Perubahan dan Revolusi Mental
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 10 Desember 2015
Saya sering
menyaksikan banyak organisasi yang ingin berubah karena lingkungannya yang
sudah berubah. Di dunia bisnis misalnya, populasi berubah, teknologi anyar
dan kota-kota baru bermunculan, kompetitor semakin banyak, konsumen cepat
bosan, regulasi gampang berubah, dan masih banyak lagi. Bahkan kita
menyebutnya inilah era disruption : era kekacauan, sesuatu yang mengakibatkan
tren yang lama terputus, bergeser. Jadi, jika perusahaan itu tidak berubah,
bisnisnya pasti terancam. Bisa gulung tikar.
Kenyataannya, meski
banyak perusahaan tahu harus berubah, banyak yang gagal melakukan perubahan.
Atau, kalaupun berubah, hasilnya tak sesuai dengan harapan mereka.
Perubahannya terlalu inkremental, terlalu kecil ketimbang tuntutan perubahan
lingkungan bisnisnya. Akhirnya pendapatan perusahaan tak kunjung meningkat,
sementara biaya terusbertambah.
Akibatnya setiap tahun
perusahaan hanya sibuk melakukan pemangkasan biaya dan tak tahu bagaimana
lagi cara menggenjot penerimaan. Perubahan memang tidak mudah. Stephen Covey menegaskan,
”Perubahan itu menyakitkan.” Itu sebabnya banyak orang, juga perusahaan atau
organisasi lainnya, enggan berubah. Mengapa banyak perubahan yang gagal? Ada
banyak faktor.
Namun yang paling
sering saya jumpai adalah karena kita kerap kali terperangkap oleh cara
berpikir lama, keberhasilan di masa lalu, dan terlalu menyederhanakan
perubahan. Kita tidak memandang perubahan sebagai proses, tetapi peristiwa.
Kita menganggap perubahan bakal berlangsung dengan sendirinya setelah
melakukan kick off atau menetapkan
kapan tanggal go live - nya.
Padahal, perubahan
tidak akan pernah terjadi secara instan hanya karena kita sudah melakukan
rangkaian seremoni. Setiap orang tidak akan langsung berubah hanya lantaran
sudah menerima e-mail tentang perubahan, terbentuknya agen-agen perubahan,
membaca brosur, mendengarkan pidato, mengetahui sasaran-sasaran yang ingin
dicapai dan prosesnya. Seseorang juga tidak akan langsung berubah meski dia
sudah mengikuti berbagai program pelatihan. Salah satu faktor yang membuat
perubahan kian sulit adalah karena kita mesti beranjak dari kondisi lama ke
kondisi baru. Kondisi lama sudah kita ketahui.
Sementara kondisi baru
bagi sebagian orang masih gelap gulita. Untuk sampai ke sana, kita kerap
harus menjalani proses yang tidak mudah. Menyakitkan, seperti kata Covey
tadi. Kalau benar seperti itu, lalu mengapa belakangan kita begitu gencar
mengampanyekan pentingnya perubahan? Atau dalam bahasa yang lain kita kenal
dengan ungkapan revolusi mental?
Contoh yang Mengesalkan
”People don’t resist change. They resist of being changed ,” kata Peter Senge,
pendiri Society for Organizational
Learning yang juga pengajar di MIT Sloan School of Management. Kita tidak
menolak perubahan, tetapi kita tidak ingin diubah. Anda bisa dengan mudah
melihat buktinya di mana-mana. Di berbagai kantor pemerintahan kita melihat
tempat parkir utama disediakan untuk pejabat-pejabat tinggi, kepala,
pimpinan, menteri. Beda sekali dengan di Citibank yang mengutamakan gold customer yang boleh parkir persis
di depan pintu.
Menjadi pejabat itu esensinya
ya melayani masyarakatnya, bukan malah membuat repot. Baiklah, saya ambil
satu contoh lagi. Ini contoh yang betulbetul membuat saya kesal. Kalau Anda
sempat nonton TV atau mendengarkan siaran radio, di sana belakangan kerap
ditayangkan iklan tentang perubahan dan revolusi mental.
Bagi saya, isinya
membingungkan karena memakai bahasa langit. ”...menggembleng manusia Indonesia untuk menjadi manusia baru yang
berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang
menyala-nyala....” Ada lagi iklan yang dikemas dalam bentuk testimonial.
Topiknya ada dua, yakni apa itu revolusi mental menurut Anda serta siapa dan
apa yang mesti berubah. Saya tidak mempersoalkan isinya. Semuanya saya
setuju.
Misalnya, revolusi
mental artinya berubah dari yang jelek menuju yang baik. Lalu, siapa yang
mesti berubah? Kita sendiri atau mulai dari rumah para tetua partai terlebih
dahulu. Juga soal apa yang mesti berubah? Mulai dari jangan membuang sampah
sembarangan, sikap jujur, disiplin, saling menghormati satu sama lain,
toleransi. Tapi, catatan saya, bintang iklan itu semuanya rakyat kecil.
Ada atlet, pemahat,
ibu rumah tangga, anak sekolah, pengemudi kendaraan umum, atau pedagang
pasar. Lalu, mana pejabatnya? Kok tidak ada yang memberikan testimoni? Apakah
pejabat kita sudah merevolusi mentalnya?
Revolusi Mental Pejabatnya
Bagi saya, iklan tadi
mengonfirmasi pernyataan dari Peter Senge. Juga Peter Drucker yang begini
bunyinya, ”Everybody has accepted by
now that change is unavoidable. But that still implies that change is like
death and taxes–it should be postponed as long as possible and no change
would be vastly preferable. But in a period of upheaval, such as the one we
are living in, change is the norm.” Semua orang mengakui bahwa perubahan itu
tak terhindarkan, tapi kalau bisa pelaksanaannya ditunda selama mungkin.
Sejujurnya kalau kita
mau bicara tentang perubahan atau revolusi mental di negara ini, yang paling
mendesak untuk berubah dan perlu melakukan revolusi mental adalah para
pejabatnya, para petinggi pemerintahannya. Bukan rakyat kecil seperti kita.
Mengapa? Karena rakyat masih melihat tokoh-tokoh publik bicara sesuka hati,
jalannya mau didahulukan, kalau terlibat hukum bukannya mengakui salah malah
mengadili pelapor yang menjadi korban atau yang membukakan aib, mau terbang
ke luar negeri tapi tak mau beli tiket.
Mentang-mentang biasa
dilayani, maunya tiba di bandara langsung bisa terbang naik pesawat yang
dikelola negara tanpa harus mengurus tiket jauhjauh hari. Empatinya tidak pernah
muncul. Kita ingin rakyat punya rasa malu kalau melanggar hukum, kalau tidak
disiplin di jalan raya, malu kalau mencuri. Bagaimana bisa kalau petinggi
negaranya justru tidak punya rasa malu? Sudah terbukti menjadi calo, masih
tidak mau mundur juga. Sekarang malah mengadukan perkaranya ke polisi.
Perubahan membutuhkan
peran pemimpin dan kepemimpinan. Bicara soal ini, Anda mungkin pernah
mendengar ungkapan tentang roda dengan as atau sumbunya. Roda adalah rakyat,
kita semua, sementara pemimpin menjadi as atau sumbunya. Sebagai as, kalau
pemimpin bergerak sedikit saja, rakyatnya akan bergerak jauh lebih banyak.
Seperti itulah mestinya peran pemimpin perubahan. Beri saja sedikit contoh
yang baik, maka rakyat akan menirunya jauh lebih banyak.
Begitu pula sebaliknya,
kalau pemimpin memberi sedikit saja contoh buruk, rakyat akan meniru lebih
banyak lagi. Persis seperti di jalan raya. Ketika si petinggi negara membelah
jalan dengan kawalan voorijder atau mobil polisi, setelah dia lewat, di
belakangnya puluhan mobil segera membuntuti. Jadi, siapa yang mestinya
direvolusi mentalnya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar