapor, dan teradu merupakan kategori-kategori
yang melibatkan tiga peran yang dimainkan berbagai kelompok. Sanksi
pelanggaran kode etik berkorelasi dengan format produksi ujaran. Bila
seseorang hanya animator tentu sanksinya lebih ringan ketimbang animator dan
pengarang. Sanksi terberat apabila seseorang animator, pengarang, dan
sekaligus prinsipal, terutama menyangkut ujaran tentang saham dan pencatutan
nama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar