Minggu, 13 Desember 2015

Perubahan dan Revolusi Mental

Perubahan dan Revolusi Mental

Rhenald Kasali  ;  Pendiri Rumah Perubahan
                                                KORAN SINDO, 10 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya sering menyaksikan banyak organisasi yang ingin berubah karena lingkungannya yang sudah berubah. Di dunia bisnis misalnya, populasi berubah, teknologi anyar dan kota-kota baru bermunculan, kompetitor semakin banyak, konsumen cepat bosan, regulasi gampang berubah, dan masih banyak lagi. Bahkan kita menyebutnya inilah era disruption : era kekacauan, sesuatu yang mengakibatkan tren yang lama terputus, bergeser. Jadi, jika perusahaan itu tidak berubah, bisnisnya pasti terancam. Bisa gulung tikar.

Kenyataannya, meski banyak perusahaan tahu harus berubah, banyak yang gagal melakukan perubahan. Atau, kalaupun berubah, hasilnya tak sesuai dengan harapan mereka. Perubahannya terlalu inkremental, terlalu kecil ketimbang tuntutan perubahan lingkungan bisnisnya. Akhirnya pendapatan perusahaan tak kunjung meningkat, sementara biaya terusbertambah.

Akibatnya setiap tahun perusahaan hanya sibuk melakukan pemangkasan biaya dan tak tahu bagaimana lagi cara menggenjot penerimaan. Perubahan memang tidak mudah. Stephen Covey menegaskan, ”Perubahan itu menyakitkan.” Itu sebabnya banyak orang, juga perusahaan atau organisasi lainnya, enggan berubah. Mengapa banyak perubahan yang gagal? Ada banyak faktor.

Namun yang paling sering saya jumpai adalah karena kita kerap kali terperangkap oleh cara berpikir lama, keberhasilan di masa lalu, dan terlalu menyederhanakan perubahan. Kita tidak memandang perubahan sebagai proses, tetapi peristiwa. Kita menganggap perubahan bakal berlangsung dengan sendirinya setelah melakukan kick off atau menetapkan kapan tanggal go live - nya.

Padahal, perubahan tidak akan pernah terjadi secara instan hanya karena kita sudah melakukan rangkaian seremoni. Setiap orang tidak akan langsung berubah hanya lantaran sudah menerima e-mail tentang perubahan, terbentuknya agen-agen perubahan, membaca brosur, mendengarkan pidato, mengetahui sasaran-sasaran yang ingin dicapai dan prosesnya. Seseorang juga tidak akan langsung berubah meski dia sudah mengikuti berbagai program pelatihan. Salah satu faktor yang membuat perubahan kian sulit adalah karena kita mesti beranjak dari kondisi lama ke kondisi baru. Kondisi lama sudah kita ketahui.

Sementara kondisi baru bagi sebagian orang masih gelap gulita. Untuk sampai ke sana, kita kerap harus menjalani proses yang tidak mudah. Menyakitkan, seperti kata Covey tadi. Kalau benar seperti itu, lalu mengapa belakangan kita begitu gencar mengampanyekan pentingnya perubahan? Atau dalam bahasa yang lain kita kenal dengan ungkapan revolusi mental?

Contoh yang Mengesalkan

”People don’t resist change. They resist of being changed ,” kata Peter Senge, pendiri Society for Organizational Learning yang juga pengajar di MIT Sloan School of Management. Kita tidak menolak perubahan, tetapi kita tidak ingin diubah. Anda bisa dengan mudah melihat buktinya di mana-mana. Di berbagai kantor pemerintahan kita melihat tempat parkir utama disediakan untuk pejabat-pejabat tinggi, kepala, pimpinan, menteri. Beda sekali dengan di Citibank yang mengutamakan gold customer yang boleh parkir persis di depan pintu.

Menjadi pejabat itu esensinya ya melayani masyarakatnya, bukan malah membuat repot. Baiklah, saya ambil satu contoh lagi. Ini contoh yang betulbetul membuat saya kesal. Kalau Anda sempat nonton TV atau mendengarkan siaran radio, di sana belakangan kerap ditayangkan iklan tentang perubahan dan revolusi mental.

Bagi saya, isinya membingungkan karena memakai bahasa langit. ”...menggembleng manusia Indonesia untuk menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala....” Ada lagi iklan yang dikemas dalam bentuk testimonial. Topiknya ada dua, yakni apa itu revolusi mental menurut Anda serta siapa dan apa yang mesti berubah. Saya tidak mempersoalkan isinya. Semuanya saya setuju.

Misalnya, revolusi mental artinya berubah dari yang jelek menuju yang baik. Lalu, siapa yang mesti berubah? Kita sendiri atau mulai dari rumah para tetua partai terlebih dahulu. Juga soal apa yang mesti berubah? Mulai dari jangan membuang sampah sembarangan, sikap jujur, disiplin, saling menghormati satu sama lain, toleransi. Tapi, catatan saya, bintang iklan itu semuanya rakyat kecil.

Ada atlet, pemahat, ibu rumah tangga, anak sekolah, pengemudi kendaraan umum, atau pedagang pasar. Lalu, mana pejabatnya? Kok tidak ada yang memberikan testimoni? Apakah pejabat kita sudah merevolusi mentalnya?

Revolusi Mental Pejabatnya

Bagi saya, iklan tadi mengonfirmasi pernyataan dari Peter Senge. Juga Peter Drucker yang begini bunyinya, ”Everybody has accepted by now that change is unavoidable. But that still implies that change is like death and taxes–it should be postponed as long as possible and no change would be vastly preferable. But in a period of upheaval, such as the one we are living in, change is the norm.” Semua orang mengakui bahwa perubahan itu tak terhindarkan, tapi kalau bisa pelaksanaannya ditunda selama mungkin.

Sejujurnya kalau kita mau bicara tentang perubahan atau revolusi mental di negara ini, yang paling mendesak untuk berubah dan perlu melakukan revolusi mental adalah para pejabatnya, para petinggi pemerintahannya. Bukan rakyat kecil seperti kita. Mengapa? Karena rakyat masih melihat tokoh-tokoh publik bicara sesuka hati, jalannya mau didahulukan, kalau terlibat hukum bukannya mengakui salah malah mengadili pelapor yang menjadi korban atau yang membukakan aib, mau terbang ke luar negeri tapi tak mau beli tiket.

Mentang-mentang biasa dilayani, maunya tiba di bandara langsung bisa terbang naik pesawat yang dikelola negara tanpa harus mengurus tiket jauhjauh hari. Empatinya tidak pernah muncul. Kita ingin rakyat punya rasa malu kalau melanggar hukum, kalau tidak disiplin di jalan raya, malu kalau mencuri. Bagaimana bisa kalau petinggi negaranya justru tidak punya rasa malu? Sudah terbukti menjadi calo, masih tidak mau mundur juga. Sekarang malah mengadukan perkaranya ke polisi.

Perubahan membutuhkan peran pemimpin dan kepemimpinan. Bicara soal ini, Anda mungkin pernah mendengar ungkapan tentang roda dengan as atau sumbunya. Roda adalah rakyat, kita semua, sementara pemimpin menjadi as atau sumbunya. Sebagai as, kalau pemimpin bergerak sedikit saja, rakyatnya akan bergerak jauh lebih banyak. Seperti itulah mestinya peran pemimpin perubahan. Beri saja sedikit contoh yang baik, maka rakyat akan menirunya jauh lebih banyak.

Begitu pula sebaliknya, kalau pemimpin memberi sedikit saja contoh buruk, rakyat akan meniru lebih banyak lagi. Persis seperti di jalan raya. Ketika si petinggi negara membelah jalan dengan kawalan voorijder atau mobil polisi, setelah dia lewat, di belakangnya puluhan mobil segera membuntuti. Jadi, siapa yang mestinya direvolusi mentalnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar