“Ora Sudi”
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 12 Desember 2015
Presiden Republik
Indonesia,Joko Widodo, marah. Suaranya bergetar, wajahnya serius, jari-jari
tangannya menuding memberi tekanan kata yang diucapkan. Dan diakhiri dengan
mendadak. Presiden tidak menggunakan bahasa terselubung, tidak memakai kata
bersayap ala Presiden Soeharto dengan istilah “setan gundul” yang terkenal
itu. Presiden Joko Widodo bicara mloho, telanjang, apa adanya. Bahwa dirinya
bisa disebut gila, koppeg, tapi lembaga kepresidenan tak bisa dilecehkan. Tak
boleh direndahkan, apalagi dicatut dalam soal minta saham ke PT Freeport.
Mungkin sekali baru
sekarang ini, setelah satu tahun mengenal beliau sebagai presiden, kemarahan
itu diekspresikan secara terbuka. Mungkin sekali beliau menganggap apa yang
terjadi dengan pencatutan nama sudah keterlaluan. Sebagian masyarakat
Indonesia juga geram, marah. Beberapa tokoh politik menyuarakan hal yang
senada. Beberapa waktu sebelum kemarahan terbuka ini, Menteri ESDM Sudirman
Said ketika melapor kasus yang melibatkan Ketua DPR dan pengusaha migas,
terucap bahwa Presiden mengatakan “ora sudi”.
Dalam terjemahan
secara umum bisa diartikan tidak mau, ogah, tidak sudi. Namun sebenarnya yang
terungkap dalam bahasa Jawa ini lebih dalam dari sekadar penolakan. Kalimat
utuhnya dalam bahasa Jawa adalah “Ora sudi. Dadia godong emoh nyuwek, dadia
banyu emoh nyawuk”. Terjemahan per kata adalah “Tidak sudi. (Kalaupun kamu)
berupa daun (aku tak mau) menyobek, (kalau kamu) berupa air (aku tak mau)
menyentuh.” Dengan pengertian senada bisa dikatakan sebagai penolakan dalam
bentuk apapun. Bahkan kalau itu berwujud daun, tangan ini terlalu halus untuk
menyobeknya.
Kalau itu berwujud
air, tetap tak ingin bersentuhan. Dalam bahasa dunia persilatan, kata “ora
sudi” mirip dengan upacara “minum arak perdamain”. Yaitu upacara dua jago
silat—atau lebih, yang tadinya bersahabat, atau bahkan bersaudara, atau satu
kelompok, satu perguruan— yang meminum arak bersama. Itu sebagai tanda bahwa
setelah upacara minum arak perdamaian, kedua akan berlaga. Duel atau pun
keroyokan.
Dalam hal ini segala
tata nilai dan tata krama sebelumnya tidak berlaku. Nilai persaudaraan,
perkawanan, perkoalisian, perpartaian, tidak berlaku lagi. Hukum baru yang
berlaku. Hukum “ora sudi.”
Presiden Republik
Indonesia Joko Widodo. Dan kemarahan begini tidak boleh berakhir sia-sia,
yang berhenti pada kemarahan semata. Harus ada tindak lanjutnya. Hal yang
sama ketika masyarakat merasakan kemarahan, ketersinggungan yang sama,
kecemasan besar atau perilaku yang menghinakan kemanusiaan, kemarahaan mereka
tak harus sia-sia. Ini yang sekarang ditunggu. Apapun itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar