Tap MPR tentang Etika Pejabat
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 12 Desember 2015
Salah satu persoalan
besar yang kita hadapi untuk menegakkan supremasi hukum pada era Orde Baru
(juga sampai sekarang) adalah terlepasnya dasar lahirnya hukum, yakni etika
dan moral, dari hukum itu sendiri. Formalitas-prosedural dalam hukum sering
dijadikan alat untuk menghindar dari sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang
diyakini oleh public common sense
telah terjadi. Banyak pejabat tinggi yang telah nyata-nyata melakukan
pelanggaran masih berusaha melindungi dirinya dengan alasan prosedural hukum.
Mereka membodohkan publik dengan mengatakan ”saya tidak bersalah, belum diputus bersalah oleh pengadilan, faktanya
masih kabur, alat buktinya tidak sah, dan lain-lain”.
Mereka mengacaukan
nilai etik dan prosedur yuridis. Pada masa lalu, banyak pejabat publik yang
mempunyai indikasi kuat merampok uang rakyat melalui penyalahgunaan
kekuasaan, abuse of power atau detournement de pouvoir masih
tenang-tenang saja dan ngotot untuk tetap menjadi pejabat.
Mereka bukan hanya
tidak mau mundur dari jabatannya, tetapi lebih dari itu masih menyatakan
dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun. Contohnya, ada pejabat tinggi yang
melakukan penunjukan pengadaan barang dan jasa sampai ratusan miliar rupiah
dan diketahui oleh publik sebagai penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam penunjukan
tersebut terindikasi kuat ada kolusi dan korupsi karena penunjukannya tidak
fair , harganya tidak wajar, dan melibatkan calo yang diduga kuat berfungsi
sebagai kasir pencuci uang dari sang pejabat. Kala itu pejabat tinggi
tersebut disorot secara besar-besaran oleh pers, diteriaki untuk mundur oleh
masyarakat, tetapi sang pejabat mengatakan, ”Saya tidak bersalah, belum ada putusan pengadilan yang menyatakan
saya bersalah, saya tidak akan mundur.”
Sang pejabat pun
mengeluarkan dalil-dalil hukum, UU nomor sekian pasal sekian, PP nomor sekian
tahun sekian, dan keppres nomor sekian tanggal sekian. Pejabat itu tetap
tebal muka, tidak mau mundur, dan mencari-cari dalil hukum sesuai dengan
pilihan sendiri. Dalil hukum yang dipergunakan aparat penegak hukum atau
dikemukakan masyarakat bahwa sang pejabat itu melanggar hukum ditepis begitu
saja oleh sang pejabat dengan masih menggunakan jabatannya sehingga
pemeriksaan atas dirinya menjadi tidak lancar.
Sang pejabat itu lupa
bahwa hukum bersumber dari moral dan etika. Hukum adalah formalisasi dari
nilai-nilai moral dan etik. Jika nilai-nilai moral dan etik itu tidak
terpenuhi oleh pasal-pasal yang resmi atau yang formal-prosedural di dalam
hukum, maka nilai moral dan etik dalam jabatan haruslah lebih diutamakan.
Mengapa? Karena sebenarnya hukum hanyalah peningkatan posisi dari nilai-nilai
moral dan etika.
Praktisnya, hukum
adalah ”alat” untuk memberi jalan bagi hidup moral dan etika. Seperti
diketahui di dalam masyarakat hidup berbagai norma, yaitu norma keagamaan,
norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum. Hubungan antara norma
hukum dan ketiga norma lain bersifat gradual, artinya hukum itu dibuat
sebagai formalisasi (pemberlakuan secara resmi) tentang nilai-nilai moral dan
etik yang bersumber dari ketiga norma tersebut.
Ini harus diartikan
bahwa sejatinya moral dan etik berada di atas hukum. Namun dalam kenyataannya
banyak orang yang menggunakan pasal-pasal hukum (formalitas-prosedural) untuk
melanggar moral dan etika. Meski sudah melanggar moral dan etika, banyak
orang menyatakan dirinya tidak bersalah hanya karena belum diputus bersalah
oleh pengadilan.
Padahal pengadilan
akan terhambat untuk menanganinya karena yang bersangkutan masih pejabat yang
sering membentengi diri dengan jabatannya dan jaringan-jaringan politiknya.
Pada masa lalu sangat banyak kasus seperti itu, yakni kasus yang meletakkan
moral dan etika di bawah landasan formal-prosedural hukum.
Baik pejabat negara
maupun pegawai negeri banyak yang menyelamatkan diri dari sanksi atas
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya dengan menggunakan pasal-pasal
hukum yang tafsirnya dibuat dengan seenak sendiri, dilepas dari maksud
substansialnya. Itulah sebabnya pada 2001, saat semangat reformasi masih agak
murni, kita membuat produk hukum untuk menghadapi akal bulus para pejabat
yang selalu berlindung di balik formalitas-prosedural hukum.
Pada 2001 MPR
mengeluarkan Ketetapan No VI/ MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Di
dalam Tap No VI/MPR/ 2001, Bab II butir 2, digariskan, ”... setiap pejabat
dan elite politik ... siap untuk mundur dari jabatannya apabila terbukti
melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum
dan rasa keadilan masyarakat.”
Selanjutnya pada Bab
II butir 4 disebutkan juga, ”Etika ini meniscayakan..., menghindarkan
penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi
hukum lainnya.” Baik berdasar bunyi kalimat maupun berdasar latar belakang
dilahirkannya Tap MPR tersebut terbaca dengan jelas bahwa moral dan etika ada
atas hukum.
Jika moral publik
sudah ”merasakan”, bahkan ”menggedor” bahwa seorang pejabat atau elite
politik melakukan kesalahan, yang bersangkutan harus siap mundur tanpa boleh
menggunakan jabatannya untuk memanipulasi hukum dan sukmanya. Tap No
VI/MPR/2001 tersebut masih dinyatakan berlaku sampai sekarang oleh Tap No
I/MPR/2003.
Di dalam UU No 12
Tahun 20011 Ketetapan MPR yang masih berlaku kedudukannya lebih tinggi
daripada UU. Secara hierarkis Tap MPR berada di bawah UUD NRI Tahun 1945
tetapi berada di atas UU/Perppu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar