Hukum Harus Ditegakkan
Frans H Winarta ; Ketua Umum Perkumpulan Advokat Indonesia
(Peradin)
|
KOMPAS,
11 Desember 2015
Peristiwa "papa
minta saham" yang ramai beberapa waktu belakangan ini secara historis
merupakan insiden yang serius atau skandal dalam kancah tata politik dan
ketatanegaraan Indonesia. Dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden
oleh Ketua DPR perihal perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia semakin
santer dibahas di media massa dan menimbulkan bermacam-macam asumsi dari
berbagai lapisan masyarakat. Awal mulanya, Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) memberikan bukti berupa rekaman dugaan pembicaraan antara
Ketua DPR dan seorang pengusaha serta bos PT Freeport Indonesia kepada
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Sidang kode etik MKD
telah beberapa kali diadakan, tetapi masih ada sejumlah perdebatan perihal
keabsahan laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua DPR. Selain itu,
status (legal standing) Menteri
ESDM sebagai pelapor kasus juga dipertanyakan beberapa anggota MKD. Tampaknya
aroma politis terasa sangat kental dalam persoalan ini.
Percobaan melakukan kejahatan
Insiden "papa
minta saham" ini, jikalau benar terjadi, tentunya tidak bisa
diselesaikan hanya melalui sidang kode etik MKD saja, tetapi juga harus
diselesaikan secara hukum. Ada dua hal yang berbeda ketika kita berbicara
mengenai etika jabatan dan hukum. Etika jabatan membicarakan mengenai apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam suatu profesi atau
jabatan formal. Etika jabatan berujung kepada peringatan, skorsing, atau
pemecatan.
Sementara hukum
berbicara mengenai benar atau salah. Ada unsur motif (oogmerk) dan kesengajaan (opzet)
yang dapat berujung kepada hukuman penjara. Di satu sisi, jika sesuatu
dianggap salah dipandang dari segi etika, belum tentu hal itu dianggap salah
jika dipandang dari segi hukum. Begitu pula sebaliknya.
Harus dipahami bahwa
telah diatur di dalam KUHP Indonesia bahwa setiap warga negara Indonesia
wajib melaporkan jika ada tindak pidana kejahatan yang terjadi di dalam
masyarakat. Mengapa insiden ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan? Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal apa yang disebut dengan "poging tot misdrijf" ("poging") atau
"percobaan untuk melakukan kejahatan", sesuai dengan yang diatur di dalam Pasal 53 Ayat (1)
KUHP. Dalam pasal poging tersebut, seseorang dapat dihukum karena dapat
dipersalahkan telah melakukan suatu percobaan untuk melakukan suatu
kejahatan.
Percobaan kejahatan di
dalam KUHP itu sendiri memiliki tiga unsur yang tidak terpisahkan, yaitu
adanya maksud (voornemen) untuk
melakukan suatu kejahatan, adanya suatu permulaan pelaksanaan, dan yang
terakhir unsur pelaksanaan kejahatan tersebut tidak selesai karena disebabkan
masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri. Jika dianalisis dari
segi hukum pidana, tiga unsur poging itu telah dipenuhi. Si pelaku diduga
sudah menyampaikan maksudnya yang terekam dan karena sudah ada permulaan
maksud untuk melakukan kejahatan. Pelaksanaan kejahatan itu tidak selesai
karena hasil rekaman tersebut dilaporkan oleh Menteri ESDM.
Dalam hal ini, para
penegak hukum di Indonesia tidak bisa berpangku tangan saja. Terlepas dari
jabatan apa pun yang terlekat, penyelesaian secara hukum harus dilakukan,
apalagi insiden ini menyangkut nama kepala negara dan wakil kepala negara
Indonesia terkait pencatutan yang dilakukan oleh Ketua DPR tersebut. Jika
benar terjadi, ditakutkan ada tiga potensi yang bisa muncul dari insiden
"papa minta saham" ini, antara lain: potensi koruptif (UU Tipikor),
potensi penipuan (Pasal 378 KUHP), dan juga potensi fitnah (Pasal 314 KUHP).
Negara kesejahteraan
Di negara-negara yang
mapan, anggota DPR atau tepatnya Ketua DPR merupakan jabatan tinggi negara
yang sangat prestisius dan dihormati oleh masyarakat. Perdebatan ide dasar
negara dan arah kebijakan negara terjadi di gedung-gedung parlemen di
negara-negara tersebut. Indonesia harus belajar dari negara-negara yang lebih
senior yang memiliki pengalaman dalam kehidupan bernegara. Bukan hanya
sekadar mengisi daftar absensi, perebutan kursi, serta mengutamakan ego
golongan tanpa ingat bahwa ada hal substansial yang harus diperjuangkan
menuju negara yang sejahtera (welfare
state) seperti yang diimpikan para pendiri bangsa ini (founding fathers).
Cara pandang
masyarakat ke depan harus diubah. Timbulnya kerutan di kening saat
membicarakan kinerja sebagian besar anggota DPR harus dikembalikan menjadi
timbulnya rasa bangga dan kekaguman akan kinerja mereka demi kepentingan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Saat ini, di saat negara Indonesia sedang
memperjuangkan demokrasi yang masih berantakan, negara-negara mapan telah
berhasil menerapkan sistem nilai.
Indonesia sedang
berusaha menuju ke arah yang lebih baik di era kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf
Kalla, terutama dalam menata sistem nilai. Insiden "papa minta
saham" tentu menyakiti hati rakyat Indonesia. Apalagi anggota DPR telah
digaji dengan baik oleh rakyat untuk melaksanakan fungsi legislatif. John C
Maxwell, seorang penulis ternama berkebangsaan Amerika Serikat, pernah
mengatakan, "Leadership is
influence."
Para tokoh bangsa
harus dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap rakyat. Oleh karena itu,
meskipun tidak mudah, perjuangan negara Indonesia harus terus dilanjutkan.
Untuk dapat menerapkan sistem nilai yang baik di negara ini, harus dimulai
dari menghilangkan ego individu dan golongan. Seseorang harus dapat
menaklukkan diri sendiri dan segelintir kelompok demi kepentingan masyarakat
yang lebih besar.
Keadilan dan hukum
harus ditegakkan walaupun langit runtuh. Fiat
Justitia Ruat Caelum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar