Presiden Tanpa Mahkota
Y Ari Nurcahyo ; Direktur Eksekutif PARA Syndicate
|
KOMPAS,
11 Desember 2015
Saat ini, Presiden
Joko Widodo harus segera mengonsolidasikan kekuasaan (resume power). Apabila terlambat, pemerintah bisa tidak sanggup menghadapi
merosotnya kinerja kabinet dan tergerusnya kewibawaan Presiden.
Banyak hal bisa
menjadi pemicu. Utamanya anomali kasus hukum dan pelanggaran etika pejabat
publik. Dari polemik antarmenteri di ruang publik sampai skandal "papa
minta saham" yang mencatut nama Presiden.
Karena itu, Presiden tidak cukup hanya
menegur dan meminta menterinya agar solid bekerja untuk rakyat dan bukan
kontestasi kelompok kepentingan. Presiden Jokowi harus menyadari bahwa sejak
hari pertama dilantik sebagai Presiden, pemerintahannya terus
"digoyang" oleh lawan politik, mungkin juga dari lingkarnya
sendiri. Presiden sudah bekerja keras, tetapi episentrum masalah berada di
pembantu-pembantu Presiden dan partai pendukung.
Karena itu, kalau
Presiden Jokowi tidak segera menghimpun kembali kekuasaannya, resume power sampai tingkat
substantif, tidak tertutup kemungkinan derasnya arus kekecewaan publik akan
ikut "menggoyang".
Politik partai
Masalahnya bukan
Presiden Jokowi yang kurang cakap memilih anggota kabinet sebagai the dream
team di Kabinet Kerja. Orang yang baru belajar politik pun paham bahwa Jokowi
tidak punya kontrol (dan kendali) penuh atas kekuasaannya.
Memang betul Jokowi
memperoleh dukungan suara lebih dari 53 persen rakyat pemilih. Namun, riil
kekuasaan politik sesungguhnya berpusat di partai politik. Sepanjang sejarah,
kekuasaan politik kita adalah kekuasaan partai-partai. Segala urusan harus
lewat partai, dari seleksi pejabat sampai urusan pasal dan proyek.
Sejak awal, Jokowi
disebut "petugas partai" dari partai pengusungnya, PDI-P. Hal ini
menyelipkan makna politik: Joko Widodo bukan "penguasa partai".
Posisinya bukan ketua umum partai, bukan pula elite tertinggi di partai yang
mencalonkannya. Apalagi, hingga kini, beliau juga belum memegang kontrol atas
partai-partai pendukungnya di pemerintahan.
Secara eksistensial,
magnet kekuasaan presidensial Jokowi seperti diisap lubang hitam kosmologi
politik sehingga Jokowi bernasib seperti "Presiden tanpa mahkota".
Akibatnya, Presiden Jokowi dengan kekuasaan presidensialnya dihadapkan pada
persoalan serius dukungan politik partai-partai dan loyalitas ganda para
pembantunya.
Ada problem serius
dukungan politik partai-partai. Apalagi, dengan konfigurasi baru setelah satu
partai oposisi menyeberang menjadi pendukung, beredar isu perombakan kabinet
lanjutan. Semua akan menjadi masalah bagi komitmen loyalitas jika para
menteri berasal dari partai.
Medan kekuasaan
Presiden akan bergerak ke arah disonansi politik yang semakin liar. Jika
tidak segera melakukan resume power, posisi Presiden akan rentan menghadapi
gempuran kelas menengah dan massa rakyat. Bagaimana strategi menghadapi
kebuntuan politik partai ini?
Dengar suara rakyat
Sebagai langkah
pertama, Presiden Jokowi harus mengonsolidasi kekuasaan dengan menghimpun kembali
kekuasaannya yang bersumber dari kekuatan rakyat. Jokowi harus kembali
bersandar kepada rakyat, rahim yang menjadikannya presiden. Singkatnya,
Jokowi harus mendengarkan suara rakyat yang jernih dan benar menyuarakan
kemanusiaan, keadilan, dan keutamaan berpolitik.
Langkah konkretnya
adalah Presiden berhenti mendengarkan group-think dan para pembantunya yang
selama ini hanya menyajikan masukan dan laporan yang terbukti menjauhkan
kebijakan dan langkah Presiden Jokowi dari kehendak rakyat. Berikan ruang
publik untuk Vox Populi Vox Dei.
Kita harus kembali ke
politik. Jika abai, kita bisa memasuki ambang krisis res publica karena
politik dimengerti sebagai penguasaan, bukan kebebasan. Meminjam pemikiran
filosofis Hannah Arendt (1906-1975) bahwa krisis res publica merupakan
manifestasi empiris dari kekeliruan pemahaman tentang kekuasaan.
Arendt memandang politik sebagai komunikasi
karena "kekuasaan terjadi di antara manusia-manusia jika mereka
bertindak bersama". Oleh karena itu, ruang publik (polis) merupakan
medan politik mewujudkan kebebasan lewat komunikasi dan mengembangkan
solidaritas.
Dan, akhir dari res
publica adalah ketika terjadi kolonisasi ruang publik oleh yang privat.
Karena itu, membersihkan elite partai dan politisi dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme saja tidak akan mencukupi untuk menegakkan res publica kita.
Kita harus sampai pada tindakan konkret
menetralkan persenyawaan bisnis dan politik, menghentikan persekongkolan
pengusaha dan politisi yang membajak kepentingan negara.
Kita menunggu
keutamaan Presiden Jokowi mengambil "mahkota"-nya agar bisa kembali
bertakhta di hati rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar