Pertanyaan Abadi dan Eksistensial
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 11 Desember 2015
Dari zaman ke zaman
selalu muncul pertanyaan, apakah hidup ini merupakan anugerah yang mesti
disyukuri dan dirayakan? Ataukah tragedi yang pantas disesali dan diratapi?
Atau semua ini hanyalah ketidaksengajaan tanpa skenario?
Jawaban orang pasti
berbeda-beda. Begitu pun dalam mengisi waktu dan jatah umur, seseorang
mungkin saja merasa terlalu singkat, terutama bagi mereka yang usianya sudah
memasuki angka 60 tahun. Tapi bagi mereka yang te-ngah berada di dalam
penjara, jalannya waktu dirasakan sangat lambat. Jadi, ukuran panjang-pendek
umur dan waktu sangat berkaitan dengan suasana psikologis seseorang.
Pada umumnya kalangan
teolog dan filsuf berpandangan positif tentang hidup sekalipun sulit
diingkari ada kesan narasi kitab suci yang menyiratkan bahwa kehidupan di
dunia ini merupakan kelanjutan dari kehidupan Adam yang terusir dari alam
surgawi. Dalam pandangan Islam, Adam telah diampuni dan anak cucunya tidak
terbebani dosa asal. Bahkan manusia diberi mandat dan predikat wakil Tuhan di
bumi (khalifatullah fi al-ardhi).
Meskipun begitu tidak
dapat diingkari bahwa hidup memang merupakan serial suka dan duka. Bagi
mereka yang berpandangan negatif-pesimistis, kehidupan ini merupakan serial
derita, diawali dengan jeritan tangis ketika terlahirkan dan diakhiri dengan
kesedihan serta kebisuan di ujung perjalanannya. Di sana terdapat tiga
pandangan tentang kehidupan.
Ada yang melihatnya
sebagai derita dan kutukan, yang lain melihatnya sebagai anugerah Tuhan yang
mesti disyukuri dan dirayakan. Lalu, yang ketiga , mereka tidak begitu peduli
pada pertanyaan teologis dan ontologis, yang penting hidup dijalani dengan
kesiapan beradaptasi dengan situasi baru yang menjemputnya Dunia manusia
adalah dunia makna.
Manusia bukan sebuah
mesin yang bekerja otomatis tanpa motif dan nilai-nilai yang menjadi acuan
dalam setiap geraknya. Manusia senantiasa bertanya dan mempertanyakan
eksistensinya. Makanya agama selalu hadir dan diperlukan sepanjang zaman
karena agama memberikan acuan makna serta tujuan hidup sekalipun oleh
sebagian orang agama tak lebih sebagai mitos dan dongeng belaka.
Salah satu ciri dan
identitas manusia adalah selalu bertanya, merasa dirinya dikurung misteri,
lalu tak pernah berhenti mencari jawaban di luar kebutuhan dan aktivitas
fisiknya. Setelah kebutuhan fisik terpenuhi, muncul pertanyaan ontologis,
semua yang ada ini akhirnya akan menuju ke mana? Ada lagi pertanyaan etis,
adakah nilai kebaikan dari yang kita perjuangkan dan raih ini?
Dalam ajaran
agama-agama besar dunia terdapat doktrin yang sangat fundamental, yaitu
beriman tentang adanya Tuhan dan adanya kehidupan lanjut setelah kematian.
Keyakinan ini membawa implikasi sangat jauh terhadap pikiran dan perilaku
seseorang. Bagi orang beriman, setiap tindakan lalu diniati sebagai pengabdian
kepada Tuhan karena akan membawa implikasi moral pada kehidupan akhirat
kelak.
Apakah tindakannya
akan mendekatkan pada surga ataukah neraka, pada kebahagiaan ataukah
penderitaan? Kesadaran transendental di atas menjadikan dunia manusia lebih
luas, melewati batas ruang dan waktu empiris yang kita ketahui dan jalani
selama ini. Dunia manusia tidak lagi sebatas makan dan minum layaknya dunia
nabati dan hewani.
Hidup dan kehidupan
tidak bermula dan berakhir dalam batas dunia ini. Kalau saja kita mau mengamati,
merenung, dan membuat refleksi terhadap semua realitas di sekeliling kita,
satu hal yang pasti: semua benda dan tindakan selalu berkaitan dengan yang
lain. Selalu menimbulkan pertanyaan eksistensial, awal dan akhir dari
semuanya ini, pertanyaan alfa dan omega. Misalnya kita melihat tukang kayu
membuat kursi. Kursi baru benar-benar menjadi kursi ketika ia diduduki.
Jika ada sebuah kursi
tetapi tidak pernah diduduki, ia baru potensial menjadi sebuah kursi. Ketika
ada orang duduk di kursi, pertanyaan pun muncul, untuk kepentingan apa
seseorang duduk? Misalnya saja dia duduk untuk istirahat dan makan.
Pertanyaan berikutnya muncul, setelah makan kenyang untuk apa? Untuk bekerja,
misalnya. Kita bertanya lagi, bekerja apa, untuk apa dan siapa?
Demikianlah
seterusnya, setiap tindakan tidak berhenti di situ, melainkan selalu berada
dalam jejaring alam dan sosial. Tidak mungkin kita berdiri terlepas dari yang
lain. Makanya orang yang bersikap egois-individualistis hanya menunjukkan
kepicikannya. Seakan semuanya bisa dicukupi oleh diri sendiri. Bahkan ketika
orang melamun sendiri, dia tetap membutuhkan objek di luar dirinya untuk
dilamunkan.
Ketika orang berbuat
baik ataupun jahat, dia tetap memerlukan objek di luar dirinya untuk
menyalurkan kebaikan atau kejahatannya. Dari sudut pandang agama, sungguh
tepat sabda Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling
banyak memberi manfaat bagi sesamanya. Kalaupun tidak bisa memberi manfaat,
minimal jangan merugikan pihak lain.
Dalam sabdanya yang
lain disebutkan, berbicaralah yang baik, kalau tidak bisa lebih baik diam.
Ketika agenda hidup dijalani dengan rutin tanpa kesadaran maknawi, seseorang
sesungguhnya sudah mati sebelum mati. Ketika seorang eksekutif tengah
antusias mengejar karier, misalnya, hal itu mesti disertai pertanyaan
kontemplatif, apa ukuran sukses itu?
Bisa jadi ada orang
merasa kayaraya, tetapi ketika hidupnya tidak sempat menaklukkan hartanya
dengan membelanjakan di jalan kebaikan dan kebenaran untuk membantu
meringankan beban hidup sesamanya, jangan-jangan dia tak ubahnya sebagai
centeng atau satpam bagi hartanya.
Dia bukan majikan dari
hartanya. Ketika ada mahasiswa tengah berjuang untuk meraih titel sarjana,
muncul pertanyaan etis-teologis, untuk kepentingan apa dan siapa ilmu dan
titel yang dikejarnya? Rasulullah mengingatkan, sebaik-baik ilmu adalah yang
paling banyak mendatangkan manfaat bagi diri dan orang lain.
Bobot ilmu dan titel
sarjana akhirnya terletak pada manfaat yang dibuatnya, bukan jumlah titel
yang dikumpulkan, bukan pula jabatan yang dipeluknya. Aristoteles pernah
dibuat kagum dan tercenung ketika mengamati kebunnya. Bahwa setiap biji pohon
ketika disebar dan ditanam, semuanya mengarah pada tujuan yang pasti. Ada
gerak teleologis , berkembang ke depan sesuai dengan potensinya.
Biji mangga kalau
tumbuh akan jadi pohon mangga. Biji beringin meskipun kecil akan tumbuh jadi
pohon beringin yang besar. Lalu bagaimana halnya dengan manusia? Ternyata
manusia memiliki dimensi dan potensi yang tak terduga. Manusia memiliki
nafsu, intelektualitas, imajinasi, dan kemerdekaan menentukan langkahnya.
Sejarah manusia penuh
dengan eksperimentasi, trial and error. Beruntunglah bangsa yang mau belajar
dari kesalahan masa lalu dan kesalahan bangsa lain lalu tidak mengulangi
tindakan serupa. Kecuali bangsa yang bebal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar