Minggu, 13 Desember 2015

Tap MPR tentang Etika Pejabat

Tap MPR tentang Etika Pejabat

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
                                                KORAN SINDO, 12 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu persoalan besar yang kita hadapi untuk menegakkan supremasi hukum pada era Orde Baru (juga sampai sekarang) adalah terlepasnya dasar lahirnya hukum, yakni etika dan moral, dari hukum itu sendiri. Formalitas-prosedural dalam hukum sering dijadikan alat untuk menghindar dari sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang diyakini oleh public common sense telah terjadi. Banyak pejabat tinggi yang telah nyata-nyata melakukan pelanggaran masih berusaha melindungi dirinya dengan alasan prosedural hukum. Mereka membodohkan publik dengan mengatakan ”saya tidak bersalah, belum diputus bersalah oleh pengadilan, faktanya masih kabur, alat buktinya tidak sah, dan lain-lain”.

Mereka mengacaukan nilai etik dan prosedur yuridis. Pada masa lalu, banyak pejabat publik yang mempunyai indikasi kuat merampok uang rakyat melalui penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power atau detournement de pouvoir masih tenang-tenang saja dan ngotot untuk tetap menjadi pejabat.

Mereka bukan hanya tidak mau mundur dari jabatannya, tetapi lebih dari itu masih menyatakan dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun. Contohnya, ada pejabat tinggi yang melakukan penunjukan pengadaan barang dan jasa sampai ratusan miliar rupiah dan diketahui oleh publik sebagai penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam penunjukan tersebut terindikasi kuat ada kolusi dan korupsi karena penunjukannya tidak fair , harganya tidak wajar, dan melibatkan calo yang diduga kuat berfungsi sebagai kasir pencuci uang dari sang pejabat. Kala itu pejabat tinggi tersebut disorot secara besar-besaran oleh pers, diteriaki untuk mundur oleh masyarakat, tetapi sang pejabat mengatakan, ”Saya tidak bersalah, belum ada putusan pengadilan yang menyatakan saya bersalah, saya tidak akan mundur.”

Sang pejabat pun mengeluarkan dalil-dalil hukum, UU nomor sekian pasal sekian, PP nomor sekian tahun sekian, dan keppres nomor sekian tanggal sekian. Pejabat itu tetap tebal muka, tidak mau mundur, dan mencari-cari dalil hukum sesuai dengan pilihan sendiri. Dalil hukum yang dipergunakan aparat penegak hukum atau dikemukakan masyarakat bahwa sang pejabat itu melanggar hukum ditepis begitu saja oleh sang pejabat dengan masih menggunakan jabatannya sehingga pemeriksaan atas dirinya menjadi tidak lancar.

Sang pejabat itu lupa bahwa hukum bersumber dari moral dan etika. Hukum adalah formalisasi dari nilai-nilai moral dan etik. Jika nilai-nilai moral dan etik itu tidak terpenuhi oleh pasal-pasal yang resmi atau yang formal-prosedural di dalam hukum, maka nilai moral dan etik dalam jabatan haruslah lebih diutamakan. Mengapa? Karena sebenarnya hukum hanyalah peningkatan posisi dari nilai-nilai moral dan etika.

Praktisnya, hukum adalah ”alat” untuk memberi jalan bagi hidup moral dan etika. Seperti diketahui di dalam masyarakat hidup berbagai norma, yaitu norma keagamaan, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum. Hubungan antara norma hukum dan ketiga norma lain bersifat gradual, artinya hukum itu dibuat sebagai formalisasi (pemberlakuan secara resmi) tentang nilai-nilai moral dan etik yang bersumber dari ketiga norma tersebut.

Ini harus diartikan bahwa sejatinya moral dan etik berada di atas hukum. Namun dalam kenyataannya banyak orang yang menggunakan pasal-pasal hukum (formalitas-prosedural) untuk melanggar moral dan etika. Meski sudah melanggar moral dan etika, banyak orang menyatakan dirinya tidak bersalah hanya karena belum diputus bersalah oleh pengadilan.

Padahal pengadilan akan terhambat untuk menanganinya karena yang bersangkutan masih pejabat yang sering membentengi diri dengan jabatannya dan jaringan-jaringan politiknya. Pada masa lalu sangat banyak kasus seperti itu, yakni kasus yang meletakkan moral dan etika di bawah landasan formal-prosedural hukum.

Baik pejabat negara maupun pegawai negeri banyak yang menyelamatkan diri dari sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya dengan menggunakan pasal-pasal hukum yang tafsirnya dibuat dengan seenak sendiri, dilepas dari maksud substansialnya. Itulah sebabnya pada 2001, saat semangat reformasi masih agak murni, kita membuat produk hukum untuk menghadapi akal bulus para pejabat yang selalu berlindung di balik formalitas-prosedural hukum.

Pada 2001 MPR mengeluarkan Ketetapan No VI/ MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Di dalam Tap No VI/MPR/ 2001, Bab II butir 2, digariskan, ”... setiap pejabat dan elite politik ... siap untuk mundur dari jabatannya apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”

Selanjutnya pada Bab II butir 4 disebutkan juga, ”Etika ini meniscayakan..., menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.” Baik berdasar bunyi kalimat maupun berdasar latar belakang dilahirkannya Tap MPR tersebut terbaca dengan jelas bahwa moral dan etika ada atas hukum.

Jika moral publik sudah ”merasakan”, bahkan ”menggedor” bahwa seorang pejabat atau elite politik melakukan kesalahan, yang bersangkutan harus siap mundur tanpa boleh menggunakan jabatannya untuk memanipulasi hukum dan sukmanya. Tap No VI/MPR/2001 tersebut masih dinyatakan berlaku sampai sekarang oleh Tap No I/MPR/2003.

Di dalam UU No 12 Tahun 20011 Ketetapan MPR yang masih berlaku kedudukannya lebih tinggi daripada UU. Secara hierarkis Tap MPR berada di bawah UUD NRI Tahun 1945 tetapi berada di atas UU/Perppu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar