Dagelan Ala Kemenristek-Dikti dan Komisi X DPR
Dzulfian Syafrian ; Ekonom INDEF;, Penerima Beasiswa LPDP
angkatan IV;
Lulusan MSc Economics University
of Warwick, Inggris
|
KORAN
SINDO, 11 Desember 2015
Ada wacana pengelolaan
lembaga beasiswa, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), akan dipindah
dari Kementerian Keuangan/Kemenkeu ke Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi/Kemenristek-Dikti (KORAN
SINDO, 3/12). Setidaknya ada tiga argumen dari Kemenristek-Dikti dan DPR
terkait hal ini. Argumen yang pertama adalah penyaluran dana beasiswa kerap
terlambat. Kemenristek-Dikti dan Komisi X DPR menyebutkan bahwa para penerima
beasiswa di luar negeri banyak yang risau karena uangnya belum ditransfer.
Para petinggi negara yang terhormat ini juga menyatakan bahwa penerima
beasiswa terancam drop out (DO)
dari kampusnya karena uang kuliahnya tidak segera dibayar.
Benarkah hal-hal ini
terjadi di lapangan? Tidak jelas disebutkan dalam berita tersebut siapa dan
berapa yang dimaksud “para mahasiswa” di sini. Apakah “para mahasiswa” ini
jumlahnya sebagian besar atau sebagian kecil. Namun, menurut pengamatan
penulis kasus seperti yang dijelaskan di atas jumlahnya sepertinya sangat
kecil.
Tiga Perbedaan Mendasar
Sebagai generasi
pertama yang mendapatkan Beasiswa LPDP dan cerita kawan-kawan penerima
beasiswa yang dikelola oleh Dikti, penulis menyimpulkan bahwa pelayanan LPDP
jauh lebih baik dibandingkan beasiswa-beasiswa yang dikelola Dikti, seperti
Beasiswa Unggulan atau Beasiswa Dikti. Terdapat beberapa perbedaan signifikan
antara beasiswa yang dikelola oleh LPDP dan Dikti.
Pertama, tidak seperti
beasiswa yang dikelola Dikti, LPDP memberikan beasiswa di awal periode untuk
tiga bulan ke depan sehingga para penerima beasiswa tidak perlu nombok
terlebih dahulu. Kedua, total nilai dan tunjangan- tunjangan beasiswa LPDP
lebih banyak dan besar dibandingkan beasiswa-beasiswa yang dikelola Dikti.
Tunjangantunjangan
tersebut mulai dari uang bulanan, tunjangan buku, settlement allowance,
keluarga, seminar internasional, penulisan disertasi, pengurusan visa, wisuda
hingga insentif publikasi internasional semuanya diberikan oleh LPDP. Bahkan,
para penerima beasiswa di bawah Dikti pun turut senang dengan lahirnya LPDP
karena semenjak LPDP ada, pengelolaan beasiswa oleh Dikti sedikit ada
kemajuan, setidaknya ada kenaikan nominal bulanan.
Ketiga, penyaluran
uang bulanan beasiswa LPDP sebagian besar tepat waktu, sedangkan beasiswa
yang dikelola Dikti justru sebagian besar terlambat. Keterlambatan pengiriman
uang bulanan ini tentu sangat memberatkan para mahasiswa karena hidup mereka
sangat bergantung dari dana ini. Tidak heran jika para pemburu beasiswa saat
ini berpaling dari beasiswa yang dikelola Dikti ke LPDP.
Hal ini disebabkan
pelayanan yang (jauh) lebih baik dan nominal uang yang lebih besar. Alhasil,
beasiswa yang dikelola Dikti menjadi sepi peminat. Bahkan, nominal beasiswa
yang LPDP berikan masih lebih menggiurkan dibandingkan dengan
beasiswa-beasiswa dari pemerintah/donor Asing, seperti Inggris (Chevening),
Swedia (Swedish Institute), atau Amerika Serikat (Fulbright).
Dampak lain sepinya
peminat beasiswa-beasiswa Dikti adalah penyerapan anggaran Dikti menjadi
bermasalah. Terlepas dari perubahan nomenklatur dan restrukturisasi
organisasi, penyerapan anggaran Kemenristek-Dikti tahun ini sangatlah rendah,
kurang dari 62% atau Rp27,3 triliun dari total pagu anggaran sebesar Rp44
triliun. Bahkan, Menristek-Dikti sendiri sangat pesimistis penyerapan
anggaran di Kementeriannya hanya akan sekitar 85% pada 2015.
Pemberian beasiswa ke
luar negeri memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Hitungan kasarnya,
untuk meluluskan satu orang di jenjang S-2 di luar negeri kira-kira
membutuhkan dana sekitar Rp500 juta, sedangkan untuk jenjang S-3 sebesar Rp1
triliun. Jadi, wajar jika program beasiswa, khususnya beasiswa ke luar
negeri, menjadi program andalan Kemenristek-Dikti untuk mendapatkan anggaran
yang besar dan penyerapan yang maksimal.
Kuota Beasiswa
Argumen yang kedua
Kemenristek-Dikti dan DPR adalah kuota penerima beasiswa LPDP yang sangat
kecil. Hingga akhir November 2015, total angkatan (batch ) LPDP telah tembus
di angka 50 (lima puluh). Setiap angkatan rata-rata berjumlah 90-100 orang.
Jadi, jumlah penerima beasiswa LPDP (awardees) dalam dua tahun terakhir
sekitar 4.000-5.000 mahasiswa atau rata-rata per tahunnya LPDP sekitar 2.000-
2.500 beasiswa bagi putra-putri terbaik Indonesia.
Angka yang sangat
besar, berkali-kali lipat jauh lebih besar dibandingkan beasiswa apapun di
Indonesia. Sebagai perbandingan, tiap tahunnya Beasiswa Unggulan (BU) yang
dikelola oleh Kemendikbud hanya memberikan kurang dari 2.000 beasiswa untuk
jenjang pascasarjana. Jumlah penerima beasiswa ini pun tidak stabil.
Pada 2007, penerima BU
untuk jenjang pascasarjana tembus angka 1974, namun dua tahun berikutnya
anjlok menjadi 373 (2008) dan hanya 206 di 2009. Angka ini kemudian merangkak
naik menjadi 845 pada 2010, 1.511 di 2011, namun turun lagi di 2012 menjadi
1.161, dan 993 di 2013. Beasiswa yang berasal dari Pemerintah asing untuk
mahasiswa Indonesia jumlahnya jauh lebih sedikit lagi.
Rata-rata beasiswa
dari Pemerintah asing kuotanya cukup variatif, namun yang pasti hampir semua
beasiswa tersebut hanya memberikan kurang dari 100 beasiswa tiap tahunnya.
Sebagai contoh, beasiswa dari pemerintah Inggris (Chevening) pemberangkatan 2014 hanya 23 orang, meskipun tahun ini
naik menjadi 66, itu pun karena pertimbangan politis dari pemerintah Inggris
untuk meningkatkan hubungan bilateralnya dengan Indonesia.
Bahkan, beasiswa dari
pemerintah AS (USAID) tahun ini (2015) hanya memberikan kepada 23 orang. Yang
paling besar adalah pemerintah Australia melalui beasiswa AAS (dahulu ADS),
tetapi itu pun hanya sekitar 300- 500 beasiswa per tahunnya.
Antara Tupoksi dan Realitas
Argumen ketiga adalah
agar pengelolaan beasiswa tidak tumpang tindih. Sebenarnya, di antara ketiga
argumen yang diutarakan di atas, jujur argumen ini adalah argumen yang paling
masuk akal. Benar bahwa sejatinya pemberian beasiswa untuk jenjang
pascasarjana itu lebih mendekati tugas, pokok dan fungsi (tupoksi)
Kemenristek-Dikti dibandingkan Kemenkeu.
Di sisi lain, hingga
detik ini LPDP juga belum memiliki grand design yang jelas dan komprehensif
tentang proyeksi kebutuhan SDM Indonesia ke depan. Selain itu, LPDP juga
belum memiliki mekanisme yang cukup kuat dan mengikat agar menjamin para
awardees-nya tidak lari ke negeri orang pascalulus nanti (brain drain).
Hanya, publik harus memahami alasan utama mengapa LPDP saat ini berada di
bawah naungan Kemenkeu, bukan Kemenristek-Dikti (kini) atau Kemendiknas
(dahulu).
Salah satu spirit
utama dibentuknya LPDP justru berangkat dari benang kusut pengelolaan
beasiswa yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen
Dikti) itu sendiri. Buruknya pelayanan, seperti rumitnya birokrasi pencairan
beasiswa, sering terlambatnya transfer uang bulanan, ketidaksesuaian antara
dana yang seharusnya ditransfer dengan nominal yang diterima awardees, adalah
beberapa fakta yang tak terbantahkan betapa tidak becusnya Dikti dalam
mengelola beasiswa.
Oleh karena itu,
sangatlah lucu jika para petinggi Komisi X DPR dan juga Menristek-Dikti
menyebutkan bahwa pengelolaan beasiswa LPDP buruk maka harus dipindahkan di
bawah naungan Kemenristek-Dikti, padahal sebenarnya apa yang mereka ceritakan
justru sedang menggambarkan bobroknya pengelolaan beasiswa yang dikelola oleh
Dikti itu sendiri. Pemutar balikkan fakta yang luar biasa, dagelan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar