Selamat(kan) Jalan Pemberantasan Korupsi!
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua Pukat Korupsi
pada Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Desember 2015
SEPANJANG 2015, secara jujur harus dikatakan
bahwa cambuk penegakan hukum antikorupsi tak cukup deras dihela.
Pemberantasan korupsi berjalan melamban di semenjak awal 2015, bahkan hingga
akhir tahun juga belum kunjung menunjukkan efek perbaikan. Pasalnya mudah
untuk terendus, dukungan rendah political
will negara, dan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ialah
faktor yang paling determinan dari potret 2015. Potret yang mungkin dapat
dikatakan suram dan berlatar buram.
Lemahnya dukungan
Rendahnya political
will negara mudah dihitung dengan tampil maksimalnya kepentingan politik
jika dibandingkan dengan penegakan hukum antikorupsi. Sepanjang 2015, KPK
dihajar habis-habisan dengan berbagai kepentingan yang jelas-jelas jauh dari
kepentingan penegakan hukum. Pada saat yang sama, pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) berada pada kondisi yang sama-sama sedang mencari
bentuk relasi politik. Pencarian bentuk itu membuat agenda perlindungan KPK
menjadi terabaikan.
Pemerintah terlihat tak bersungguh-sungguh
berhadapan dengan DPR yang berisi partai politik penuh kepentingan. Akhirnya,
pemerintah seakan membiarkan berbagai obokan kepentingan politik ke KPK.
Bahkan, berbagai langkah penting yang ingin dilakukan Presiden tertunda dan
tak berjalan efektif oleh karena partai politik mengatakan berbeda.
Kita semua tahu sebab-musabab mengapa Presiden
akhirnya tidak membentuk secara sah tim independen untuk menyelisik berbagai
kriminalisasi yang terjadi atas KPK. Kepentingan ialah jawaban yang paling
pasti untuk mendedahkan hal itu. Buya Syafii dkk yang kala itu harusnya
ditugaskan mendetailkan kriminalisasi tak kunjung mendapatkan keppres dan
akhirnya mandul.
Masih dalam kriminalisasi terhadap KPK dan
pegiat antikorupsi, ini pun semuanya dibiarkan tanpa adanya ujung yang
berarti. Kasus yang menimpa Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Suparman
Marzuki, Taufiqurrahman Syahuri, Novel Baswedan, dan Denny Indrayana mungkin
dapat mewakili betapa rentan dan lemahnya penegakan hukum antikorupsi di
hadapan kepentingan.
Kasus-kasus sebenarnya sangat mungkin diperdebatkan
problema hukumnya, tetapi terus melaju deras ke arah penegakan hukum yang
terlihat serampangan.
Pada titik itu, kembali pertanyaan soal dukungan
pada agenda pemberantasan korupsi menjadi besar. Apalagi, kemudian pemerintah
bermain api dengan isu teranyar, yakni melempar revisi UU KPK ke DPR yang
memang bernafsu mengubah UU KPK. Sikap DPR tidak terlalu genah dan senang
pada keberadaan KPK itu hal yang sudah sulit untuk dibantah. Pertanyaan
mayoritas anggota DPR dalam berbagai kesempatan memiliki langgam yang sama dalam
hal itu. Bahasa KPK superbodi, kebanyakan tingkah, tak diawasi, harusnya me
ngedepankan pencegahan, dan berbagai hal lainnya ialah hal yang sudah kita
dengarkan sejak 2005.
Herannya, pemerintah malah sepakat mem berikan
ruang inisiatif itu kepada DPR. Padahal, sikap memberikan kepada DPR
inisiatif legislasi itu tentu bisa mendapatkan perdebatan dan pertanyaan
besar. Makanya, hari-hari belakangan ini bermunculanlah ide aneh
mengatasnamakan keinginan memperbaiki KPK.Namun alih-alih memperbaiki, hanya
mengagregasi perusakan terhadap KPK. Jangan-jangan, sedang ada kepentingan
pemerintah yang mau dibarterkan dengan DPR, semisal dugaan atas barter dengan
RUU Pengampunan Pajak.
Intinya, DPR bersama dengan pemerintah ter
lihat sedang bermain-main politik dengan berbagai agenda setiap kelembagaan.
Bermain di agenda masing-masing se hingga penegakan hukum antikorupsi yang
kuat dan tegas menjadi terlupakan dan terbengkalai.
Melemahnya KPK
Melemahnya KPK sebenarnya tidak dari faktor
eksternal dan pembiaran perusakan KPK. Akan tetapi, itu juga dari faktor
internal KPK sendiri. Harus diakui, terobosan terbaik yang dilakukan Presiden
mengeluarkan perppu pengisian jabatan bagi KPK ketika komisionernya berkurang
hingga di bawah tiga orang. Bahkan, DPR juga mengamini dengan menyetujui
perppu tersebut untuk dijadikan UU No 10 Tahun 2015. Sayangnya, hingga saat
ini saya meyakini bahwa tidak seluruhnya UU tersebut menjadi anugerah, tetapi
juga pada wilayah lain menjadi musibah buat KPK.
Dengan masuknya komisioner sementara, tujuan
menormalisasi turbulence relasi
kelembagaan KPK dengan lembaga lainnya memang sedang dilakukan. Akan tetapi,
sayangnya, itu malah menggerus kekuatan KPK. Salah satu kekuatan KPK yang ada
selama ini ialah semangat kolektivitas kuat melakukan perbaikan. Sayangnya,
semangat itu dikendalikan secara keliru oleh pimpinan KPK sementara.
Bayangkan begitu masuk ke KPK, mereka mengumandangkan kata-kata `KPK menyerah
kalah!'. Bagaimana mungkin penolakan dan pelawanan terhadap kriminalisasi
pimpinan KPK terdahulu dipandang sebagai ancaman oleh pimpinan KPK sementara,
bahkan dikenai sanksi bagi yang melawan kebijakan baru tersebut.
Setidaknya, melemahnya KPK terlihat dari dua
hal yang berkorelasi dengan gaya kepemimpinan KPK sementara saat ini.
Pertama, pengisian jabatan internal di KPK yang mulai terkesan serampangan
dan tanpa arah yang jelas. Berbagai jabatan diisi orang yang barangkali tidak
dengan rekam jejak yang menarik. Bahkan sosok-sosok dengan posisi dan
pandangan yang tidak tepat soal KPK malah dibawa dan ditaruh pada posisi
tertentu di KPK.
Kedua, gaya kepemimpinan yang menekankan
kepatuhan ketimbang inisiatif. Corak yang dibangun Ruki ialah komando tunggal
yang mengubah wajah para pegawai KPK menjadi orang patuh dan bukan orang
inisiatif. Bayangkan, mimbar bebas yang digelar para karyawan untuk
memberikan dukungan untuk melawan kriminalisasi pimpinan KPK terdahulu malah
dianggap sebagai perlawanan atas kepemimpinan KPK sementara.
Tak mengherankan jika kasak-kusuk di kalangan
luar mengatakan bahwa KPK kembali ke kondisi awal ketika baru dibentuk
pascadisahkannya UU KPK. Bahkan, terlihat benar jika berjalan mundur atas
capaian beberapa jilid KPK pasca-KPK jilid pertama era kepemimpinan
Taufiequrrahman Ruki dulu.
Pada posisi ini, tentu sangat mungkin untuk
diperdebatkan apakah KPK memang sudah melemah atau tidak. Namun, setidaknya,
gaya kepemimpinan KPK terkesan lebih koperatif pada kepentingan dan tak
berani konfrontatif penuh terhadap pemi lik kuasa dan kepentingan tertentu. Hal
yang bisa jadi dibaca secara wajar setelah badai yang menghan tam KPK. Namun,
sangat mungkin juga dipan dang ke arah yang tak terlalu menguntungkan untuk
KPK.
Selamat atau selamat
tinggal?
Tahun 2016 ialah persimpangan yang akan
mempersulit kemungkinan perbaikan. Pada 2016 ini tantangan itu akan semakin
membuncah oleh karena akumulasi pelbagai hal tersebut di atas. Tahun 2016
ialah tahun yang akan menyelamatkan jalan pemberantasan korupsi, tetapi juga
sangat mungkin menjadi ucapan selamat jalan pada pemberantasan korupsi.
Setidaknya ada tiga faktor yang akan
menentukan hal tersebut. Pertama, haruslah diingat agenda pemberantasan
korupsi ialah agenda besar yang diusung pemerintahan saat ini. Kegagapan
konsolidasi politik yang dialami Jokowi-JK pada 2015 masih sangat mungkin
untuk dimengerti meski tak bisa dibenarkan. Itu disebabkan tahun pertama
kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ialah hal yang identik dan bersamaan
dengan pelbagai problem 2015.
Kemampuan Jokowi-JK untuk menuntaskan
konsolidasi politik dan penguatan agenda pemerintahan akan menjadi kunci di
2016. Jika mereka mampu melepaskan diri dari tekanan politik, sangat mungkin
agenda-agenda penguatan hukum antikorupsi kembali dapat dibahasakan dengan
langgam yang lebih jelas.
Ujiannya bisa terlihat dari kelindan kasus `papa
minta saham' ataupun kapasitas pemerintah untuk mengawal agenda legislasi,
semisal UU KPK, KUHP, dan berbagai agenda legislasi lainnya. Kemampuan untuk
keras dan ketat pada pemihakan agenda pemberantasan korupsi akan
memperlihatkan indikasi kemampuan menjinakkan kepentingan politik tersebut.
Jika tidak, berarti 2016 akan kembali semakin berat.
Kedua, fantasi negara dalam memola agenda
penguatan pemberantasan dan pencegahan korupsi. Kita semua paham problem
ketidakmampuan republik ini membangun data yang kuat dan menunjang penegakan
hukum antikorupsi. One single map
di berbagai hal akan sangat memperbaiki peluang mafia bermain di wilayah
tertentu. Single identification number
akan memperbaiki proses kependudukan dan pendataan.
Ketersambungan antara sistem perbankan dan
perpajakan akan membantu menghilangkan mafia pajak. Penguatan lembaga
penunjang seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan
KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) akan menunjang kerja-kerja
pemerintahan di wilayah penegakan hukum antikorupsi dan menghadapi mafia,
termasuk membangun sistem non-conflict
of interest dan sistem illicit
enrichment yang sudah sekian lama diwacanakan negara ini tapi tak kunjung
mendapatkan tempat yang berarti. Artinya, dalam ranah kedua ini penting untuk
berbicara soal apa saja resep yang ditawarkan untuk menguatkan sistem-sistem
antikorupsi. Resep yang menarik akan menghidangkan agenda pemberantasan dan
pencegahan korupsi yang lebih lezat.
Ketiga, tentu saja konsolidasi lembaga
pemberantasan korupsi. KPK, dengan komisioner baru, akan sangat menentukan.
Jika DPR akhirnya memilih dream team,
harapan akan menguat. Akan tetapi, jika yang terpilih ialah dreaming team, kita kembali akan
kesulitan berharap. Bukan hanya komisionernya, UU KPK juga harus dikawal.
Jangan sampai ada tindakan berdalih memperbaiki KPK yang malah mengamputasi
KPK.
Tidak hanya KPK, kejaksaan dan kepolisian
juga. Perbaikan kelembagaan mereka juga harus menjadi perhatian. Tiga langkah
minimalis yang harus dilengkapi dengan berbagai agenda penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi lainnya. Tahun kedua pemerintahan Jokowi-JK ialah di
2016. Kegagalan mereka merupakan sumbangan separuh kegagalan penegakan hukum
antikorupsi. Selamatkan jalan
pemberantasan korupsi! Jangan biarkan selamat jalan pemberantasan korupsi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar